Mohon tunggu...
Bambang Mintorogo
Bambang Mintorogo Mohon Tunggu... Novelis - Penulis, penyair, novelis

Penulis merupakan pengiat sastra di kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Black Rose Isabel (Part 1, Halaman 69-85) karya L Mintorogo

25 Maret 2022   01:15 Diperbarui: 25 Maret 2022   12:50 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alunan lagu-lagu dangdut Rhoma Irama terdengar dari arah kedai, tempat para sopir sedang serius bermain catur, di antara kepulan asap kopi yang mulai dingin dan asap rokok yang terus berhamburan di udara.

" Ah, aku tidak yakin Dewo selamat !. " Kata Tejo sembari bangkit dari tempat duduknya, wajahnya lesu menyaksikan kekalahan. Dewo kembali bermain catur dengan John. Mendengar itu wajah Dewo tampak geram.

Ia seperti ingin menumpahkan kemarahan yang besar, sementara yang lain hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. " Skak !." John mengarahkan benteng dan mengunci telak pergerakan raja yang dimainkan Dewo.

 " Ah !." Keluh Dewo sembari membanting sebungkus rokok cerutu di papan catur. " Ini nggak mungkin !." Teriaknya dengan mata melotot. Ia tidak henti-hentinya menatap tajam John, dengan pandangan yang di penuhi rasa curiga.

" Apanya yang tidak mungkin Wo ?." Jawab John ringan, sambil memungut sebungkus rokok cerutu dan membukanya. " Asem  !. sudah satu bulan penuh, aku belajar teknik dan strategi bermain catur lewat internet dan juga pada beberapa master di Jakarta, tapi tetap saja aku kalah denganmu !. siapa sih, gurumu John ?."

" Ah, itu sederhana Wo !,  kau hanya bisa makan teori, tapi praktekmu kecil. Kamu tidak beda dengan para penegak hukum negeri ini yang gemar melanggar hukum atau para professor yang mengajarkan ilmu perdagangan, tapi mereka tidak punya usaha apa pun ." Maki John.

" Jancuk  !." Maki  Dewo,wajahnya  tampak kecut, ia tidak lagi bisa berkata-kata lagi, seolah mengiyakan kata-kata lawan mainnya. Ia bangkit lalu bergegas pergi dengan muka masam. Amir menepuk-nepuk punggung John dan tersenyum.

" John, sampai kapan kau ingin jalani hidup seperti ini ?, sudah enak-enak jadi pegawai negeri, kau malah ke luar jadi sopir taksi ?." Amir menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa kau sudah minum obat, kalau terus  bermimpi  punya Ferari, aku katakan padamu John, sampai bangkotan, hingga tujuh turunan, kau tidak akan mampu beli Ferari dengan profesimu sebagai supir taksi ."

John tersenyum, ia  mengangkat wajahnya, diseruputnya kopi hingga habis, matanya memandangi rambut Amir yang telah dipenuhi dengan uban. " Ini soal keyakinan bang. " Amir mengangkat bahu. " Entahlah John, bukan aku ingin menasehatimu ."

Amir terdiam, ia kembali mengangkat  bahu dan sejenak membisu, matanya mengarah ke mobil taksi John yang bertuliskan Ferari. Wajahnya seperti menunjukkan keyakinan bahwa John tidak akan mungkin meraih mimpinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun