Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah opini dari Dr. Jenna Price, seorang kolumnis sekaligus akademisi dari the University of Technology Sydney, Australia di harian Sydney Morning Herald, Australia (27 Juli 2020). Â
Opini Dr Jenna sesungguhnya sebagai suatu ungkapan kejengkelannya terhadap seorang perempuan muda bernama Kerry Nash karena dipicu oleh sebuah video viral di Twitter yang diunduh oleh Cam Smith (@sexenheimer) yang menampilkan tensi percakapan antara Nash dengan pegawai retail toko Bunnings di Negara bagian Victoria seputar penggunaan masker pelindung wajah dari virus corona.
 Nash menolak meskipun pegawai toko itu dengan sopan menanyakan masker jika ia memiliki dan memakainya karena itu adalah aturan memasuki toko yang harus dipatuhi. Namun Nash dengan ketus merespon, "It's clear I don't and you are not authorized to ask me or question about it".Â
Lalu Nash justru merekam interaksi tersebut dalam ponselnya dan bermaksud menuntut pegawai retail itu ke pengadilan dengan tuntutan pelanggaran hak asasi. Kemudian iapun melaporkan kejadian itu kepada polisi dan kemungkinan akan menggunakan rekaman ponselnya sebagai alat bukti di pengadilan ( tentu kalau dikabulkan hakim). Banyak netizen yang menjuluki perilaku Nash tersebut sebagai perbuatan yang tercela (Deplorable behaviour).
Nash hanyalah salah satu diantara sekian banyak orang, mungkin diantara jutaan orang dari berbagai belahan dunia yang merasa dilanggar hak asasinya ketika harus menggunakan masker. Apa yang ada di dalam pikiran kelompok orang ini adalah "their individual rights  are more important than the collective".Â
Hak individu mereka merasa dilanggar jika harus mematuhi anjuran bermasker, sekalipun tujuannya untuk kebaikan dan kepentingan yang lebih besar termasuk untuk kelompoknya. Menggunakan masker selain untuk keamanan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain, juga untuk melindungi kaum yang tergolong rentan (vulnerable).Â
Padahal jika suatu komunitas menggunakan masker hingga mencapai 80 hingga 90 persen saja serta tetap menghindari kerumunan, nilainya setingkat dengan melakukan  karantina lengkap (complete shutdown) begitu menurut Dr Brett P.Giroir, the US assistant secretary for health pada NBC Program.
Menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan seharusnya tetap dilakukan mengingat angka terkonfirmasi virus corona belum menampakkan tanda tanda penurunan signifikan. Hingga tulisan ini dibuat jumlah terkonfirmasi virus corona baik di seluruh dunia maupun di Indonesia khususnya, belum menunjukkan tanda tanda menggembirakan. Angka terkonfirmasi virus di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 29 juta orang dengan jumlah kematian mencapai 924 ribu orang lebih.Â
Sementara di Indonesia sendiri setelah lebih dari enam bulan menanggulangi virus, jumlah terkonfirmasi positip mencapai lebih dari 218 ribu orang, dengan jumlah orang meninggal mencapai  8700 orang lebih(Worldometers.info, September 2020).
PANDEMIC versus PLANDEMIC?
Sangat disayangkan, ditengah usaha keras setiap negara di dunia dalam memerangi pandemi Covid-19, berkembang pula usaha keras  kelompok orang yang menganggap pandemi sebagai sesuatu yang diadakan. Bahkan kelompok ini melempar tuduhan bahwa pandemi sebagai suatu konspirasi yang direncanakan.Â
Dr Jenna mengungkapkan kekesalannya dengan mengatakan bahwa "just as we are having a Covid pandemic, turn out we are also having a Covidiots convention", ketika kita sedang memiliki masalah dengan pandemi Covid-19, kita juga memiliki kebiasaan buruk orang orang yang mengabaikan nasihat kesehatan dan keselamatan masyarakat. Â Â
Orang orang ini sebagaimana dilaporkan dalam ABC NEWS (16 July 2020) melakukan komunikasi secara intens melalui media sosial seperti Facebook dan Istagram dengan frekuensi dan intensitas tinggi. Konten video yang mereka bagikan sebagai teori konspirasi dalam Facebook group sebagai disinformasi yang menyesatkan.Â
Mereka percaya bahwa Covid-19 hanyalah suatu fiksi dan sebagai fiksi yang utuh, dinilai sebagai bagian dari pandemi yang direncanakan atau dalam istilah mereka sebagai Plandemic. Seperti kita ketahui para pengikut berbagai teori konpirasi mengembangkan konten secara masif mulai dari teori konspirasi virus corona sebagai hasil senjata biologis (biological weapon) ciptaan China, atau sebagai hasil ciptaan US Democrats untuk mencegah Donald Trump terpilih kembali. Â
Covid-19 juga dikaitkan sebagai rekayasa atau kreasi CIA untuk mencegah dominasi China hingga munculnya suatu teori konspirasi QANON sebagai teori anti vaksinasi yang menuduh dan memojokkan Bill Gates dalam menemukan  vaksin Covid-19.
Colin Klein dari Australian National University telah meneliti bagaimana teori konspirasi menyebar di dunia online. Â Menurut Dr Klein bagian inti dari sebagian besar teori konspirasi adalah: "bukan saja kamu sedang dibohongi, tetapi ada sesuatu yang disembunyikan." Versi lain dari informasi yang salah dan beredar dalam Grup Facebook Teori Konspirasi Australia adalah klaim jika tes PCR dapat "menghancurkan penghalang darah di otak" dan membiarkan "bakteri dan racun lain masuk ke otak Anda dan menginfeksi jaringan otak sehingga dapat menyebabkan peradangan dan kadang-kadang kematian ".Â
Postingan itu telah ditandai sebagai informasi palsu oleh Facebook dan dibantah oleh tim Pemeriksa Fakta Associated Press, yang menegaskan jika metode 'swab' tidak menyentuh penghalang darah-otak (ABC NEWS, 16 July 2020). Menurut data Crowdtangle, tautan tersebut telah dibagikan oleh puluhan halaman Facebook yang terkait dengan teori anti-vaksinasi dan konspirasi QANON, dengan hampir 200.000 pengikut.Â
Orang-orang yang percaya pada konspirasi dimotivasi oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan merasa yakin jika mereka sudah ditipu, kata Dr Klein. Â Sifat dasar dari teori konspirasi ini telah diselidiki oleh sebuah tim peneliti dari Selandia Baru.Â
Tim tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya teori konpirasi dapat mengambil satu dari dua bentuk, yang pertama adalah "Ideation" dan kedua "Skepticism". Ciri pokok dari bentuk ideasi ini biasanya menampilkan tema tema ketidak percayaan kepada pemerintah dengan menuduh ada sesuatu yang ditutupi.Â
Sekelompok kecil individu memberikan narasi yang berlebihan dan memanipulasi kepada publik. Istilah plandemi sangat cocok dengan tipe teori ini. Sedangkan tema skeptisme, diasosiasikan dengan menjelaskan tentang sikap umum di dalam mayarakat yang rela menutupi kebenaran.
Media sosial telah menjadi tempat yang subur  bagi tumbuhnya teori konspirasi. Menurut laporan BBC.Com, lebih dari 70 tiang telepon di Ingris Raya dirusak karena desas desus yang mengaitkan virus corona dengan jaringan seluler 5G.Â
Misinformasi telah menyebar secara dahsyat di media sosial. Selain menimbulkan kecemasan, rasa takut juga frustrasi banyak orang. BBC melacak misinformasi terkait virus corona ini dan menemukan korbannya nyata di seluruh dunia. Di India, terjadi serangan akibat desas-desus yang beredar daring. Di Iran terjadi keracunan massal.Â
Di Inggris seorang teknisi telekomunikasi diserang. Di Arizona, sepasang suami istri keracunan produk pembersih. Menanggapi gelombang misinformasi, perusahaan media social kemudian menerapkan aturan baru. Facebook misalnya menyatakan, "Kami tidak membiarkan misinformasi yang merugikan dan telah menghapus ratusan ribu unggahan. Termasuk tentang obat palsu dan penyataan bahwa virus corona disebabkan oleh 5G, atau unggahan yang menyatakan bahwa virus corona itu tidak ada".
BERSATU LAWAN CORONA
Narasi yang dikembangkan dalam teori konspirasi terutama di media sosial seputar virus corona amatlah meyakinkan  agar orang percaya. Cara terbaik untuk melawan segala upaya penyesatan adalah tetap fokus pada pencegahan dan penanggulangan virus sesuai arahan WHO dan pemerintah Indonesia.
Jika anda masih belum percaya bahwa virus corona itu nyata, coba hitung berapa jumlah saudara kita yang telah kehilangan hidupnya. Cukup banyak (ratusan) para dokter dan petugas medis yang terinfeksi serta gugur dalam tugas. Ketidakpercayaan akan adanya virus corona cukuplah berhenti pada diri anda sendiri jangan dibagikan ke orang lain. Stop melakukan kampanye melawan anjuran bermasker.Â
Stop membagikan segala macam konten informasi yang menyesatkan, menimbulkan rasa was was dan takut. Marilah kita saling menguatkan, saling bekerjasama, saling mengasihi dan meyakini bahwa kita bisa melewati keadaan sulit ini. Virus corona tidak memiliki kewarga negaraan. Pun tidak pula memiliki agenda dan afiliasi politik.Â
Virus ini hanya menyebar dan terus menyebar. Dan yang bisa menghentikan penyebarannya adalah kebersamaan kita, kerjasama kita dalam melakukan perlawanan. Kita harus menegaskan hasrat yang teguh, kuat dan disiplin melawan virus agar tidak saja kita dapat bertahan, tetapi juga bisa berkembang. Not only survive, but also to thrive.Â
Kita harus menunjukkan sebagai bangsa yang bisa bekerja sama, disiplin dan taat hukum dengan tetap mematuhi semua arahan dalam  protokol kesehatan. Masa depan sedang kita tulis hari ini. Mari kita menulisnya bersama, dengan segenap hati, akal,  dan rasa kemanusiaan. Together we can fight and defeat Covid-19.   Â
( Bambang Siswanto, PhD adalah peneliti dan pengamat sosial politik. Tinggal Di Australia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H