Orang dahulu menganggap deskripsi adalah definisi yang tidak mencukupi. Pada abad terakhir, karakteristik khusus dari operasi deskriptif dieksplorasi. Deskripsi bukanlah rumusan penilaian yang dengannya kita menjawab pertanyaan tentang keberadaan suatu subjek, bukan  indikasi landasan atau asal usulnya yang logis atau ontologis, melainkan indikasi yang murni dan sederhana tentang apa yang tampak dalam sesuatu. Kecenderungan positivis telah menekankan pentingnya deskripsi, sehingga mentransformasikannya menjadi modalitas pengetahuan yang didalilkan untuk semua ilmu.
Di bidang logika, Bertrand Russell memaparkan teori deskripsi yang mengarah pada perbedaan antara ekspresi terdefinisi dan ekspresi tak tentu.
S. Mill telah memperhatikan nama diri menunjuk pada suatu makhluk secara langsung, sedangkan nama umum hanya mempunyai fungsi penunjukan ( denotasi ) melalui isi deskriptif atau konotasi. Pertentangan ini ditemukan dalam Frege dalam pembedaan antara isi deskriptif atau makna ( Sinn ) suatu ungkapan, dan denotasi atau rujukannya ( Bedeutung ).
Bagi metafisika tradisional, keberadaan adalah hal yang masuk akal, sehingga kedua konsep tersebut kira-kira setara. Penelitian fenomenologislah yang memungkinkan untuk memisahkannya, dan terlebih lagi, memungkinkan untuk membedakan berbagai arti kata pengertian: makna semantik, makna struktural atau eidetik, makna logis, makna motivasi, dll. Persoalan makna filosofis saat ini terletak pada bidang semantik yang menghubungkan makna dan bahasa. Masalah makna semantik dapat diartikulasikan berdasarkan tiga dualitas utama yang berhubungan dengan upaya kontradiktif untuk mereduksi gagasan tersebut.
Pertama adalah Referensi dan signifikansi. Kecenderungan khusus pada logikaisme, positivisme, dan saintisme terdiri dari mengidentifikasi makna dengan referensi. Makna suatu kata adalah obyeknya; makna suatu proposisi adalah fakta yang diwakilinya. Idealnya ada hubungan satu-ke-satu antara bahasa dan realitas: sebuah tanda - sebuah objek.
Di sisi lain, simetri terdiri dari mengabaikan dimensi referensial dalam konstitusi makna dan mereduksinya menjadi signifikansi murni,  yaitu pada aktivitas atau proses atau permainan diskursif. Dari sudut pandang ini, yang bertepatan dengan godaan khusus aliran filsafat hermeneutik, dialektis, strukturalis, dan tekstualis, makna hanyalah sekumpulan fakta wacana, produk aktivitas linguistik. Hal ini sepenuhnya imanen dalam bahasa. Hakikat makna bersifat linguistik, simbolis, atau diskursif; asal usulnya terletak pada permainan ketegangan, pertentangan, asosiasi, perbedaan yang tak terbatas antara tanda, kata, kalimat, teks. Makna  dapat dipahami sebagai sintesis referensi dan signifikansi.
Kedua, adalah Monologisme dan dialogisme. Menurut konsepsi monolog, asal muasal makna adalah subjek. Monologisme mudah dikaitkan dengan referensialisme. Sudut pandang dialogis menggarisbawahi, sebaliknya, pada dasar produksi makna linguistik terdapat interlokusi: makna dan kehidupan makna pada hakikatnya bersifat dialogis.
Ketiga Interioritas (mentalisme, idealisme) dan eksterioritas (fungsionalisme). Makna sering kali dipahami sebagai suatu entitas atau peristiwa internal, mental: gambaran, konsep, ide. Konsepsi ini menundukkan bahasa pada pemikiran yang hanya sekedar pakaian. Sesuai dengan sikap anti-linguistik; makna adalah realitas spiritual yang otonom. Terhadap posisi ini, konsepsi negatif tentang interioritas ditegaskan. Tidak akan ada pemikiran yang murni, yang mendahului atau tidak bergantung pada bahasa. Hal ini pada hakikatnya adalah produksi dan pertukaran tanda dalam konteks nyata.
Untuk membebaskan dirinya dari kebingungan psikologis, Frege memperkenalkan perbedaannya yang terkenal antara Sinn dan Bedeutung. Ekspresi kategorirematik menyatakan (ausdruckt) Sinnnya, dan menunjuk (bezichnet ) Bedeutungnya.
Gardies memberi kita contoh berikut: Aristotle, Stagirit, murid Platon yang paling terkenal, Guru Alexander Agung, Pendiri Lyceum. Kita dapat memperkirakan masing-masing merespons terhadap Sinn, Â terhadap kandungan psikis berpengalaman yang berbeda, namun semuanya merujuk pada Bedeutung yang sama, Â yaitu individu yang mereka tunjuk.
Jadi, masalah epistemologis yang diajukan Dilthey adalah jenis kausalitas yang bekerja dalam ilmu-ilmu kemanusiaan: penjelasan vs pemahaman.