Hanacaraka, dan Hegelian
Manusia  punya tangan kiri dan kanan, kemudian kaki kiri dan kanan atau berjumlah 20 jari-jari dari 4 pancer ontologis, menjadi alienasi diri pada 4 arah angin Timur Barat Utara dan Selatan ditafsir pada hemenutika pada sifat "aluamah supiah amarah, mutmainah" menghasilkan "Roh Aksara Jawa" atau Aksara Kawi Aji Saka; yang berjumlah 20 huruf; (1) ha na ca ra ka (tesis); (2) da ta sa wa la (Anti tesis); (3) pa da ja ya nya (sintesis); (4) ma ga ba tha nga (kekosongan_ ngesti Suwung atau saya sebut "Hong"); empat pengalaman negative dan positif ini kemudian menghasilkan apa yang disebut "tatanan" semacam kecocokan, harmoni, menjadikan dokrin jiwa manusia (papan, ampan, adepan); atau nama lain pada sastra agung bernama;
"Mantra Kidung Bawono Langgeng" epos "Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng" Sopo entuk wahyuning Gust Allah; Gyoh dumilah mangulah ngilmu bangkit; Bangkit mikat reh mangukut; Kukutaning jiwanggo; Yen mangkono; Keno sinebut wong sepuh; Liring sepuh sepi howo; Awas loro ning atunggal;
(artinya terjemahannya adalah Siapapun yang menerima wahyu Tuhan; Dengan bijaksana mawas diri mencerna ilmu tinggi; sanggap dan mampu menguasai ilmu kasampurnan; Kesempurnaan lahiriah batiniah; Dan pantas disebut "orang tua" bijaksana; Arti "keutuhan manusia " adalah mampu mengendalikan semua hal paradox kehidupan;
Lalu dimana letak Hancaraka dikaitkan dengan filsafat Hegelian? Berikut saya ulangi kembali pada kalimat di atas;
Ha na ca ra ka (tesis); bermakna Manusia itu Utusan
Da ta sa wa la (Anti tesis); Siafat dunia manusia bertentangan/ membantah atau bertentangan dengan Tuhan;
Pa da ja ya nya (sintesis);bermakna Maka akan sama-sama berhasil baik [Korelasi] antara Tuhan, dan Manusia [MKG "Manunggaling Kawula Gusti"):
Dan dialektika Hanacaraka berada, berproses dan menjadi pada "Kidung Bawono Langgeng". Maka Kata  "Roh" atau Latin spiritus tidak dimaknai tunggal tetapi bisa berarti semangat, nafas, batin, jiwa, sukma, kesadaran rasionalitas, empiris (Jawa Kuna menyebut kasunyatan atau  kenyataan; fakta), atau apa yang dikatakan Hegel sebagai Roh Dunia Weltgeist ("world spirit"); Alam logos Jawa:  juga bersifat Bersifat Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung. Buwono Agung {makrokosmos], dengan Buwono Alit [mikrokosmos], menghasilkan sintesis pada Waktu atau sama dengan indahnya Keselasan kehidupan [metafora Gendhing] indentik dengan musik  "keselarasan" kesatuan sekalipun saling bertentangan berbeda nada. Gendhing adalah wujud penjelmaan tiruan alam  Bersifat Relasional;
Maka semua dasar Jawa Kuna  artinya mengerti atau memahami dengan mata batin; tentu dengan tidak mengabaikan peran rasionalitas, dan seni tiruan (mimesis); seperti pada kalimat sadulur ingkang karimatan lan mboten karimatan; "Sadulur Papat Lima Pancer (Kajian Filsafat Roh Jawa} kemudian bisa dipahami dengan meminjam filsafat Hegelain;  Â
Roh absolut baik Hanacaraka dan Hegelian menjadi memungkinkan dijelaskan dengan filasat Roh. Catatan Kata Roh bisa baik pada Hegelian dan  Roh Jawa]; sebagai wujud untuk memahami mental {Gesit} Jawa tidak bisa satu kata, konsep, kalimat dimaknai secara tunggal, tetapi bersifat Dasanama berasal dari kata dasa yang berarti sepuluh dan nama yang berarti sebutan atau nama kata dll bersifat banyak arti makna. Roh bisa berarti raga/materi, kesadaran, pemikiran, jiwa, cipta, rasa, karsa dan seterusnya;
Pertanyaan tentang bagaimana dunia dan manusia muncul dan di atas semua pertanyaan tentang "mengapa?" telah menduduki umat manusia selama ribuan tahun. Apa yang ada sebelum dunia dan apa yang akan terjadi setelahnya? Karena orang tidak dapat memproses hal-hal ini secara ilmiah untuk waktu yang lama, asal usul dunia selalu dijelaskan oleh ide-ide agama dan mitos. Sebagian besar budaya dan agama merujuk pada penyebab asal pertama, kepada pencipta yang sebagian besar dipersonifikasikan
Dan karena, seperti yang khas baginya, manusia terutama memikirkan dirinya sendiri, pertanyaan tentang apa yang terjadi padanya setelah kematian begitu menyita perhatiannya sehingga dia sering menundukkan hidupnya di sisi ini daripada hidupnya di sisi lain. Ide pengadilan, hadiah dan hukuman sudah menentukan ide-ide dalam mitologi Yunani. Plato sudah menyadari  manusia dalam keadaan duniawinya bodoh dan dunia ini hanyalah gambaran pucat dari realitas yang sebenarnya. Namun dalam 500 tahun terakhir ide-ide lama ini telah dipertanyakan secara radikal.
Pencerahan, dengan deismenya, semakin meminggirkan Tuhan dengan mengajukan tesis tentang dewa pembuat jam yang menciptakan dunia dan kemudian tidak mempedulikannya lagi. Kant juga bergerak di sepanjang garis ini. Dia menuntut, bisa dikatakan, keberadaan Tuhan demi moralitas dan keabadian manusia. Bertindak secara moral sering kali berarti tidak bertindak untuk keuntungan diri sendiri, dan bahkan menerima kerugian diri sendiri. Jadi ada kebutuhan untuk keseimbangan keadilan setelah kematian yang menghargai tindakan yang benar di dunia ini. Pemikir kemudian seperti Feuerbach dan Marx lebih fokus secara radikal pada manusia dan akhirnya menyangkal keberadaan Tuhan dan menganjurkan ateisme demi manusia.
Namun, Hegel benar-benar gagal dari pola yang disarankan di sini. Dia tidak ingin menyangkal Tuhan untuk memberi orang lebih banyak kebebasan, kepercayaan diri, bahkan makna. Dia adalah orang pertama yang menerima  dunia dan manusia sepenuhnya tunduk pada sesuatu yang lebih tinggi, untuk menyatakan tidak pentingnya di sini dan sekarang, dan dilihat dengan cara ini, Hegel benar-benar tidak sesuai dengan semangat zamannya.
 Sementara Immanuel Kant masih berkonsentrasi pada subjek yang mengetahui, yang membentuk kembali realitas di luar pemikirannya, Johann Gottlieb Fichte telah berasumsi  tidak ada yang ada di luar 'diri yang absolut'; dunia diciptakan oleh 'aku mutlak' ini. Yang ada hanyalah spiritual, yang ideal. Di sini ide dasar idealisme dirumuskan untuk pertama kalinya.