Yang Tersembunyi Pada Tanah Air Dayak Kuna di Borneo
Tulisan ini adalah studi etnografi selama hampir 20 tahun tentang Dayak Kuna, dan dalam kaitan dengan aspek seni memahami dalam lingkup kebudayaan, cara hidup yang dihayati, dan cara ekspresi kehidupan dalam aspek sejarah pengaruh. Tulisan ini adalah penelitian Apollo Daito., 2019., Studi Metafisika, Filologi Dayak Kaharingan., Laporan Penelitian Mandiri.
Teks Narasi Kosmogoni Dayak Kuna di Borneo adalah pintu awal memahami dalam kemanjadian dan kemungkian tafsir hermeneutika dalam aspek jiwa raga manusia dan tanah sehingga disebut manusia yang memiliki tanggungjawab etis, dan norma-norma yang dianggap sebagai pencirian atau identitas lama pada Tanah Dayak Kuna di  Borneo.
Tafsir  Filologi hermeneutika pada wangsa Tanah Dayak Kuna di  Borneo dapat memiliki banyak makna, dan pengalaman sejarah. Bisa ditafsir secara harafiah, makna alegori, bahkan makna metafisik sebagai perjumpaan [encounter] dalam dimensi tanpa ruang dan waktu [semacam keabadian].
Pada tafsir kosmogoni dua manusia pertama bernama Narasi yang saya pahami, dan dapat meminjam teks pada esensi ["Odysseus", dan makna pengorbannya" upaya kembali ke kampung halamannya bernama Itaca] mirip dalam riset saya pada wayang Jawa Kuna lakon "Bima mencari air purwita sari" , atau mitos pada "kisah Mahabrata", maka Epos  Dayak Manyaan Kalimantan tentang "Etuh", atau "Nini Punyut" atau "Etuh Bariungan" atau "Narasi Dara Mula Lapeh".
Memang ada keunikan dan beberapa perbedaan pada Tujuan akhir (the journey) Â atau visi misi tindakan ["Odysseus"] untuk dapat kembali ke kampung halamannya sendiri (Ithaca) atau mirip Jawa Kuna pada mitos Kejawen dokrin Manunggaling Kawula Gusti, atau Kaharingan pada Dayak Wadian Welum, Wadian Matei.
Ke [1] Ontologi Kosmogoni Wangsa Tanah Dayak Kuna Borneo harus dipahami dalam teks bahasa Bahasa ini di gubah dalam syair "Janyawai " bukan bahasa yang di pakai sehari-hari. Pada teks Kosmogoni Dayak Kaharingan) : adalah encounter dua manusia [1]  Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, manusia yang kedua kisah ini, [2] Datu Mula Munta, diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Kemudian terjadilah dialektika menghasilkan sintesis baru bernama Air Menetes Ke Tanah (Metak Ranu Madu Rahu, Lawu Ma Tane Tipak Sulau). Air Menetes Ke Tanah  sebesar telapak kaki dua manusia. Tujuh Air Menetes Ke Tanah  adalah bersifat non indrawi, dan dua Air Menetes Ke Tanah adalah dapat dipahami secara indrawi.
Kemudian hasil Air Menetes Ke Tanah berwujud hal-hal menjadi jenis kehidupan [7] Air Menetes Ke Tanah berasal dari Dara Mula Lapeh, dan [2] Air Menetes Ke Tanah berasal dari Datu Mula Munta.
Tujuh Air Menetes Ke Tanah adalah bersifat non indrawi adalah [1] Jiwa atau roh atau mental disebut symbol pohon kehidupan, (2) Tetesan  akal budi dan kerendahan hati  metafora ilmu padi, (3) metapengetahuan untuk menyembuhkan jiwa atau roh; [4] jiwa atau roh yang mempersatukan cinta umat manusia, (5) penentun jiwa atau mental atau roh  untuk pertolongan dalam krisis, (6) jiwa atau mental atau roh menjelma menjadi kebatianan pemimpin rekonsiliasi dengan apapun, (7) Jiwa atau roh atau mental bagi  kekembalian pada tempat yang sama secara abadi atau ketika "semuanya dibalik,".
Sedangkan dua Air Menetes Ke Tanah adalah dapat dipahami secara indrawi, adalah [1] wujud rupa tampakan biotik atau abiotic pada tumbuh jadi kayu-kayuan, rumput-rumputan, (2) semua makhluk hidup. Sembilan unsur  Air Menetes Ke Tanah menjadi satu bumi, satu alam, satu bangsa.
Bagaimana tafsir hermeneutika Ontologi Kosmogoni Wangsa Tanah Dayak Kuna Borneo kemudian menghasilkan episteme etika.