Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serba Salah Menag

25 Oktober 2019   10:32 Diperbarui: 25 Oktober 2019   10:55 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: istimewa/edit dari berbagai sumber

Gaduh Menag baru karena ada dua hal. Karena hilaf dan nggak enak hati kalau terus terang, karena terkadang terus terang itu menyakitkan. Ada dua hilaf --boleh dibaca gagal membaca---Presiden Jokowi membaca keinginan besar NU untuk mendapatkan "piala" kementrian agama saat pilpres 2019. 

Saking kepengennya, NU bukan hanya mendukung 01 tapi ada juga para kyai yang terang-terangan mendukung 02. Tentu saja dengan satu syarat, dan syarat itu terbaca saat Prabowo di depan pendukungnya berjanji jika menang akan mengangkat menteri agama dari NU. Itu janji harga mati, nggak bisa ditawar lagi. 

Kubu 01 memang nggak ada janji itu tapi karena mayoritas NU mendukung 01, tak perlulah diucapkan, sama-sama mengerti sajalah. Sayangnya, Jokowi hilaf.

Hilaf yang kedua, Presiden dengan entengnya mengatakan, tugas utama Menag adalah soal radikalisme. Inilah yang membuat Bapak Din Syamsudin meradang. " Kalau begitu bikin saja kementerian Radikalisme," ujarnya sinis. 

Sinis tugas utama Menag yang baru bukan hanya dari kalangan Muhammadiyah, dari kalangan NU juga. Sebab baru kali ini tugas utama Menag adalah soal radikalisme. Kan sama saja dengan mengatakan, Agama adalah sumber radakilisme. Jelas pernyataan ini blunder.

Gejolak sinis di tengah masyarakat ini tidak terbaca oleh Jokowi. Dalam konpres, ucapan itu diulang lagi. Padahal Ngabalin sudah mencoba menghindari menyiram bensin dalam situasi panas seperti ini. Ngabalin biasanya mulutnya tak berhenti bicara soal radikalisme, tapi khusus soal Menag dia malah berusaha menghindar membicarakan hal itu. 

Ketika di acara talk show Dua Sisi TV One, berkali-kali Ngabalin ditanyakan hubungan Menag dengan radikalisme, Ngabalin memelih menghindar. Tentu saja karena dia  tahu ada sikap sinis baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah, paling tidak sebagian atau beberapa tokohnya. 

Padahal , NU kan selama ini dikenal paling depan melawan radikalisme, tapi mengangkat Menag dengan tujuan utama soal radikalisme bisa berdampak "kriminalisasi" agama. 

Tujuan utama Menag kan agar setiap umat beragama bisa menjalankan agamanya dengan baik dan benar. Kalau tujuan itu sudah dicapai, maka radikalisme dengan sendirinya akan sulit tumbuh. 

Beda dengan pernyataan, tujuan utama Menag adalah memerangi radikalisme. Dan sayangnya, Jokowi hilaf membaca gejolak sinis ini.

Kehilafan Presiden ditambah lagi dengan gaya komunikasi ala orba yang ditunjukkan oleh Menag yang baru. Pak Menag membantah ada kyai NU yang menolak dirinya. Bagaimana fakta yang terbentang jelas di depan mata rakyat dibantah oleh yang empunya hajat? 

Memangnya rakyat buta huruf? Lagi pula kan mestinya yang membantah NU, bukan Menag. Lha kan yang menolak adalah Kyai NU. Kalau yang ditolak mah mestinya pasif saja. Untung Jubir Wapres punya cara komunikasi ala reformasi. 

Fakta tidak bisa dibantah dengan soalah tidak melihat fakta, tapi harus diluruskan. Jubir Wapres mengakui keberatan kyai NU dan berjanji akan mengkomunikasikan dengan para Kyai NU. Ini lebih fair. Atau pernyataan yang lebih pragmatis datang  dari PPP. 

PPP mengaku terkejut dengan pengangkatan mantan jenderal jadi Menag. Tapi karena nasi sudah jadi bubur, PPP mengusulkan ada wamen dari kalangan tokoh yang paham soal agama. Ya siapa lagi kalau bukan dari NU. Mending pragmatis daripada membantah fakta.

Kegagalan membaca sejarah juga terbaca ketika Presiden dan pendukung pemerintah mengatakan, bukan kali ini Menag dari kalangan milter, pada masa orba juga pernah ada. Lha iyalah. Era orba hanya menteri yang berhubungan dengan keuangan yang bukan dari unsur milter. Mayoritas menteri orba ya milter, termasuk Menag. 

Jadi kalau membandingkan dengan era reformasi ya rada nggak nyambung gitu. Era reformasi, Menag selalu dari unsur NU. Nah, disini juga ada persoalan.

Sebenarnya pesan Jokowi pada Menag bukan hanya soal radikalisme, tapi juga soal korupsi. Tentu saja pesan idealnya, jangan korupsi! Pesan inilah yang tidak terbaca oleh NU maupun Muhammadiyah atawa umat Islam umumnya. 

Ngabalin di acara Dua Sisi TV One juga tidak mau terus terang. Dia cuma mengatakan, persoalan di Menag bukan cuma soal radikalisme tapi juga soal memperkaya diri sendiri. 

Bahkan untuk menyebut korupsi pun Ngabalin menghaluskan bahasanya. Bisa dimaklumi. Ngabalin nggak mau menyinggung perasaan siapa pun wabil khusus Nahdhiyin.

Coba cek fakta. Sebut saja lah Menag yang ngerti soal agama, nggak usah ada embel-embel unsur NU-nya. Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar, MA. Soal pengetahuan agamanya boleh dibilang sangat mumpuni, kelas empu lah. 

Pendikikan terakhirnya, LML Fakultas Syari'ah Universitas Islam Madinah Arab Saudi (1979), Master of Art (MA) Fakultas Syari'ah Universitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia (1983),  Ph. D. (Doctor) Fakultas Syari'ah Unversitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia (1987). Menjadi dosen di banyak perguruan tinggi ternama.

Beliau ini jadi Menag di era kabinet Gotong Royong Megawati. Tapi sayangnya, beliau terjerat kasus korupsi dana abadi umat dan biaya untuk penyelenggaraan haji yang dikelola secara pribadi olehnya dan dikirim ke tiga rekening berbeda. Dalam kasus ini, Said diduga merugikan negara Rp 719 miliar.

Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si, Menag kebinet Indonesia Bersatu era SBY. Soal ngerti agama memang nggak semoncer Kyai Said Al Munawar. Beliau " cuma" lulusan IAIN Syarif Hidayatullah. Ya lumayan lah. 

Lulusan pesantren atau PGA saja sudah boleh dibilang ngerti agama. Sayangnya, beliau juga terjerat kasus korupsi penyelewengan dana haji dengan nilai proyek mencapai Rp 1 triliun.

Penggantinya, Lukman Hakim Saifuddin. Soal ngerti agama jangan diragukan lagi. Lulusan  Pesantren Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 1983. Sarjana (S1) Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, 1990. 

Tapi... karena ini bicara yang negatif-negatif gitu, jangan dikaitkan dengan unsur NU-nya. Sayangnya, namanya dikaitkan dengan kasus jual beli jabatan yang menjerat Muhammad Romahurmuziy.

Barangkali itulah yang juga jadi pertimbangan Jokowi tidak lagi mempercayai tokoh yang ngerti agama menjadi Menag. Walalhu a'lam. Serba salah memang.

25102019

-Balyanur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun