Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Diogenes, dan Sinisme (15)

8 Februari 2024   14:58 Diperbarui: 8 Februari 2024   15:01 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandangan Diogenes tentang kehidupan polis dan perilaku normatif yang menyertainya tidak hanya bertentangan dengan dukungan kaum Sinis terhadap nilai sifat kita kata phusin. Diogenes secara mengejutkan mengakui adat istiadat dan hukum diperlukan agar polis dapat memberikan manfaat kepada warga negara. Ini adalah poin kontroversial yang bertentangan dengan pemahaman standar naturalisme Sinis, namun penting untuk memahami bagaimana hubungan alam dengan adat istiadat bersifat dialektis. Pandangan Diogenes mendukung perlunya adat dan polis didukung oleh hal-hal berikut:

Mengenai hukum, ia berpendapat tanpa hukum seseorang tidak dapat menjadi warga negara. Sebab menurutnya tanpa kota tidak ada sarana untuk memperoleh manfaat beradab. Kota ini beradab; keuntungannya tidak dapat dinikmati tanpa hukum; dan karena itu hukum adalah sesuatu yang beradab. Ia mengolok-olok kelahiran yang baik, reputasi, dan sebagainya, menyebutnya sebagai perhiasan yang jahat, dan berpendapat konstitusi yang benar hanyalah konstitusi yang ada di dunia.

dokpri
dokpri

Bagian ini terkadang dianggap sekadar ironi, padahal sebenarnya tidak demikian. Pertama, tanpa kota, tidak ada manfaat yang bisa diusahakan karena hanya melalui kotalah seseorang bisa menjadi warga negara. Dan karena menjadi warga negara maka dimungkinkan untuk beradab atau berbudaya. Namun warga negara perlu dibina dan beradab menurut adat dan hukum, meskipun itu merupakan praktik normatif. Sebab, nilai-nilai yang ditawarkan kota, pendidikan, keselamatan, produksi pangan, dan sebagainya, merupakan konsekuensi nomos dan bukan sekadar phusis. Nomos ditetapkan sebagai undang-undang atau tindakan adat yang mungkin disebut kata phusin, tetapi dalam menetapkan suatu kebiasaan, praktik, atau adat istiadat terikat dengan kata nomon.

Ironisnya, pembacaan ayat ini menekankan nilai yang dianggap sebagai warga negara adalah tidak masuk akal karena nilai tersebut muncul dari hukum dan adat istiadat kota  di mana kebajikan palsu mau tidak mau berada. Meski demikian, ketergantungan terhadap kota tidak terlayani oleh pembacaan yang ironis karena memungkinkan adanya pandangan kaum Sinis dapat keluar dari struktur sosial dan politik karena tidak ada nilai nyata dalam hukum dan adat istiadat kota. Hal ini memungkinkan adanya pembacaan kaum Sinis adalah seorang naturalis yang anti-negara. Namun kaum Sinis, dan khususnya Diogenes, tidak pernah sepenuhnya berada di luar lingkup kebijakan, bahkan jika mereka berada di pinggiran, atau di posisi yang terpinggirkan. Faktanya, saya sudah berargumentasi marginalisasi kaum Sinis, kaum Sinis di pengasingan, berperan penting dalam provokasi yang wajar bagi Sinisme.

Menjadi beradab kemudian membawa makna ganda ini, baik pesona dan kehalusan yang akan mengundang cemoohan Diogenes, dan aspek perilaku normatif yang memungkinkan terjadinya hal-hal seperti kohesi sosial dan produksi. Seseorang mungkin tergoda untuk kembali ke pandangan dunia (kosmos)  adalah satu-satunya kota yang benar, sehingga menjadikan dunia seperti sebuah polis atau lebih buruk lagi mengangkat kota ke tingkat dunia. Keduanya tidak diperlukan. 

Pertama, keunggulan (ophelos)  kota yang diasosiasikan dengan pengembangan (asteios)  tidak perlu ditentukan sebagai sesuatu yang sepenuhnya positif atau ironis dan sepenuhnya negatif. Ada beberapa keuntungan menjadi bagian dari polis, meskipun perilaku warga sering kali terlalu bergantung pada hal-hal yang tidak benar. Orang mungkin menganggap norma-norma tersebut dapat dipertimbangkan kembali, dan pengaturan sosial dan politik masih dalam proses.

Kalimat terakhir dalam bacaan kita mengecam kelahiran baik dan reputasi sebagai perhiasan jahat (prokosmemata), namun tidak menuntut hal-hal tersebut merupakan konsekuensi yang perlu dari setiap dan setiap pengaturan polis. Aspek-aspek jahat ini merupakan kejahatan kontingen yang timbul dari pengaturan norma-norma kita yang buruk. Dan konstitusi (politeia) yang benar, sebagaimana yang dia inginkan, hanya di dalam atau di dunia (kosmos), tidak perlu meninggalkan polis, karena seperti yang telah saya kemukakan, dunia tidak membatasi kota atau banyak kota. dari menjadi komponennya. Oleh karena itu, penataan aspek sosial dan politik yang benar hanya perlu mempertimbangkan penataan phusis yang mengakui polis dan potensi nilai di dalamnya. Dengan demikian, ayat tersebut menegaskan bukannya menolak dualitas politeia yang mencakup sifat kodrat kita dengan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun