Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

New Normal, Salat Jumat, Imbauan MUI, dan Zona Hijau

30 Mei 2020   09:27 Diperbarui: 30 Mei 2020   09:27 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu banyak yang minta pada pemerintah agar memberlakukan lockdown. Pemerintah kasih PSBB. Setelah PSBB bisa diterima, pemerintah nggak sanggup kasih makan warga yang kena PHK dan kehilangan pekerjaan. Walaupun sudah pada ngamen, istilah kerennya konser untuk membantu pemerintah membiayai penanganan covid 19. Ada juga yang tanpa ngamen nyumbang bahkan jumlahnya lebih banyak, tetap saja tidak cukup.

Di daerah saya misalnya, sampai sekarang bantuan itu nggak nongol juga. Padahal dari daftar warga yang kena PHK dan kehilangan pekerjaan sudah disortir lagi hanya untuk lansia, janda dan orang sakit. Tetap saja bantuan itu nggak nongol juga. Bukannya Pemda pelit. Tapi karna memang duitnya terbatas.

Maka satu-satunya jalan adalah membuka kembali jalan agar roda ekonomi kembali berputar normal. Agar yang tidak bekerja bisa kembali bekerja, yang dagang bisa dagang lagi, yang ngojek bisa ngojek lagi dan seterusnya dengan tetap memberlakukan protocol kesehatan ala covid 19. Bahkan lebih ketat lagi.

Kalau PSBB masih banyak yang melanggar misalnya pelanggaran nggak pakai masker. Saat penerapan new normal nanti suka tidak suka, karyawan atau pegawai, wajib pakai masker dan sarung tangan. Kan biasanya kita lebih takut pada boss kita ketimbang pemerintah. Ditambah lagi, perusahaan diwajibkan memberikan asupan vitamin wabilkhusus vitamin C pada karyawannya. Dan sebagainya dan sebagainya.

Orang Indonesia bukan nggak ada  takutnya. Ya takut juga lah sama corona. Kalau kita melihat pemandangan jelang lebaran kemarin banyak yang berjubel di pasar, bukan karena nggak takut pada corona, tapi kan lebih takut kalau keluarganya nggak bisa makan kalau nggak jualan.

Jadi sebenarnya new normal itu adalah PSBB plus minus. Normal baru sebagian sudah diterapkan pada masa PSBB. Mislanya bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan lainnya. Cuma kita kan terbiasa rada kepo dengan istilah baru. New normal yang awalnya adalah istilah bisnis diadapatasi jadi istilah sosial.

Okelah itu persoalan besar yang rumit, kepala saya nggak bisa nampung. Biarlah pemerintah pusat dan pemda yang digaji dari uang  rakyat yang bekerja keras memikirkan. Bagi saya sih, sudah capek nunggu kapan bisa sholat jumat lagi. Nggak ada yang bisa menjawab pertanyaan, kapan kita bisa sholat jum'at lagi?  Nah, new normal ini yang akan jadi pintu masuk kita akan kembali bisa sholat jumat lagi. Hal yang tidak bisa dilakukan saat penerapan PSBB.

Kaya apa sholat jum'at dengan normal baru? Apakah kiblatnya bukan ke arah matahari terbenam? Ya  nggak lah.

Saya mau kasih illustrasi begini. Seseorang yang tersesat di hutan yang sangat luas, pada hari pertama dan seterusnya akan ketakutan dan nggak bisa memakan makanan yang dia tidak kenal. Setelah sebulan atau dua bulan lebih dia akhirnya bisa adaptasi dengan hutan. Dia punya solusi agar tetap bertahan hidup. Dia menjelma menjadi Tarzan versi new normal. Bahkan mungkin dia merasa masa bodo, mau dapat jalan keluar hutan kek, nggak kek.

Dulu, ketika pasien Corona masih pakai nomor. Pasien nomor satu, nomor dua dan seterusnya tiba pada angka pasein nomor seratus sekian, kita terbelalak. Tigaratus sekian, tambah terbelalak. Setelah angka ribuan, kita sudah terbiasa. Nggak kagetan lagi.

Saat masih ratusan itulah keluar fatwa agar tidak sholat jum'at , mengganti dengan sholat zuhur. Saya sami'na wa atho'na. Kalau ada yang bilang, jangan takut pada corona, takutlah kepada Allah SWT, saya anggap itu new jabariah.

 UAH sosialisasi fatwa MUI perihal sholat jum'at . Menurut UAH, silakan sholat jum'at untuk daerah hijau. Tapi karena ketakutan pada Corona sudah sampai ke ubun-ubun, soal pengecualian zona hijau itu tenggelam oleh ketakutan berjamaah. Ditambah lagi  petugas keamanan plus MUI beberapa kali membubarkan pelaksanaan sholat jum'at, entah di wilayah hijau, entah merah. Pokoknya nggak ada cerita zona hijau, yang ada merah semua. Mau sholat jumat pakai protocol kesehatan covid 19, mau nggak. Pokoknya nggak boleh!

Pasien angka ribuan, berlakulah PSBB. Tambah ketat perihal larangan berkerumun untuk pelaksanaan sholat jum'at. Tapi rasa takut pada corona mulai mereda karena terlalu seringnya diberitakan angka-angka pasien positif dan meninggal, seolah itu cuma angka statistic saja. Walaupun tentu saja masih tersisa rasa takut itu walau tidak sebesar sewaktu masih angka ratusan.

Entah sudah berapa kali nggak sholat jum'at. Hingga sudah terbiasa seakan sudah melupakan kalau ada hari jum'at. Nggak ada tanda-tanda kapan akan kembali bisa sholat jum'at. Kira-kira sampai kapan kita nggak bisa sholat jum'at? Nggak ada yang bisa jawab.

Jelang iedul fitri kemarin, MUI mengeluarkan pernyataan, boleh sholat jum'at di masjid bagi daerah yang masuk zona hijau. Tapi tetap menerapkan protocol kesehatan Covid19. Saya kasih gambaran dulu. Di daerah saya, untuk tingkat RW ada satu masjid besar dan bagus. Di tingkat RT ada dua mushola. Masjid tidak menyelenggarakan sholat jum'at tapi baik masjid maupun mushola masih mengadakan sholat fardu berjamaah. Karena di wilayah saya termasuk zona hijau.

Takmir masjid seminggu jelang iedul fitri masih belum memastikan apakah akan menyelenggarakan sholat iedul fitri atau tidak. Soalnya beredar imbauan Bupati agar tidak melaksanakan sholat iedul ftri. Akhirnya mushola tempat saya tinggal yang jamaahnya terdiri dari warga dua RT memutuskan akan menggelar sholat iedul fitri berdasarkan imbauan MUI. Pertama, tentu saja harus tetap menerapkan protocol kesehatan covid 19. Kedua, untuk mengurangi jumlah kerumunan jamaah di masjid jika nanti masjid jadi menyelenggarakan sholat iedul fitri. Pada hari H akhirnya masjid juga menyelenggarakan sholat iedul fitri.

Pada saat pelaksanaan sholat iedul fitri, jumlah jamaah yang saya perkirakan tidak lebih dari sholat tarawih tahun lalu, hanya sampai jalanan depan mushola, tapi ternyata mbludak sampai luar pagar. Sebelumnya memang sengaja tidak diumumkan melalu pengeras suara akan ada sholat iedul fitri. Dari mulut ke mulut saja untuk mencegah jangan sampai ada orang luar RT yang ikut berjamaah karena mushola tidak bisa menampung jika dicampur dengan jamaah luar wilayah.

Mbludaknya jamaah menunjukan rasa kerinduan untuk bisa kembali  sholat berjamaah. Di wajah mereka tidak ada rasa takut walaupun normal baru diterapkan. Tidak boleh bersalaman bersentuhan sebelum dan sesudah sholat, mencuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah sholat, fasilitas itu disediakan dan  tentu saja diimbau menggunakan masker. Jika tidak ada yang pakai masker, takmir memberikan masker. Banyak diantara mereka membawa sanitizer.

Ada pertanyaan, memangnya boleh sholat pakai masker? Ada yang bilang boleh, ada yang bilang makruh. Kalau ragu, bisa saja saat sholat dibuka dulu. Setelah sholat pakai lagi.

Soal zona hijau ini dicegat oleh pernyataan. Zona hijau bukan berarti tidak berbahaya karena ada orang yang OTG, orang tanpa gejala. Positif corona, tapi nampak sehat. Jawabnya gampang saja. Coba perhatikan pelaksanaan sholat iedul fitri diatas itu? Dengan ketatnya protocol kesehatan covid19 kan sama saja dengan menganggap bahwa setiap orang yang ikut berjamaah itu berpotensi menularkan corona. Otomatis alasan ada OTG untuk tidak melaksanakan sholat iedul fitri di zona hijau tidak relevan lagi.

Tentu saja pelaksanaan sholat iedul fitri bukan hanya di wilayah saya saja. Itu hanya contoh. Di Bekasi untuk wilayah hijau malah walikotanya mengizinkan. Dan mulailah provokator beraksi. Detik.com menebar fitnah ada jamaah yang tertular setelah sholat iedul fitri.Padahal faktanya tidak demikian.

Tapi begini. Ada saudara kita yang menjadikan menghindari fitnah ini sebagai alasan tidak sholat iedul fitri. Wah, mana ada menghindari fitnah dijadikan alasan tidak sholat berjamaah? O, ada. Dulu zaman Nabi wanita sholat di rumah agar tidak terjadi fitnah dan gangguan orang jahat. Ya, baca juga dong hadits lain yang mengatakan wanita sholat di rumah, tapi jika mau sholat di masjid jangan dilarang. UAH dalam ceramahnya mengatakan zaman Nabi ada wanita yang berjamaah subuh di masjid saat umat Islam sudah bertambah banyak.

Setelah sholat iedul fitri dan akan diterapkannya new normal, maka terbukalah pintu menuju kembali bisa sholat jum'at. Kalau masih penerapan PSBB mah ya tetap nggak bisa sholat jum'at, mau zona hijau kek, zona setengah hijau kek.

Perlu juga dicatat. Normal baru yang akan diterapkan sebenarnya bagi umat Islam adalah normal lama. Kebersihan bagi umat Islam adalah standard seorang muslim. Untuk normal baru ini okelah bisa ditambah. Kalau normal lama, sebelum sholat jumat disunahkan mandi dulu. Maka normal baru, untuk pencegahn covid19, sepulang dari masjid pakaian dicuci, dan mandi lagi. Kenapa tidak? Lha bagi para karyawan atau pegawai, gimana? Ya, pakai baju untuk sholat jumat lah. Pulang sholat jumat ganti lagi pakai baju kantor. Banyak cara lah.

Orang tua kita dulu setelah melayat dia tidak langsung masuk rumah tapi mencuci tangan dan muka dulu, bahkan ada yang mandi dan mengganti pakaian. Jadi soal ini  bagi orang tua kita bukan normal baru, tai normal jaman old.

Normal umum, laki-perempuan teman sekantor dan sekolah saling bersalaman, cipika cipiki setelah liburan lebaran. Normal baru, nggak boleh bersentuhan badan. Lha bagi umat Islam itu normal lama yang dianggap oleh normal baru sebagai kolot.

Normal jaman now, cadar dilarang masuk kantor pemerintah. Normal baru, wanita berhijab dan tidak berhijab wajib pakai masker. Jadi, wanita berhijab bercadar versi masker oleh normal baru malah wajib. Bagi umat Islam ini kan normal lama.

Ada pertanyaan, bagaimana dengan shaf sholat berjamaah? Apakah memakai normal baru? Ya itu tergantung takmirnya lah. Di tempat saya shaf biasa saja nggak ada perubahan. Shaf ala NU. Nggak bersentuhan kaki dengan kaki, siku dengan siku. Juga nggak renggang banget.  Satu sejadah satu orang. Tidak ada jarak kosong satu orang. Kalau ada yang nggak setuju dengan shaf ala NU ya itu soal khilafiah, bukan soal new normal.

Logikanya, kalau seluruh aktivitis kehidupan akan berjalan normal dengan cara new normal, maka otomatis termasuk aktivitas ibadah. Kangen sholat jumat lagi. Cuma itu sih intinya.

-Balyanur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun