Mohon tunggu...
Bambang Mintorogo
Bambang Mintorogo Mohon Tunggu... Novelis - Penulis, penyair, novelis

Penulis merupakan pengiat sastra di kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Black Rose Isabel

29 Maret 2022   04:33 Diperbarui: 29 Maret 2022   05:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

  • Pekan Raya Jakarta

Malam terlihat ramai gebyar lampu berwarna-warni, terlihat di sepanjang jalan. Musik-musik ramai terdengar di mana-mana, orang-orang berjubal dalam keramaian, nostalgia dengan berbagai menu makanan dan minuman tradisional kota Jakarta.  

Para pengunjung tampak bahagia, khususnya pada orang tua yang telah menjalani dua zaman, masa lampau Jakarta dan masa kini, yang sedang dalam pembangunan dan kemajuan yang pesat.

Keramaian pengunjung pun tidak hanya memadati stand-stand bercorak masa lalu, tetapi juga di stand-stand yang menyuguhkan produk-produk teknologi masa kini. Keramaian perayaan raya Jakarta, tampak menyedot begitu banyak pengunjung.

Memasuki jam delapan malam, jalanan menjadi macet hingga mobil yang kukendarai seperti terjebak dalam lubang besar yang membuat tidak bisa bergerak. Melihat situasi itu, Jems supirku terlihat gelisah, sesekali ia melirikku lewat kaca tengah.

" Pak, apa perlu saya kontak  Bram untuk menjemput anda dengan helikopter ?. " Aku menimbang pertanyaan sopirku. Kesibukan hari ini jelas membuat aku sangat lelah, kemacetan ini, jelas membuatku semakin penat.

Beberapa kali Jems, supirku kembali melirik ke arahku melalui kaca tengah di dekat kemudi. Aku masih menimbang, kiranya jalanan masih bisa segera di terobos.  Kubuka jendela mobil dan kulihat banyak orang tertawa dan bahagia.

Mereka menenteng tas-tas belanja yang banyak. Ini menginggatkan asyiknya berbelanja barang untuk pertama kalinya.  Aku masih ingat dulu ketika aku mendapatkan gaji sepuluh juta untuk pertama kalinya, nilai yang sangat kecil bagiku saat ini, tapi entahlah kenapa hatiku terdorong mendatangi keramaian ini.

Kubuka dasi, jas dan kemejaku serta sepatuku, lalu ku kenakan topi dan sepatu santai, lalu kuambil jaket yang ada disampingku. " Bagaimana pak ?. " Jems buru-buru keluar dan membukakan pintu untukku. " Tidak  perlu, saya mau meneangkan fikiranku, nanti kuhubungi ."

Empat pengawalku keluar dari mobil depan dan belakang menyusulku." Anda mau kemana bos ?. "Aku menggeleng. "Aku tidak perlu pengawalan  malam ini saya ingin sendiri. " Mereka  mengangguk, lalu meninggalkanku.

Ku beli tiket, lalu masuk lokasi pekan raya Jakarta.  Mataku menyasar ke segala arah, namun entah kenapa, tidak ada yang membuat hatiku tertarik, mungkin segala hal yang di perdagangkan nyaris telah kumiliki.

Ya sebelum di jual perdana, aku selalu menjadi yang pertama kalinya untuk memilikinya. Aku selalu  mengikuti trend dunia. Pandanganku  seketika tertambat pada badut-badut yang mengarah pada lokasi sirkus dan berbagai hal, yang mengingatkanku pada pasar malam.

Seseorang menarikku, kulihat seorang berpakaian gibsi memaksaku duduk. " Mari aku ramal ." Aku mengikuti saja permintaannya, paling di butuh uang . Itu tidak masalah bagiku. Ia melihat wajahku, seolah berusaha meneropong masa depan melalui mataku.

Kupejamkam kedua mataku. Rasanya ngeri melihat mata si gipsi. " Buka matamu. " Kuberanikan membuka mata. Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena selama ini, aku tidak pernah percaya dengan ramalan.

" Anda boleh tidak percaya denganku, tapi aku hanya ingin katakan bahwa hidupmu dalam bahaya ." Dalam hati aku membantah perkataannya, namun secara nalar kurasa setiap orang selalu dalam resiko bahaya, tapi aku penasaran  dengan  bahaya yang akan menimpaku.

" Maksudmu ?. " Gipsi  itu kembali mencoba menerawang mataku. " Aku melihat kegelapan pada takdir yang akan kau jalani, tapi kau tidak bisa lari dari takdirmu . "  Aku coba mencerna ." Iya, tapi takdir yang mana ? ."

Aku semakin bingung dengan perkataannya, sebab sejak  kecil hingga hari ini, hidupku bertabur kesenangan. "Ingat kata-kataku, hanya keberanian menghadapi semua yang terjadi sajalah, kau tidak hanya akan selamat, tetapi juga memenangkan segalanya ."

" Katakan padaku ! bahaya apa yang kau lihat ?. " Mata gibsi itu berkedip-kedip melihat kemataku. " Ia mengangkat lengan kanannya untuk menutupi kedua matanya, seolah menghadapi ketakutan yang besar dari mataku.

" Rajaku, Rajaku ."  Ia berdiri, lalu menghormat ke arahku dengan kepala tertunduk, perlahan ia mundur sembari terus menghormat. Entah apa yang ia lihat. " Hai, ini bayarannya ." Buru-buru ku buka dompet dan mengambil uang dengan asal.

 Ku buru si gibsi, namun ia bergegas menghilang seperti di buru syetan atau mungkin  raja syetan. Ku lihat seorang wanita gibsi yang lain, ku dekati dia lalu memberinya uang, di terimanya uang.

Ia menatapku, namun ketika ia melihat mataku, tangannya gemetaran hingga uang dalam genggamannya terjatuh,  seketika ia menunduk memberi hormat lalu kabur. " Rajaku." Lalu perlahan mundur, cepat-cepat ku ambil uang yang berserakan di tanah.

Ku buru gibsi itu, ku tarik tangannya, lalu ku berikan uangku begitu saja di telapak tangannya, ia mengenggamnya dengan asal, lalu bergegas pergi. Aku makin terheran, apakah benar aku seorang seorang  raja, tapi gibsi itu takut melihat mataku.

 Aku mencari kaca, ku lihat mataku di sebuah spion motor Harley Davidson yang dipajang di dekatku. Tidak  ada yang aneh pada mataku, hanya sedikit lelah dan lembam di bawah kantung mata karena kantuk.

kurasa itu hal yang biasa. Aneh, baru kali ini tampangku yang tampan  ini, membuat para gibsi yang biasa dengan hal-hal mistis bahkan di kenal pemuja setan sekalipun, menjadi takut padaku. " Mau ojek bang ?." Aku menimbang. " Tidak  ?." Jawabku mendengar tawaran seorang cewek. " Memang mau pergi kemana ? jalanan macet seperti itu,  ngacau saja kau ." Ledekku.

" Pergi ke hatiku bang ." Rasanya geli mendengarnya, tapi  aku enggan menoleh ke arah si pemilik suara, suaranya indah, seperti lafal bule, mungkin ia sales promotion girl yang pernah tinggal lama di Amerika atau Australia hingga ia menjadi sulit mengucapkan bahasa Indonesia secara fasih.

" Maaf ya, hatiku  bukan untukmu. Gadis sekarang mana ada yang masih perawan ?."  Ledekku, kurasa ia akan marah, aku tidak peduli. Kurasa ia hanyalah gadis penggoda yang kesetiaannya di ragukan. " Kau meragukan kesucianku tampan ?. "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun