Bunyi teks Politea atau Buku 3 [tiga] Republik (3.388e), Â Â " Katamu benar-benar," jawabnya. "Tapi itu tidak harus, seperti yang kita pikirkan tetapi sekarang tunjukkan pada kita, di mana kita harus menaruh kepercayaan kita sampai seseorang meyakinkan dengan alasan yang lebih baik." "Tidak, itu tidak boleh." "Lagi-lagi, mereka tidak boleh tertawa. 1 Karena biasanya ketika seseorang membiarkan dirinya tertawa terbahak-bahak, kondisinya memicu reaksi keras. "" Saya kira begitu, "katanya. "Lalu kalau ada yang mewakili orang-orang yang berharga sebagai dikuasai
Orang-orang dahulu umumnya menganggap tawa yang kejam tidak bermartabat. Seperti  Iblis Mengisolasi. Pada teks nomoi atau  Hukum Plato 732 C, 935 B, Epictetus Encheiridm, melaporkan bahwa Platon tidak pernah tertawa berlebihan di masa mudanya. Pria berjiwa besar Aristotle  selalu  menghindari tertawa mengolok-olok;
Maka olok-olok atau tragedy yang paling mengganggu bagi Platon adalah lorong-lorong di Iliad dan Odyssey tempat Gunung Olympus dikatakan berbunyi dengan tawa para dewa. Dia memprotes "jika ada orang yang mewakili orang-orang yang berharga dikuasai oleh tawa, kita tidak boleh menerimanya, apalagi dewa."
Keberatan Platon lain untuk tertawa adalah berbahaya. Pada teks Philebus adalah dialog Sokrates yang ditulis pada abad ke-4 SM oleh Platon. Selain Socrates (pembicara utama), lawan bicara lainnya adalah Philebus dan Protarchus. Philebus, yang menganjurkan kehidupan kenikmatan fisik ( hedonisme , hampir tidak berpartisipasi, dan posisinya malah dipertahankan oleh Protarchus, yang belajar argumentasi dari para Sofis.Â
Socrates mengusulkan ada kesenangan yang lebih tinggi (seperti yang ada dalam pikiran) dan lebih rendah, dan bertanya apakah kehidupan terbaik bukanlah kehidupan yang secara optimal memadukan keduanya.
Filsafat Satire misalnya dalam Philebus (48-50), ia menganalisis kenikmatan komedi sebagai bentuk cemoohan. "Secara umum," adalah  "konyol pada jenis tertentu, khususnya kejahatan." Kejahatan itu adalah ketidaktahuan terhadap diri sendiri [atau tidak tahu diri, atau tidak sadar bodoh]: orang-orang yang ditawai  membayangkan/menyangka diri mereka lebih kaya, lebih tampan, lebih pintar, lebih lebat, atau lebih berbudi luhur tetapi sebenarnya adalah tidak. Mereka itu manusia bodoh dan tidak paham apa-apa. Maka Platon menyatakan menertawakan mereka, artinya kita menikmati sesuatu yang jahat  ketidaktahuan mereka sendiri  dan kejahatan itu tidak dapat diterima secara moral.
Maka mentertawakan orang bodoh menurut Platon adalah tidak bermoral, atau mengolok-olokkanya; maka keberatan terhadap tawa dan humor ini, Platon mengatakan  dalam kondisi ideal, komedi harus dikontrol dengan ketat. "Kami akan memerintahkan agar perwakilan seperti itu diserahkan kepada budak atau orang asing yang disewa, dan  mereka tidak menerima pertimbangan serius apa pun. Tidak ada orang bebas, baik wanita maupun pria, yang didapati mengambil pelajaran di dalamnya. "
"Tidak ada komposer komedi, nada, irama, atau lirik yang boleh membuat warga negara tertawa, dengan kata atau gerak tubuh, dengan penuh semangat atau sebaliknya" ( teks peraturan atau Hukum Warga Negara pada buku 7 Republic Platon : 816e; dan Buku 11 pada teks Buku Republic 935e).
Pemikir Yunani setelah Platon memiliki komentar negatif yang sama tentang tawa dan humor. Meskipun Aristoteles dianggap sebagai bagian yang berharga dari percakapan Etika Nicomachean), Â setuju dengan Platon bahwa tawa mengekspresikan cemoohan. Makai a adalah penghinaan yang dididik. Dalam the Nicomachean Ethics (Aristotle) memperingatkan "Kebanyakan orang menikmati hiburan dan bercanda lebih dari yang seharusnya; bercanda adalah semacam ejekan, dan pembuat hukum melarang beberapa jenis ejekan; Â mungkin mereka seharusnya melarang semacam bercanda.
Pada eras Stoics, dengan penekanan pada kontrol diri, setuju dengan Platon bahwa tawa mengurangi kontrol diri. Janganlah gelak tawa Anda keras, sering, atau tidak terkendali." Pengikutnya mengatakan bahwa dia tidak pernah tertawa sama sekali.
Filsafat Satire dalam orang-orang Yunani telah melembagakannya dalam ritual yang dikenal sebagai komedi, dan bahwa itu dilakukan dengan bentuk dramatis yang kontras yang dikenal sebagai tragedi. Keduanya didasarkan pada pelanggaran pola mental dan harapan, dan di kedua dunia ini terdapat sistem yang saling bertentangan di mana manusia hidup dalam bayang-bayang kegagalan, kebodohan, dan kematian.