"Sebaliknya, seringnya penggunaan simbol status seperti 'tahu lebih banyak' daripada yang lain dan upaya untuk mempengaruhi orang lain dapat dianggap sebagai tanda ketidakamanan atau 'ketidaklengkapan' dalam domain suatu kegiatan ," para peneliti menunjukkan.
Dalam praktiknya, orang yang banyak membual tidak mau mentolerir "kekurangan" dalam dimensi penting dari definisi diri mereka. Dan karena mereka cenderung tidak sabar dengan definisi diri, ketika mereka merasa  mereka telah gagal dalam beberapa bidang identitas mereka, alih-alih berusaha memperbaikinya, mereka hanya menggunakan simbol identitas lain untuk menutupinya. bagian yang mereka kurangi, kekurangan atau melebih-lebihkan pencapaian dan kualitas mereka untuk mencapai pengakuan yang mereka pikir pantas mereka dapatkan.
Tentu saja, kita tidak dapat memungkiri  lingkungan komunitas tempat kita tinggal menimbulkan tekanan sosial bagi kita untuk menampilkan diri dengan cara terbaik dan dengan demikian dapat memperoleh persetujuan dan rasa hormat yang kita butuhkan untuk hidup dalam masyarakat. Namun, kita harus memperhatikan topeng yang kita kenakan, karena seiring waktu kita bisa melupakan siapa diri kita sebenarnya, seperti yang dikatakan para filsuf.
Penampilan, tanpa esensi, adalah cangkang kosong, fasad yang cepat atau lambat akan runtuh, selalu membanggakan diri sendiri. Mereka yang hidup terlalu dekat untuk memperjelas jasa mereka harus membayar harga yang sangat tinggi karena mereka akan menjadi budak penyamaran mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Honore de Balzac: "Anda harus menyerahkan kesombongan kepada mereka yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipamerkan".
Lalu bagimana hal ini disimpulkan;
Secara umum "Kementus' atau Kemaki berarti sombong, angkuh, pongah. "Ora" artinya "tidak", dan kata "Pecus , becus" artinya bisa, mampu, sanggup, memiliki kompetensi melakukan sesuatu. Maka ["Kementhus Ora Pecus"] arti harafiahnya adalah "berlagak pintar tetapi sebenarnya tidak atau gagal paham. Â Itu kata-kata Raminthen Jogja;
Sedangkan telos atau tujuan larangan atau Wawelar /laranagan bersikap ["Kementhus Ora Pecus"] mengarahkan diri pada perilaku Etika Jawa (virtue), menuju   persatuan dengan Tuhan atau MKG (Manunggaling Kawula Gusti). Etika Jawa yang saya maksud "jangan membuat malu" atau memalukan, tidak tahu malu, dll;  semacam dua (dokrin mental "isin, wedi"). Mental (malu, dan takut), dalam konotasi ini sebagai bentuk kualitatif maka hanya dapat ditempuh dengan jalur "Rasa bukan Rasio". Maka keutamaan adalah proses diri menjadi dan menghasilkan apa yang disebut "Sembah Roso"_
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H