1. Kesehatan mental akan naik turun
Diatas, penulis menyebutkan bahwa waktu kosong menetralkan emosi dan pikiran. Akan tetapi, karena itulah, emosi dan pikiran dapat hanyut ke arah positif maupun negatif. Akan terdapat hari-hari di mana kamu bersemangat dan optimis, tetapi akan ada hari-hari lain di mana kamu merasa takut gagal. Kamu dapat membuka handphone sesaat untuk mencari hiburan, sampai kamu melewati unggahan Instagram Story temanmu dan justru merasa sedih karena harus tertinggal setahun dengan teman seangkatan SMA. Kamu akan rawan mengalami FOMO (fear of missing out). Di awal, kamu mengira bahwa satu tahun akan berlalu dengan cepat. Namun, saat menjalaninya, kamu merasa sebulan sudah sangat lama, membuat semakin lama semakin malas belajar.
2. Respon keluarga dan teman
Dukungan dari lingkungan sekitar sangat mempengaruhi kesehatan mental kita. Apabila orang lain skeptis pada kita, kita akan rawan merasa terpuruk. Bahkan apabila mendapatkan dukungan positif sekalipun, masih terdapat hal-hal yang akan membuatmu risau. Meskipun seorang teman atau anggota keluarga ingin menunjukkan kepedulian dengan selalu menanyakan kabar, namun sebagian anak gap year justru akan merasa tidak enak. Mereka merasa bahwa dukungan tersebut juga datang bersama harapan besar, dan mereka tidak ingin mengecewakan orang-orang yang mendukung mereka. Sehingga, dukungan yang dilihat sebagai harapan tersebut justru terasa beban. Terdapat sebagian anak gap year yang akan menyambut dukungan dengan baik dan terbuka, namun sebagian lainnya lebih nyaman bekerja dalam diam dan sendirian.
3. Apabila di tahun berikutnya tidak lolos, bagaimana perasaanmu?Â
Di tahun pertama (saat kelas 12), saat tidak diterima, tentu semua murid akan merasa sedih. Namun, kalian yang masih berpegang teguh pada idealisme masih memiliki harapan gemilang untuk tahun depan. Di tahun kedua (saat gap year), semua berharap untuk diterima di SBMPTN atau Ujian Mandiri tahun berikutnya. Setahun pun dilalui dengan penuh jerih payah dan doa. Namun, manusia hanya dapat berencana, sedangkan keputusan akhir berada di tangan Tuhan. Saat gagal, rasa sedih yang dialami akan lebih menyakitkan dibanding saat tahun pertama. Kesempatan pun menipis (sebenarnya terdapat opsi untuk gap year lagi, namun sebagian besar akan mengakhiri gap year-nya, dimanapun mereka diterima).
Â
Semua kembali kepadamu, seberapa percaya dirimu akan kuat menjalani gap year.
Sebelum memutuskan menjalani gap year, pastikan kamu sudah memahami dan siap menerima segala suka duka. Siapkan solusi apabila kamu sewaktu-waktu merasa terpuruk. Apabila kamu sungguh-sungguh siap, jangan lupa untuk memanfaatkan gap year dengan baik. Atur waktu dengan baik. Pilihlah metode, waktu, dan durasi belajar yang paling efektif. Jangan terlalu lelah, karena kesehatan fisik dan mental mempengaruhi hasil belajar. Akhir kata, jangan lupa untuk berdoa, menjalin hubungan baik dengan orang tua dan orang lain, dan yang terakhir, berserah diri kepada Tuhan. Tuhan memiliki rencana terbaik, meskipun mungkin berbeda dengan rencana manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H