Wahai kau wakil rakyat yang gila hormat
Mari bernostalgia bersama rakyat!
Tiga tahun silam,
Sebelum pantatmu merasakan empuknya kursi Istora Senayan
Kau datangi rakyatmu.
Tak segan-segannya kau telusuri lorong-lorong pasar, temui para pedagang.
Seolah merakyat,
Tak pernah lelah keluar masuk kampung dan bahkan rela bermalam di pondok warga.
Beribu janji kau umbar
Janji bahwa kau akan mengutamakan rakyat.
Ya, rakyat dan kepentingannya di atas segalanya.
Terbuai janji manismu, rakyat ramai-ramai mencoblos jidatmu di bilik suara,
Berharap kau sungguh perjuangkan aspirasinya.
Wahai kau wakil rakyat yang gila hormat
Ke mana saja dirimu ketika ada sidang dewan? Kok, banyak kursi tidak terisi?
Apa boleh, sekali saja rakyatmu yang mengisi?
Kami maklum dirimu ngantuk waktu sidang soal rakyat.
Apa boleh kursi-kursi itu diganti ranjang?
S'bab mimpi di kursi tidak seindah ranjang bukan?
Korupsi hingga triliunan rupiah , seolah biasa.
Kami maklum, mengingat kekuasaan memiliki kecenderungan menyimpang.
Hei, kau wakil rakyat yang gila hormat
Tidak cukupkah penderitaan rakyat akibat ulahmu?
Manuver apa lagi yang kau cipta, sampai --sampai suara rakyat kau bungkam?
Indonesia menganut daulat rakyat, bukan daulat DPR.
Tahu dirilah!Â
Cukup sudah kau telanjangi rakyatmu
Sebelum rakyat menelanjangimu.
(Sae -- STSM, 26/02/2018)
keterangan: Puisi ini dibawakan penulis dalam bentuk orasi jalanan pada saat aksi mahasiswa UNWIRA Kupang menolak hasil Revisi UU MD3 pada 28 February 2018.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H