Mohon tunggu...
Bambang Septian
Bambang Septian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul

Memiliki ketertarikan dan minat pada lingkungan hidup, serta terus belajar dalam menyelaraskan diri dengan ekosistem Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Gunungkidul Surplus Beras 2023

15 April 2024   10:46 Diperbarui: 15 April 2024   10:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Dokumentasi Pribadi, 2023

Mungkin belum terlambat, analisis yang pernah kami lakukan seputaran pangan dan pertanian ini untuk kemudian saya share di Kompasiana, semoga bermanfaat buat pembaca dan menambah wawasan kita semua, atau bisa jadi menginspirasi temen-temen mahasiswa untuk melakukan riset lebih dalam.

Pangan, adalah hal mendasar yang harus dipenuhi oleh umat manusia untuk bertahan hidup, bahkan merupakan salah satu dari 17 pilar Sustainibility Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang sering digaungkan oleh PBB, tepatnya di Pilar nomor 2 : Zero Hunger, atau bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia : Tanpa Kelaparan. Bahkan salah satu dosen di Prodi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada yang sedang saya tempuh saat saya menulis ini, pernah menyatakan bahwa, "Daerah yang urusan pangannya belum selesai, pasti akan ada saja ketidakberesan pembangunan di sana, gimana mau beres, selama orang itu masih 'lapar', kerjanya juga pasti gak akan beres".

Bisa jadi yang dimaksud dosen saya itu adalah "lapar" sebenarnya (tidak makan, perut keroncongan), atau "lapar" dalam makna kias yang bisa berarti "serakah", maunya makan apa saja, tidak ada batasan "kenyang".

Terlepas dari itu, fakta bahwa orang lapar = kerja tidak beres, itu benar adanya, makanya, Pemerintah Indonesia, dari jaman Presiden Sukarno, sampai hari ini, memiliki tujuan mulia : Swasembada Pangan, Merdeka Pangan, yang bisa jadi dalam perjalannnya memang-kadang-agak aneh-aneh "teknik", cara, atau metode untuk menuju ke sana, tapi tujuannya tetap sama : mewujudkan Bangsa Indonesia yang mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri.

Dan ini bukan perkara mudah

Salah satu analisis yang kami pernah lakukan di daerah kedinasan saya : Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, ternyata menghasilkan kesimpulan yang menarik, meskipun Gunungkdul berstereotip sebagai daerah tandus, kering, gersang, berbatu, banyak perceraian dan bunuh diri, namun, secara data, menurut analisis kami, Kabupaten Gunungkidul menyandang predikat  surplus pangan, dalam arti spesifik : produksi beras di tahun 2023.

Menurut Berita Resmi Statistik BPS Provinsi D.I. Yogyakarta No. 17/03/34/Th. XXVI pada tanggal 1 Maret 2024, Produksi beras di Kabupaten Gunungkidul tahun 2023 mencapai 108.638 ton.

Disandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2023 (Gunungkidul dalam Angka 2024), mencapai 751.011 jiwa, dan dengan asumsi kebutuhan beras per orang per tahunnya adalah 130 kg/orang.tahun (Rudi Purwanto, IPB) maka di tahun 2023, kebutuhan beras di Kabupaten Gunungkdul sebanyak 97.631 ton, yang artinya, masih ada surplus sebanyak 11.007 ton.

Padahal, menurut sumber yang lain (Dinas Pertanian Gunungkidul, 2023), rerata kebutuhan pangan (beras) di Gunungkidul, hanya di angka 93,5 kg/orang/tahun, dengan asumsi ini, maka kebutuhan beras di Kabupaten Gunungkidul hanya mencapai 70.219 ton, yang artinya, masih ada surplus sebanyak 38.419 ton

Luar biasa, meskipun angka tersebut berdasarkan asumsi, namun di atas kertas, Kabupaten Gunungkidul melimpah pangan (beras) di tahun 2023.

Angka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya, ketersediaan pangan (beras) secara mendasar, sudah mampu dipenuhi oleh petani lokal, jadi tidak perlu mengimpor (membeli lagi) dari luar Daerah (misalnya Klaten, Bantul, Sukoharjo, dll)

Namun apakah sesimpel itu?

Tidak juga, karena, sebagaimana teori ekonomi, dimana ketersediaan (supply) suatu barang melimpah, sementara penawarannya (demand) tetap, atau sedikit, justru berimbas pada penurunan harga barang itu sendiri. Ditambah lagi dengan habit dari masyarakat dengan daya beli menengah ke atas, yang mau keluar duit lebih banyak untuk urusan beras, atau adanya preferensi masyarakat "Sehat" yang maunya makan beras organik, dan pertimbangan lain-lainnya lagi, tentunya urusan beras di Gunungkidul (dan bisa jadi daerah lainnya) jadi rumit.

Yang seharusnya harga beras tidak mahal, banyak tersedia dan mudah diakses, bahkan banyak pilihan (harga dan kualitas), namun faktanya, harga beras saat saya menulis artikel ini, juga sedikit mengalami kenaikan, barang Rp 1.000-2.000-lebih (survey pasar mandiri, 2024).

Makin anenhnya lagi, kapan hari pernah di suatu Supermarket di Wonosari, di sudut perberasan, minim stok, harganya sedikit lebih mahal pula.

Jadi rumit beneran, titik keseimbangannya harus dicari, di satu sisi, petani sejahtera, di sisi lainnya, masyarakat (konsumen beras) juga jangan tercekik harga mahal, serta distribusinya merata (ketersediaan cukup)

Di sini, seharusnya, Pemerintah, sebagai representasi dari negara dengan prinsip sovereignitynya, dan juga partisipasi masyarakat awam, sangat berpengaruh , dalam hal apa ?

1.kontrol

2.komitmen

Ya, kontrol, di sini pemerintah harusnya bijak dalam mengevaluasi kemampuan Daerah dan kesejahteraan petani lokal, kemampuan Daerah dalam produksi pangan (beras), kontrol kualitasnya, dan distribusinya, pembatasan beras dan pedagang luar, serta finalnya : stabilitas harga, yang tidak merugikan petani, dan memberatkan masyarakat konsumen

Kemudian komitmen, komitmen siapa ni, ya tentu saja, komitmen pemerintah dalam upaya kontrol tadi, dan yang paling penting adalah komitmen masyarakat sebagai konsumennya

Seampuh ampuh nya produsen (petani) dan pemerintah, kegagalan pasar sangat ditentukan oleh konsumennya (warga/masyarakat umum), habit konsumennya, daya belinya, preferensinya, dan KEPUTUSANNYA dalam membeli, apalagi adanya penyakit FOMO beras, ketika di media, harga beras naik, di pasar beneran naik, jadinya parno, beli banyak-banyak, dan ditimbun. Apakah salah? Tidak juga, bahkan manusiawi memang.

Dan.. tepat sekali, KEPUTUSAN dan komitmen konsumen (masyarakat) dalam membeli produk lokal adalah faktor utama yang menentukan kesejahteraan produsen (petani), serta keberlangsungan perekonomian di suatu lokasi itu sendiri.

Sebagai contoh : di depan anda ada beras harga Rp 12.000-14.000/Kg merk lokal, dan ada beras "Premium" produksi luar daerah dengan merk ternama dan reputasi internasional dengan harga Rp 17.000/kg

Dari apapun faktornya, baik kualitas, rasa, kesan, brand, gengsi, comment netizen dan tetangga, serta omelan istri, dan bisa jadi juga, tanpa berpikir panjang, anda langsung memutuskan membeli beras Premium tadi,

Padahal ada jerih payah petani lokal, stakeholder, berikut keluarganya, yang menggantungkan hidupnya di sana, di beras satunya (sebenarnya di beras Premium juga sama sih, bedanya, lokasi petaninya dan pihak yang terlibat di industrinya)

Saya jadi teringat statement seorang tokoh di iklan layanan masyarakat di radio, saya lupa detailnya, tapi maknanya sangat mendalam, "masiyo kepiye, nak iso nglarisi tanggane wae", yang bila diartikan kurang lebih begini, meskipun bagaimana (maksudnya bisa jadi kurang bagus kualitasnya, agak mahal, dsb), kalau bisa, melarisi (dagangan) tetangganya saja

Bagaimanapun analisis dan tulisan saya, keputusan membeli tetap di tangan anda

Terima kasih sudah membaca J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun