Aku dan lelalaki itu berlomba
bergegas melepas balutan kenangan
dari kota dengan segudang kisah
yang semakin redup di ujung-ujung jalan sempit
yang mencoba menutup bias dari lampu lampu kuning
di bawah juntai kabel yang berdesakan mesra.
Lelaki itu menungguku di warung kopi pinggir kebun pisang
dengan parau memanggilkuÂ
mendekatÂ
merapat.
menawarkan gelas-gelas kaca yang panasÂ
dengan aroma yang beragamÂ
dalam rinai rintik yang malu meluruh.
Kemudian asap tembakau mengepul
dalam garis cerita yang panjangÂ
tentang harapan
tentang pilihan yang harus ditancap
dalam deretan laksa tawaran untuk melangkah
agar kelak hidup dapat termakna terpemanai
Wahai lelakiku...
harapan itu seperti pelangi,
indah
katanya...
Tak akan pernah sewarna.
Ada yang jelas terasa, ada yang samar berbinar.
Demikian juga pedih
Kadang menghentak cepat
Kadang perlahanÂ
namun pasti menghujan.
Seperti aku kehilangan hatiku
Dalam deretan almanak yang tak berkesudahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H