Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Ada Orang Suka Membanggakan Diri Sendiri?

30 Juli 2022   20:21 Diperbarui: 30 Juli 2022   20:42 3748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa Itu Membanggakan Diri Sendiri?

Kesombongan atau bangga diri atau memamerkan diri sendiri, ada bermacam-macam dan kondisinya, tetapi di balik perbedaan itu semuanya memiliki ciri yang sama: mereka memakai topeng. 

Orang yang banyak membanggakan diri sendiri mungkin mengorbankan identitas aslinya  atau setidaknya sebagian darinya   di atas altar penampilan. 

Mereka membual tentang kualitas, prestasi, dan kesuksesan mereka untuk mendapatkan kekaguman dan rasa hormat dari orang-orang di sekitar mereka. Dan jika perlu, mereka  menggunakan berlebihan dan kebohongan, sampai kurang paham batas diri sendiri.

Namun,   sebenarnya ada rasa ketidaklengkapan, seperti yang diungkapkan oleh sebuah penelitian yang dilakukan di University of Texas. Dalam praktiknya, orang-orang yang membanggakan prestasi dan keterampilan  pengalaman hidup bangga diri dan menceritrakan apapun yang unggul dan hebat,  perlu mengisi celah dalam identitas mereka. Kebanggaan mereka adalah strategi kompensasi untuk melengkapi identitas mereka secara simbolis, mengisi bagian yang hilang atau kekosongan jiwa;

Ada orang senang pamer diri, dan  berbohong  dengan isi batinnya, tentang kualitas mereka dan membual tentang kemenangan hidup mereka yang sebenarnya paradoks atau bahkan tidak jujur. Mereka hidup menunggu untuk memperjelas balas jasa  dan, jika mungkin, memposisikan diri mereka satu langkah di atas yang lain, lebih berkualitas, unggul dan membanggakan diri. Mereka memberi selalu mengharapkan tepuk tangan dan pengakuan eksternal. Namun, karena semua yang berkilau itu bukanlah emas, jauh di lubuk hati orang-orang ini dapat memiliki masalah besar dengan simbol identitas mereka justu mencemoh tindakan seperti itu;


dokpri
dokpri

Simbol identitas adalah karakteristik yang dengannya   mendefinisikan diri  sendiri dan yang dikenali orang lain. Menjadi seorang penulis hebat, berpengalaman dibeberapa benua, musisi, peneliti, pendidik, orang tua,  setia atau cerdas adalah "label" yang  pasang untuk diakui di masyarakat. Semua label ini adalah bagian dari identitas   dan membentuk citra yang di miliki tentang diri kita sendiri.

Para psikolog ini bertanya-tanya apakah kepercayaan diri yang kita miliki terhadap identitas yang telah kita bangun menentukan kebutuhan yang kita rasakan untuk mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Untuk menguji ini, dalam sebuah eksperimen, mereka meminta peserta untuk menyebutkan kegiatan atau subjek di mana mereka merasa sangat kompeten dan menuliskan berapa tahun yang telah mereka dedikasikan untuk itu dan kapan terakhir kali mereka bekerja di bidang itu.

Mereka kemudian diminta untuk menulis esai tentang bidang itu dan memutuskan berapa banyak orang yang harus membaca apa yang telah mereka tulis. Yang mengejutkan adalah   semakin sedikit pengalaman dan penguasaan yang dimiliki peserta dengan suatu kegiatan atau topik, semakin banyak audiens yang mereka inginkan.

Sebaliknya, orang yang lebih berpengalaman lebih kritis terhadap diri sendiri dan rendah hati. Hal ini menunjukkan   orang yang banyak membual memiliki identitas yang kurang "lengkap" dan ingin lebih mempengaruhi orang lain.

Para peneliti mencatat   "Seseorang yang memiliki kompetensi yang bertahan lama tidak mungkin terlibat dalam tindakan yang melambangkan diri sendiri. Orang dengan pengalaman hebat dalam suatu pengalaman hidup, misalnya, tidak secara tak terbatas menarik perhatian orang lain pada karakteristik atau keterampilan mereka; orang tersebut akan melakukan aktivitas dalam suasana kesopanan dan sederhana.

Dengan kata lain, orang yang merasa lengkap dan yakin pada dirinya sendiri tidak perlu terus-menerus membanggakan diri didepam publik tentang prestasi dan kualitasnya karena pengakuan internal sudah cukup bagi mereka, mereka tidak membutuhkan tepuk tangan dari luar untuk mendukung "aku"  atau tidak pernah menampilkan sebagai egosime berlebihan.

"Sebaliknya, seringnya penggunaan simbol status seperti 'tahu lebih banyak' daripada yang lain dan upaya untuk mempengaruhi orang lain dapat dianggap sebagai tanda ketidakamanan atau 'ketidaklengkapan' dalam domain suatu kegiatan ," para peneliti menunjukkan.

Dalam praktiknya, orang yang banyak membual tidak mau mentolerir "kekurangan" dalam dimensi penting dari definisi diri mereka. Dan karena mereka cenderung tidak sabar dengan definisi diri, ketika mereka merasa   mereka telah gagal dalam beberapa bidang identitas mereka, alih-alih berusaha memperbaikinya, mereka hanya menggunakan simbol identitas lain untuk menutupinya. bagian yang mereka kurangi, kekurangan atau melebih-lebihkan pencapaian dan kualitas mereka untuk mencapai pengakuan yang mereka pikir pantas mereka dapatkan.

Tentu saja, kita tidak dapat memungkiri   lingkungan komunitas tempat kita tinggal menimbulkan tekanan sosial bagi kita untuk menampilkan diri dengan cara terbaik dan dengan demikian dapat memperoleh persetujuan dan rasa hormat yang kita butuhkan untuk hidup dalam masyarakat. Namun, kita harus memperhatikan topeng yang kita kenakan, karena seiring waktu kita bisa melupakan siapa diri kita sebenarnya, seperti yang dikatakan para filsuf.

Penampilan, tanpa esensi, adalah cangkang kosong, fasad yang cepat atau lambat akan runtuh, selalu membanggakan diri sendiri. Mereka yang hidup terlalu dekat untuk memperjelas jasa mereka harus membayar harga yang sangat tinggi karena mereka akan menjadi budak penyamaran mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Honore de Balzac: "Anda harus menyerahkan kesombongan kepada mereka yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipamerkan".

Lalu bagimana hal ini disimpulkan;

Secara umum "Kementus' atau Kemaki berarti sombong, angkuh, pongah. "Ora" artinya "tidak", dan kata "Pecus , becus" artinya bisa, mampu, sanggup, memiliki kompetensi melakukan sesuatu. Maka ["Kementhus Ora Pecus"] arti harafiahnya adalah "berlagak pintar tetapi sebenarnya tidak atau gagal paham.  Itu kata-kata Raminthen Jogja;

Sedangkan telos atau tujuan larangan atau Wawelar /laranagan bersikap ["Kementhus Ora Pecus"] mengarahkan diri pada perilaku Etika Jawa (virtue), menuju    persatuan dengan Tuhan atau MKG (Manunggaling Kawula Gusti). Etika Jawa yang saya maksud "jangan membuat malu" atau memalukan, tidak tahu malu, dll;  semacam dua (dokrin mental "isin, wedi"). Mental (malu, dan takut), dalam konotasi ini sebagai bentuk kualitatif maka hanya dapat ditempuh dengan jalur "Rasa bukan Rasio". Maka keutamaan adalah proses diri menjadi dan menghasilkan apa yang disebut "Sembah Roso"_

 ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun