Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Itu Solidaritas (1)

28 September 2023   19:09 Diperbarui: 3 Oktober 2023   08:28 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa Itu Solidaritas (1)

Pada zaman Stoa, namun Aristotle yang membeberkan solidaritas yang ada pada sekelompok orang yang memiliki ciri dan tugas yang sama, dalam ruang terbatas dan bermula dari tipe solidaritas yang "tertutup".  Namun, istilah "solidaritas" tidak muncul secara harfiah dalam filsuf Yunani, tetapi dalam pengertian persahabatan sebagai suatu kebajikan yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan realisasi diri seseorang melalui pelaksanaan tindakan yang adil. 

Konsepsi persahabatan Aristotelian ini adalah praktik cinta timbal balik antar manusia, yang tidak dipandu oleh alasan kegunaan, kesenangan atau manfaat, tetapi oleh karakter dan/atau pelatihan. Dah hal itu adalah keutamaan yang diperlukan bagi kehidupan manusia karena memungkinkan dia memiliki teman; Artinya, memungkinkan terjadinya sosialisasi manusia dengan sederajatnya (tanpa perbedaan ekonomi, sosial atau ras).

Praktek persahabatan bertujuan untuk mencari kebaikan bersama atau "kebaikan kota"; Untuk mencapai hal tersebut, manusia harus berbudi luhur dalam mengupayakan kebaikan sesamanya. Solidaritas muncul sebagai produk dari praktik ini; yaitu, dalam hubungan yang tercipta antara orang-orang yang mempunyai status setara dan yang mengupayakan kebaikan satu sama lain. Oleh karena itu, karena adanya ikatan yang umum dan subjektif, seperti selera pribadi atau profesional, persahabatan bersifat timbal balik dan tidak memungkinkan adanya perbedaan antar manusia.

Dengan cara ini, gagasan solidaritas, meskipun primitif, dipahami oleh Aristotle sebagai konsekuensi dari pelaksanaan persahabatan yang baik, yang memungkinkan hidup berdampingan antara orang-orang yang memiliki status politik, sosial, ekonomi, atau budaya yang sama atau berbeda. Untuk mencapai hal ini, persahabatan, "kesetaraan" antar manusia, dan pencarian kebaikan demi kebaikan harus ditegakkan. Konsekuensinya, kebaikan bersama akan tercapai dalam komunitas, sehingga timbal balik tidak diperlukan melainkan disengaja.

Dalam hukum Romawi, solidaritas dipahami sebagai bagian dari hukum perdata asli dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban debitur terhadap kreditur. Doktrin hukum Romawi menempatkannya dalam bidang kewajiban yang tidak dapat dibagi-bagi ( in solidum), digunakan untuk pluralitas subjek, yang didalamnya terdapat beberapa kreditur dan debitur. Pada saat yang sama, masing-masing kreditur mempunyai kuasa atau hak untuk menuntut pemenuhan manfaat, sementara

Setiap debitur mempunyai kebutuhan atau kewajiban yang mendesak untuk memenuhinya. Dengan kata lain, kreditur tunggal dapat menuntut pemenuhan kewajibannya secara penuh dan sekaligus,  atau debitur dapat membayarnya secara penuh dan sekaligus. Gagasan ini telah diterapkan dalam hukum perdata modern dan kemudian dalam hukum dagang/bisnis. Gagasan dalam solidum memberikan gagasan tentang solidaritas sebagai suatu kewajiban. Hukum perdata memberikan gagasan tentang kesatuan, yang dipahami sebagai penghubung antara sekelompok orang, yang disertai dengan persamaan keadaan debitur. Demikian pula kesatuan antar debitur melahirkan sikap timbal balik dengan orang lain (kreditur), sehingga tercipta persahabatan yang sah.

Solidaritas dalam diri Santo Thomas Aquinas tidak dikembangkan sedemikian rupa seperti dalam kasus Aristoteles, namun termasuk dalam gagasan kebajikan yang dikembangkan dalam karyanya Summa Theologica. Santo Thomas, mengutip Summa Contra Gentiles,  mengungkapkan: Keutamaan setiap benda mengubah pemiliknya dan pekerjaannya menjadi baik. Dengan demikian, kebajikan lebih dari sekedar kewajiban, karena kebajikan menyiratkan watak, kekuatan, dan kesempurnaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan ini adalah sarana perbaikan berkelanjutan manusia dalam mencari kebaikan.

Bagi Saint Thomas, manusia hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan sarana yang memenuhi kebutuhan dasar mereka (makanan, sandang, papan, dan lain-lain).  Untuk membimbingnya, manusia harus berhubungan dengan orang lain yang setara dengannya dan yang mencari tujuan yang sama. Dalam konteks ini, pengamalan keutamaan keadilan sangatlah berharga, karena memungkinkan manusia berinteraksi tanpa merugikan salah satu pihak, karena selalu mengupayakan kebaikan bagi setiap orang. 

Sebagai konsekuensinya, pribadi manusia meninggalkan individualisme egoisnya demi kesejahteraan orang lain, dan secara tidak langsung demi kepentingan komunitas. Tindakan penolakan ini adalah solidaritas, yang membuat kita percaya kebajikan keadilan dipraktikkan melalui solidaritas. Dengan kata lain, pelaksanaan solidaritas merupakan syarat penting dalam mengupayakan kebaikan orang lain dan, oleh karena itu, kebaikan bersama.

Solidaritas adalah kemampuan bersosialisasi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya; Yaitu kesatuan manusia dengan manusia lain yang sejenis, dihubungkan oleh ikatan yang identik, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam Santo Thomas, prinsip solidaritas adalah pengetahuan seseorang akan perlunya dan pentingnya hidup bermasyarakat dan bersatu dengan orang lain. Untuk mencapainya, manusia harus mempunyai kecenderungan yang diperlukan untuk mengamalkan kebajikan solidaritas, yang diwujudkan dalam tindakan nyata atau tindakan yang menunjukkan kemampuan bersosialisasinya. Dalam pengertian ini, kewajiban solidaritas terdapat dalam penolakan terhadap individualisme egois untuk memperoleh kesejahteraan.

Thomas Hobbes.Solidaritas menurut Hobbes muncul sebagai instrumen sosial yang diperlukan untuk pembentukan dan konsolidasi Negara. Ini adalah sarana yang memfasilitasi hubungan sosial, kohesi sosial, persatuan antar manusia dan keterbukaan antar laki-laki, untuk mengakhiri masalah "konflik alamiah manusia".

Oleh karena itu, solidaritas adalah sikap, "watak rasional" untuk meninggalkan dorongan individualistis alami kita demi kepentingan orang lain dan, kebetulan, kepentingan pribadi. Ketika semua orang memutuskan untuk bersatu, modifikasi atau pembatalan perjanjian tidak mungkin dilakukan dan satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah "bersama" menghormati peraturan yang telah ditetapkan dan akan dikenakan sanksi segera jika mereka gagal mematuhinya.

Lebih lanjut, Hobbes secara implisit memaparkan solidaritas sebagai kewajiban manusia untuk berintegrasi secara permanen dengan spesies yang sama, yang hanya dapat dicapai jika ia terus-menerus saling bergantung dengan orang lain.

Dengan cara ini, solidaritas Hobbesian mencerminkan evolusi pribadi, dari sikap egoistik individu menjadi sikap altruistik kolektif, demi kesejahteraan yang lebih besar dan lebih baik bagi seluruh umat manusia. Hal-hal ini bersatu atau berhubungan untuk menciptakan tatanan di mana masing-masing memberikan kontribusi terbaik dari dirinya (perdagangan atau profesi) kepada masyarakat sebagai imbalan untuk menerima manfaat yang lebih besar dan lebih baik daripada apa yang akan mereka terima jika mereka memutuskan untuk bertindak sendiri-sendiri.

Sebagai sebuah prinsip, hal ini menandai penolakan terhadap keadaan egoisme dan individualisme dengan imbalan keadaan kesejahteraan yang lebih baik. Lebih lanjut, sikap solidaritas adalah kecenderungan untuk mencapai kebaikan kolektif yang lebih besar atau lebih baik, melalui penolakan terhadap egoisme atau individualisme. 

Pada saat yang sama, kebajikan solidaritas dalam Hobbes adalah praktik sosialisasi yang cenderung mencapai kebaikan yang lebih besar atau lebih baik, dan yang memiliki tugas solidaritas sebagai penerimaan dan kepatuhan wajib terhadap aturan yang diberikan oleh Negara untuk menjamin dan memfasilitasi solidaritas antara manusia dan masyarakat. sehingga memperoleh manfaat yang lebih besar.

Citasi Buku pdf, Emile Durkhiem:

  • The Division of Labor in Society. Translated by W.D. Halls. New York: The Free Press, 1984.
  • The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method. Translated by W. D. Halls, Steven Lukes, ed. New York: The Free Press, 1982.
  • Sociology and Philosophy. Translated by D. F. Pocock. London: Cohen and West, 1953.
  • Contains three important articles: “Individual and Collective Representations” (1898), “The Determination of Moral Facts” (1906), and “Value Judgments and Judgments of Reality” (1911).
  • Professional Ethics and Civic Morals. Translated by Cornelia Brookfield. London: Routledge and Kegan Paul, 1957.
  • Socialism and Saint-Simon. Translated by C. Sattler. Yellow Springs, Ohio: Antioch Press, 1958.
  • “The Dualism of Human Nature and Its Social Conditions.” in Émile Durkheim, 1858-1917: A Collection of Essays, with Translations and a Bibliography, edited by Kurt Wolff. Translated by Charles Blend. Columbus, Ohio: Ohio State University Press, 1960.
  • “Individualism and the Intellectuals.” in Emile Durkheim on Morality and Society, edited by Robert Bellah. Translated by Mark Traugott. Chicago: University of Chicago Press, 1973.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun