Lebih jauh lagi, wacana pedagogi kritis yang abstrak dan umum melemah dan terjadi pergeseran ke wacana postmodern. Jadi menurut wacana ini, norma-norma wacana yang diwariskan secara historis dan budaya didekonstruksi, sedangkan pembuktian diganti dengan dialektika sebagai metode filsafat atau menyingkirkan teori kebenaran sebagai korespondensi mengubah cara kita berbicara dan dengan demikian mengubah apa yang ingin kita lakukan. apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Karena kebenaran, menurut pandangan postmodern, adalah milik proposisi, dan karena keberadaan proposisi bergantung pada kosa kata yang dikonstruksi oleh manusia, maka kebenaran  demikian.
Oleh karena itu, tidak ada yang bisa memvalidasi kosa kata definitif dari seorang individu dan suatu budaya, dan dalam hal ini para ahli teori pedagogi feminis telah memperkenalkan teknik-teknik baru, seperti pendekatan biografi sebagai bentuk pendidikan dan penyelidikan otobiografi sebagai praktik kurikuler yang unik (mulai dari pertengahan abad ke-19), sehingga melalui narasi ulang kita dapat menyusun kembali kosa kata refleksi moral kita untuk memasukkan keyakinan-keyakinan baru (misalnya, bahwa perempuan dan orang kulit hitam mampu melakukan lebih banyak hal daripada yang dipikirkan orang kulit putih laki-laki, bahwa harta benda tidak sakral, bahwa hak seksual urusannya murni urusan pribadi, dan seterusnya).Â
Dengan cara ini, pada akhirnya, representasi 'diri', 'identitas' dan 'pengalaman' perempuan yang bersifat satu dimensi, esensialis dan terpadu dapat dihindari. Tentu saja, pada saat yang sama, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa kritik telah dan sedang dilakukan terhadap wacana pedagogi feminis pasca-kritis atau postmodern .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H