Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Euripides: Medea Sastra Klasik [5]

8 Juli 2019   11:07 Diperbarui: 9 Juli 2019   01:20 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Euripides : Medea Sastra Klasik [5]

"Euripides mengungkapkan dengan sangat halus dan rumit dasar-dasar sosial kita yang seringkali brutal. Drama ini membuat dilema kontemporer sepenuhnya tentang hubungan antara kekerasan pribadi dan negara dan ketertiban sipil." "Dari semua sandiwara Euripides, ini adalah pemeriksaan mitos, moralitas, dan kekuasaannya yang paling skeptis dan subversif. Sementara Herakles jauh dari rumah untuk melakukan pekerjaannya, seorang tiran naik ke tampuk kekuasaan dan mengancam akan mengeksekusi istri, anak, dan ayah Herakles. 

Herakles kembali tepat pada waktunya untuk membunuh tiran dan menyelamatkan keluarganya. Tetapi pada saat perayaan, Madness muncul dan mendorong Herakles untuk membunuh istri dan anak-anaknya, akhirnya mengarah ke pengasingannya, dengan kemauannya sendiri, untuk Athena. "

Penulis naskah drama Yunani, Euripides, yang hidup dari tahun 480 SM hingga 406 SM, memiliki empat kemenangan sebagai Tragedi. Sepertiga dari "Tiga Besar" dari tragedi, Euripides, pada masanya, kurang berhasil daripada Aeschylus dan Sophocles, yang memiliki 13 dan 20 kemenangan. Tulisan Euripides secara drastis berbeda dari yang lain. Sementara penulis naskah seperti Sophocles menulis karakter dengan cara yang seharusnya, idealnya Euripides menulis karakternya dengan jujur dan menggambarkan orang sebagai orang yang berbelas kasih, kejam, dan rumit.

 Tentang Barbarian dan Warga Euripides dan Aristophanes memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang wanita dalam karya mereka. Euripides cenderung menganggap mereka sebagai orang-orang kuat yang disalahpahami, sementara Aristophanes menunjukkan perempuan sebagai hal yang lucu dan dapat dimaafkan. Perbedaan dalam persepsi tentang wanita oleh penonton mungkin berasal dari judul yang diberikan kepada wanita dalam cerita. Medea dalam permainan Euripides adalah seorang yang biadab; Lysistrata dalam lakon Aristophanes adalah warga negara.

Medea sebagai Wanita, Pahlawan dan Dewa Dalam peran Euripides, judul peran dan fokus drama. Diperlakukan secara berbeda melalui permainan oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda,   beradaptasi dan mengubah karakternya, akhirnya menang atas suaminya yang dibenci, Jason. Medea layak dipandang sebagai wanita fana, sosok pahlawan tragis Aristotle dan  sebagai dewi yang terpuji. Identitas Medea sebagai wanita yang lemah ditekankan pada awal permainan. Sangat jelas  Medea mengalami kemalangan bukan karena kesalahannya sendiri dan tidak berdaya dalam masalahnya ("dunianya telah berubah menjadi permusuhan"). Tidak mampu mengubah situasinya adalah contoh penggambarannya sebagai sosok wanita yang lemah.

Namun, sekali lagi, kita melihat ketajaman di balik kerudung kelemahannya ("tidak ada roh berdarah"). Dengan mengatakan ini, itu bukan hanya kemarahan, pembunuhan yang mampu melampaui. Medea membuat referensi yang jelas pada fakta  dia adalah bagian   kelompok wanita celaka dan  Medea hanya menyerang balik sebagai status seorang wanita "dicemooh" oleh alam dan kondisi.

Ketika Creon datang ke atas panggung, Medea melanjutkan dengan penampilan menyedihkan, memohon ("Aku berlutut padamu, aku memohon padamu"). Medea mencoba meyakinkan Creon  dia tidak memiliki ancaman darinya, menggunakan fakta    seorang wanita untuk membuatnya mengabaikan kekuatannya ("Aku tidak dalam posisi - seorang wanita  untuk salah seorang raja"). Namun, setelah adegan ini adalah di mana citra Medea sebagai wanita lemah berakhir. Paduan suara menunjukkan belas kasihan mereka dan   keadaan Medea "menyentuh hati kita". Tetapi pada titik ini, Medea menjadi wanita pembunuh dan berbahaya yang akan membunuh anak-anaknya dan tertawa gembira memikirkan kematian Glauce. Medea menyatakan   memanipulasi Creon, menjilatnya "untuk mendapatkan tujuan saya". Medea  masih mengasihani anak-anaknya tetapi tidak dalam intensitas yang sama (sampai akhirnya akhirnya kehilangan rasa kasihan sepenuhnya dalam pembunuhan bayi gandanya). Sebagai seorang ibu, Medea di permukaan bukanlah yang terbaik, karena akhirnya membunuh anak-anaknya, mengabaikan permohonan belas kasihan mereka ("Ibu, jangan bunuh kami"). Namun, tidak boleh mengabaikan sakit hati dan rasa sakit yang dialami Medea dalam membunuh mereka, dan membelas dendam pada kemarahannya pada Jason. Dibutuhkan keyakinan yang luar biasa untuk melaksanakannya ("berpisah darimu, hidupku akan terasa sakit dan serba salah].

Dalam 'Medea', Euripides menunjukkan Medea dalam cahaya baru, sebagai wanita yang dicemooh yang oleh simpati penonton sampai batas tertentu, tetapi    dipandang sebagai monster karena tindakannya membunuh anak-anaknya sendiri. Protagonis pada sebuah tragedi, yang dikenal sebagai Pahlawan Tragedi seharusnya memiliki karakteristik tertentu yang menyebabkan penonton bersimpati dengan mereka dan terlibat secara emosional dengan plot. Dua karakter utama, Medea dan Jason, masing-masing memiliki kualitas tertentu dari Pahlawan Tragis.

Drama-drama Euripides sering menampilkan wawasan yang luar biasa tentang kondisi manusia dan perjuangan yang dipikul oleh karakternya karena peran yang diharapkan dari mereka dalam masyarakat. Euripides bersimpati pada nasib perempuan di Yunani. Di Medea sebagian besar karakter adalah wanita. Karakter laki-laki dalam drama itu tampaknya tidak menggambarkan kedalaman seperti yang ditampilkan oleh wanita. Jason, suami Medea, meninggalkannya untuk menikah dengan putri raja. Jason menunjukkan dirinya berpengalaman dalam retorika dan sangat mementingkan diri sendiri.

Dengan membaca kekinian pada teks Euripides : Medea Sastra Klasik bagi saya ada hal yang menarik dan luar bisa. Kasus Jason hendak berpoligami dengan putri Creon dan meminta izin restu dengan Medea dan anak-anaknya, maka persis disitulah problem muncul. Medea tidak terima, dan tidak sanggup menanggung kondisi ini. Betapa cinta dan kasih sayangnya pada keluarga telah membuat dirinya mengalami sakit hati dan dendam. Sekalipun Medea adalah symbol wanita lemah, cengeng, tetapi dia akhirnya mampu keluar dari dirinya menendang melampaui hukum, melampaui agama, melampaui tradisi, dan melampau dirinya. Baginya membunuh Jason adalah tidak cukup dan tidak akan mampu membalas sakit hatinya. Maka cara Medea adalah membunuh anak-anaknya membuang yang paling berharga pada dirinya [alienasi diri], sehingga dengan tindakan itu maka Jason akan mengalami kesediahan penyesalan pahitnya perasaan manusia yang tidak dapat diukur dengan apapun. Bagi Medea membunuh suaminya memiliki kurang nilai karena justru kematian Jason tidak bernilai. Karena kematian membuat masalah selesai didunia bagi beban Jason. Maka Medea menempuh jalur keputusan membunuh  anak-anaknya bersama Jason. Maka dengan langkah ini harapan Medea, Jason akan sedih, menyesal, dan hancur.

Wajar jika kemudian Arthur Schopenhauer mendefinisikan manusia itu problem utamanya ada pada kehendak [wille] dimana mengambil posisi sebagai seorang misoginis sejati. Schopenhauer  menyatakan perempuan secara langsung diadaptasi untuk bertindak sebagai perawat dan pendidik anak usia dini kita, karena alasan sederhana  mereka sendiri kekanak-kanakan, bodoh, dan penglihatan pendek   dengan kata lain, adalah anak-anak besar sepanjang hidup mereka, sesuatu perantara antara anak dan pria, yang adalah pria dalam arti kata yang ketat. Pertimbangkan bagaimana seorang gadis muda akan mempermainkan hari demi hari dengan seorang anak, menari dengannya dan bernyanyi untuknya; dan kemudian mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan seorang pria, dengan niat terbaik di dunia, di tempatnya.

Menikah sama dengan membunuh diri sendiri dan hidup menjadi teralienasi. Gaji diberi keluarga, mobil diambil anak, rumah diwariskan kepada anak atau menyenangkan pasangan, uang dipakai anak dan keluarga, bahkan orang tua ibu kita tidak tahu gaji anak laki-lakinya, justru yang tahu anak orang lain [istrinya]. Menikah adalah menderita, sengsara atau teralienasi. Mendidik anak adalah menyenangkan orang lain dan bukan diri sendiri. Namun justru manusia teralienasi seperti ini justru dianggap menjadi manusia. Dan kebaikan justru dinormakan sedemikian rupa yang bersifat paradox alienatif. Demikianlah hari ini begitu banyak perceraian, begitu banyak tragedy kemanusian dalam pernikahan.

Paradoks: Menikah sama dengan membunuh diri sendiri dan membiarkan hidup menjadi teralienasi. Jadi menikah adalah awal masalah, tetapi manusia dianggap  menjadi manusia justru dengan menikah.  Lalu mengapa manusia menikah?. Alasan agama dan alasan cinta. Tetapi ada alasan lain yakni kehendak manusia untuk melestarikan species dan melestarikan penderitaan

Pada sisi lain Jason adalah laki-laki egois, dan sisi lain Medea mampu memberikan pemotongan apa yang paling berharga dalam dirinya. Pada kasus ini baik Jason, dan Medea adalah gambaran dalam psikologi dan sejarah pemikiran tentang kebebasan vs [Alienasi] atau pemberian diri atau pengorbanan diri bagi yang lain [the others]. Dan persis disini adalah ontologis moral umat manusia, dan masyarakat [The Foundation of Morals] diperdebatkan.

Dan persis tafsir hermeneutika ini bisa dipakai dalam konteks agensi theory bidang akuntansi, atau bidang koreasi antara kapitalisme dengan buruh atau budak pegawai dalam bidang ilmu ekonomi. Dimana pemberian tenaga kerja bagi pemilik modal atau kaum kapitalisme tidak ubahnya sama dengan penyerahan diri untuk yang lain atau dikembangkan dalam gagasan Karl Marx, vs Gagasan Adam Smith antara ekonomi  sosialisme dan liberalism kapitalisme.

Apapun yang berharga diberikan kepada orang lain dan saya menderita teralienasi, hasil kerja saya demi orang lain, hidup adalah memberi sama dengan makna memotong kesenangan diri, memotong yang bernilai pada dirinya, termasuk misalnya  kewajiban membayar pajak kepada negara. Saya tidak bisa menjadi diri saya karena ada yang lain, yaitu hasrat yang lain mengganggu kebebasan kehidupan saya. Jadi hidup saya tiap hari tiap waktu diganggu yang lain, manusia hidup dalam alienasi diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun