Seampuh ampuh nya produsen (petani) dan pemerintah, kegagalan pasar sangat ditentukan oleh konsumennya (warga/masyarakat umum), habit konsumennya, daya belinya, preferensinya, dan KEPUTUSANNYA dalam membeli, apalagi adanya penyakit FOMO beras, ketika di media, harga beras naik, di pasar beneran naik, jadinya parno, beli banyak-banyak, dan ditimbun. Apakah salah? Tidak juga, bahkan manusiawi memang.
Dan.. tepat sekali, KEPUTUSAN dan komitmen konsumen (masyarakat) dalam membeli produk lokal adalah faktor utama yang menentukan kesejahteraan produsen (petani), serta keberlangsungan perekonomian di suatu lokasi itu sendiri.
Sebagai contoh : di depan anda ada beras harga Rp 12.000-14.000/Kg merk lokal, dan ada beras "Premium" produksi luar daerah dengan merk ternama dan reputasi internasional dengan harga Rp 17.000/kg
Dari apapun faktornya, baik kualitas, rasa, kesan, brand, gengsi, comment netizen dan tetangga, serta omelan istri, dan bisa jadi juga, tanpa berpikir panjang, anda langsung memutuskan membeli beras Premium tadi,
Padahal ada jerih payah petani lokal, stakeholder, berikut keluarganya, yang menggantungkan hidupnya di sana, di beras satunya (sebenarnya di beras Premium juga sama sih, bedanya, lokasi petaninya dan pihak yang terlibat di industrinya)
Saya jadi teringat statement seorang tokoh di iklan layanan masyarakat di radio, saya lupa detailnya, tapi maknanya sangat mendalam, "masiyo kepiye, nak iso nglarisi tanggane wae", yang bila diartikan kurang lebih begini, meskipun bagaimana (maksudnya bisa jadi kurang bagus kualitasnya, agak mahal, dsb), kalau bisa, melarisi (dagangan) tetangganya saja
Bagaimanapun analisis dan tulisan saya, keputusan membeli tetap di tangan anda
Terima kasih sudah membaca J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H