Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Socrates, Ojo Dumeh

16 Januari 2022   20:38 Diperbarui: 16 Januari 2022   20:49 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Socrates, menurut Kierkegaard, ironi bukan sekedar sarana, tetapi berkaitan dengan keberadaan. Ini menerapkan pengetahuan tentang ketidaktahuan dan merupakan ekspresi dari wawasan ini. Ini membuatnya menjadi ekspresi yang tepat dari keberadaan.

Ketidaktahuan Socrates mencontohkan keberadaan berpikir. Pemikiran objektif tidak mempedulikan subjek dan keberadaannya. Pemikir subjektif sebagai eksistensi tertarik pada pemikirannya karena dia ada di dalamnya. Hanya pengetahuan yang secara esensial berkaitan dengan keberadaan yang merupakan pengetahuan esensial. Pengakuan yang tidak menyangkut keberadaan batiniah dalam refleksi batin pada dasarnya tidak relevan. Ironi menjadi ekspresi eksistensi sebagai ketidaktahuan kategoris dan mengarah pada refleksi diri. Eksistensi manusia dicirikan sebagai mode eksistensi mengetahui ketidaktahuan.

Soren Kierkegaard, Ironi memunculkan ketidakbermaknaan hal-hal bagi diri sendiri. Socrates membiarkan kesenjangan antara pengetahuan dan ketidaktahuan, keterbatasan dan ketidakterbatasan terbuka. Justru ini merupakan kekhasan keberadaan. Daemon Socrates menginternalisasi kontradiksi antara keterbatasan dan ketidakterbatasan dan menjadi perwakilan dari klaim tak terbatas pada diri yang terbatas. Dengan demikian, daimonion berarti rujukan pada yang transenden atau batas yang menunjukkan ketidaktahuan dasar.

Menurut Kierkegaard, bagaimanapun, hanya agama Kristen yang menawarkan titik pemberhentian dengan kategori lompatan. Kemungkinan iman terbuka dari pengakuan akan keterbatasan diri sendiri. Manusia bisa berani melompati batas pengetahuan menuju keimanan. Situasi paradoks ini harus diterima dan identitasnya sendiri harus dikorbankan untuk mendapatkan identitas aslinya.     "Refleksi adalah jerat di mana seseorang terperangkap, tetapi hubungan menjadi berbeda melalui lompatan yang diilhami oleh religiusitas, melalui itu menjadi jerat yang melemparkan seseorang ke dalam pelukan Yang Abadi."

Simpulan tulisan ini pertama [1] semua hal apapun didunia ini bersifat paradoks, sementara dan tidak pernah stabiil secara tetap dan abadi. Paradoks yang melibatkan ketidakjelasan, pengetahuan, kepercayaan, dan ruang dan waktu diperlakukan dalam entri terpisah. Maka kata "antinomi" digunakan   sebagai alternatif, dan sinonim dengan, "paradoks". Kebanyakan paradoks, tetapi tidak semua melibatkan kontradiksi; untuk atau sering menggunakan istilah kata "kontradiksi". Jika kamu mengaggap dirimu hebat dan kuat, maka kamu akan dijemput oleh "paradoks" biasanya berarti pernyataan yang mengklaim sesuatu yang melampaui akhirnya akan mengelami bertentangan, teralienasi;

Simpulan tulisan kedua   [2] Paradoks epistemik adalah teka-teki yang menghidupkan konsep pengetahuan (episteme adalah bahasa Yunani untuk pengetahuan). Biasanya, ada jawaban yang saling bertentangan dan dapat dipercaya untuk pertanyaan-pertanyaan ini (atau pertanyaan semu, tidak jela ambiguity dan abu-abu). Jadi teka-teki itu segera memberi tahu kita tentang ketidakkonsistenan. Dalam jangka panjang, teka-teki itu mendorong dan membimbing kita untuk mengoreksi setidaknya satu kesalahan mendalam - jika tidak secara langsung tentang pengetahuan, maka tentang konsep sejenis seperti pembenaran, keyakinan rasional, dan bukti.

Akhirnya kehidupan itu hanya MAYA [seperti simbol Semar Jawa], tidak jelas, atau menyebutkan asal mula epistemologi dengan munculnya orang-orang yang skeptis. Seperti yang dimanifestasikan dalam dialog Plato yang menampilkan Socrates, paradoks epistemik telah dibahas selama dua puluh lima ratus tahun lalu, dan teka-teki tentang pengetahuan ini akan dibahas selama   lima ratus tahun ke depan bahkan lebih. Kebeneran itu belum ada, yang ada kita masih mencari dan menemukan kebenaran. Jika sudah benar maka kita berhenti belajar;

Simpulan ke [3] Maka jadilah manusia untuk tidak pernah sombong, sok tahu, merasa hebat, unggul, lebih berpengalaman, dan berhasrat mengajari orang lain, apa lagi merasa berkuasa, merasa jadi orang penting, dan ingin disanjung, dipuji, dihormati, diakui, wajib dicintai,  dan seterusnya selalu ingin dirinya melampaui orang lain dan merasa paling [di Jawa disebut "Kementhus Ora Pecus" atau kata larangan Jawa bernama OJO DUMEH,  ingatlah didunia ini semua tidak ada yang abadi, semua bergerak berubah dalam waktu, tidak ada yang Abdi. terima kasih_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun