Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cawe-cawe, Apakah Lurah Itu Gila Kekuasan (6)

3 Oktober 2023   23:33 Diperbarui: 3 Oktober 2023   23:36 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau begitu, di mana letak kebenarannya cawe-cawe? Bagi filsuf Jerman jelas hal itu terdapat pada keinginan untuk berkuasa. Ada hubungan yang sangat erat antara kebenaran dan kekuasaan, tak terkecuali pada cawe-cawe Lurah Gila Kekuasan itu

Bayangkan sebuah media tertentu menerbitkan berita di pagi hari. Semua media lain menggemakan hal ini dan masing-masing menceritakan kisah dari sudut pandang ideologi mereka. Kemungkinan besar setiap orang akan menganggap benar "fakta" yang dipublikasikan oleh media yang paling sesuai dengan ide mereka.

Sekarang mari kita bayangka, mengingat berbagai versi media, kontroversi muncul dan, pada malam hari, orang-orang dari berbagai media berkumpul untuk mendiskusikan apa yang menurut mereka kebenaran atas apa yang telah terjadi (kebenaran bertabrakan justru karena yang ada hanya interpretasi fakta). Pada saat inilah pikiran kritis akan memahami kebenaran adalah putri kekuasaan

Oleh karena itu, jelas  kebenaran hegemonik akan selalu didukung oleh kekuasaan, karena ia merupakan ekspresi kuat dari keinginan yang ingin ditingkatkan untuk mempertahankan dirinya sendiri (untuk memahami hal ini, mari kita pikirkan rezim totaliter yang kebenarannya mutlak).

Dalam diri kita masing-masing terdapat keinginan untuk meningkatkan diri kita sendiri, untuk meningkatkan apa yang sudah kita miliki untuk melestarikan apa yang meresapi seluruh keberadaan kita: kehidupan. Setiap langkah yang kita ambil pada tangga realisasi diri adalah benih yang kita tanam untuk melestarikan kehidupan kita sendiri, aset kita yang paling berharga.

Berkat perkembangan kita, keinginan untuk melangkah lebih jauh, keinginan untuk berkuasa yang membanjiri kita, kita dapat menaklukkan medan yang belum diketahui dalam kondisi manusia kita. Setiap kali kita meningkat, melalui pencapaian hal yang membuat kita memiliki lebih banyak kehidupan, kita tidak hanya menjadi lebih banyak, namun kita hidup lebih lama. Jika apa yang dilestarikan tidak bertambah, maka ia akan mati.

Akhirnya, setiap keinginan Cawe-cawe Pak Lurah untuk berkuasa yang tidak bisa  meningkat untuk mempertahankan dirinya hanyalah sebuah kehidupan yang tidak dipenuhi dengan apa pun: apa yang kita pahami saat ini sebagai nihilisme (kata nihilisme berasal dari bahasa Latin nihil , kata ganti tak tentu yang tidak dapat diubah yang berarti "tidak ada").

Silsilah Moral, dan Kehendak Untuk Berkuasa adalah salah satu karya paling representatif untuk studi tematik ide-ide mendasar Friedrich Nietzsche, selain menjadi mahakarya seni interpretasinya, sebuah teknik yang ia transfer dari studinya sebagai seorang filolog ke studi yang kemudian ia lakukan sebagai filsuf.

Berbeda dengan psikolog Inggris sebelumnya, yang mengaitkan asal usul konsep baik dan buruk dengan kelupaan dan kebiasaan, Nietzsche melakukan tur sejarah dan etimologi untuk mencapai asal psikologis konsep-konsep ini dan dengan demikian mengungkap metamorfosis mendalam yang telah mereka derita sepanjang sejarah. Dan, yang terpenting, untuk membuat pembaca melihat  konsep "baik" dan "buruk" tidak berasal dari entitas transenden atau dari gagasan universal dan abadi, melainkan dari kekuatan manusia. Dan seluruh kajian ini, sebagai cara untuk mempraktikkannya, berasal dari konsepsinya sendiri tentang ontologi dan kebenaran sebagai interpretasi.

Bagi Nietzsche, manusialah yang menetapkan apa itu keberadaan dan kebenaran, sehingga menghilangkan transendensinya. Kedua konsep tersebut tidak berada di luar jangkauan manusia tetapi merespon kesepakatan antar manusia tentang cara memahaminya (kesepakatan yang seringkali tidak seimbang karena bisa berasal dari norma pihak yang mendominasi) dan kesepakatan ini bergantung pada penafsiran yang dibuat masing-masing. dunia di mana ia hidup dan yang tidak dapat dipisahkan untuk melihatnya secara obyektif, independen, "tanpa pamrih".

Apa yang ada, dari sudut pandang epistemologis, tidak ada di luar apa yang diinterpretasikan oleh setiap orang dan, dengan cara yang sama, konsep "baik" dan "buruk" tidak memiliki keberadaan independen di luar apa yang diputuskan oleh manusia. Seperti kebenaran, konsep "baik" dan "buruk" berasal dari perjanjian. Tapi dari mana perjanjian ini berasal? Di mana dan mengapa konsep-konsep ini muncul? Apa dorongan yang mendasari hal ini?

Singkatnya, dorongan yang mendasari terbentuknya konsep-konsep tersebut adalah keinginan untuk berkuasa. Tapi apa yang dimaksud dengan keinginan untuk berkuasa? Dorongan itulah yang menuntun manusia pada peneguhan dirinya sendiri, pada penegasan hidup, pada hasrat manusia akan realisasi diri di dalamnya, pada penciptaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun