Setibanya di rumah, selepas pulang dari tempat pekerjaan. Aku duduk termenung di atas bangku, di teras depan rumah. Masih teringat jelas dibenakku, peristiwa siang tadi, ketika waktu istirahat kerja, aku menuju ruang kerja kawanku berperwatakan sedang besar dan berkacamata. Temanku itu adalah Setyo. Tatapanku serupa setan. Kulihat Setyo sedang berada diruangan, lalu aku menerobos masuk, tak lain hanya ingin menagih hutangnya yang sudah jatuh tempo membayarnya. Bagai pencuri dihakimi massa dan tidak ada daya untuk melawan. Tagihan saya belum cair, Mas! Ucap lirih Setyo. Sampai kapan aku menunggu? Kamu tahu uang yang kupinjamkan untuk bayaran kuliah anakku! Benar mas tagihanku belum cair." Ratap Setyo. Kau ini banyak alasan saja! Waktu meminjam mudah, membayar susah minta ampun.
" Pi, kok masih diluar? Biasanya pulang kantor langsung ganti baju." Mimi, sebutan kesayangan isteri tercintaku membuyarkan ingatanku. Eh Mimi, bikin pipi kaget aja." Ucapku dikuti senyum kecut.
"Mimi buatin kopi ya" ucapnya sembari berjalan kedapur. Pikiranku kembali semakin kalut, membayangkan luapan emosi istriku. Bagaimana bayaran kuliah anak kita !!, Kenapa uang bayaran kuliah dipinjamkan keteman !!..?. Pikiranku semakin pusing menjawab pertanyaan seperti itu.
" Ini kopinya.", ucap istriku sambil duduk disampingku.
"Ada apa, Pi?" tanya istriku dengan tatapan bingung saat melihatku termenung di teras depan rumah.
" Pipi minum kopinya, ya mi." ucapku untuk mengalihakn pertanyaannya. Sembari meneguk secangkir kopi, aku memutar otak untuk menerangkan masalah ini.
" Cerita pi, ada masalah apa.? tanya istriku sambil mengelus punggungku.
" Maafkan pipi, semua ini salahku." jawab aku diiringin wajah penuh penyesalan, dengan menatap wajahnya. Aku ceritakan semua masalah dengan terbata-bata. Awal setyo meminjam uang dengan janji akan membayar sekaligus dengan keuntungan
Istri menatapku dengan senyum manisnya bagai bidadari, " "Sudah ikhlaskan. Mungkin ini cara Alloh untuk mengantikan yang lebih baik." Aku terhenyak  mendengar jawaban yang bebeda dari bayanganku.
" Tapi uang itu untuk bayaran uang kuliah mi." ujarku lirih. Lagi-lagi dengan senyum manisnya,berkata, " Harta benda yang dianggap milik kita, sebenarnya hanya titipan Alloh."
" Alloh yang memiliki semua ini, pi." jelas istriku. Aku hanya diam membisu mendengar penjelasannya. Kupeluk erat istriku dengan uraian air mata, sekali lagi meminta maaf atas tindakanku ini.
"Sudah jangan menangis, malu atuh laki-laki menangis. Nanti jual gelang emas mimi saja  buat bayar uang kuliah." ucap istriku. Aku terkejut. Sembari melepaskan diri dari pelukannya. Kutatap wajah istriku lekat-lekat. Air mataku kembali turun dengan deras.
"Tidak apa. Wong gelang itu tidak pernah mimi pakai kok." ucapnya  sambil tersenyum.
Menjelang malam, sebelum beranjak ketempat peraduan. Kutatap wajah istriku  yang sedang terlelap. Aku berdoa. " Semoga aku dipertemukan kembali dengannya, di alam yang berbeda."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H