Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metafisika Geist Simbol-simbol Ibu Kota NKRI [3]

8 Mei 2019   23:36 Diperbarui: 9 Mei 2019   00:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metafisik Geist  Simbol  Ibu Kota NKRI [2]

Kunjungan bapak Presiden  dari tanggal 07 Mei 2019 sampai 08 Mei 2019   untuk   rencana pilihan wilayah pemindahan ibu kota NKRI pada dua daerah yakni Kaltim, dan Kalteng.

Pada tulisan ke [3] ini saya melakukan rekonstruksi dan dekonstuksi pada pemahaman lebih mendalam tentang tafsir Metafisik Hegelian pada  [Geist]  Simbol  Ibu Kota NKRI  sesuai dengan pengalaman mata batin paling [metafisika] atau hasil repleksi kebatinan kunjungan presiden Jokowi di Kalteng dari kemaren malam dan hari ini. Berdasarkan berita Presiden RI Joko Widodo bersama sejumlah menteri dan Gubernur Kalteng   meninjau lokasi lahan yang dipersiapkan untuk wilayah Ibukota Pemerintahan.

Presiden secara langsung meninjau dari atas Bukit Nyuling Kabupaten Gunung Mas, untuk wilayah yang akan disiapkan sebagai kantor pemerintahan. Usai mendarat di Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, menyempatkan menyapa dan bersalaman dengan masyarakat desa. Jokowi diterima dan disambut secara adat dayak, dengan pemotongan pantan dan pengalungan lilis lamiang oleh damang adat dan Bupati Arton S. Dohong.

Tafsir metafisika saya mengawinkan dua teks dalam mitologi Kaharingan Dayak dengan mitos teks dalam metafisika  "Bangun Candi Sapto Argo", dan "pusaka Jamus Kalimasada  atau Pusaka Kalimantara".

Tidak mudah memahaminhya karena hanya saya saja yang memiliki literaturnya. Maka pada tulisan ini banyak sekali dipakai [khisma] atau metafora sehingga pada akhirnya diperoleh pemahaman yang memadi tentang ontologis dan teleogis pada kunjungan bapak Presiden ke Kalteng dalam rangka pemindahan ibu kota. Sekali tafsir ini melampaui rasionalisme dan irasionalisme, melampaui empirisme dan syollogisme.

Pada teks "Bangun Candi Sapto Argo" berkisah tentang perhubungan [sintesis] atau merger dalam teks Dayak Kaharingan kebudayaan Kalimantan atau [Kalimantara] atau [Kalimantan digeser menajdi "Kalima" atau dalam lima Provinsi: Kaltim, Kalbar, Kalsel, Kalteng, dan Kalimantan Utara]. Dan pada sisi lain adalah Pandawa Lima khususnya  Puntadewa {Yudistira}.

Maka kunjungan yang mulya pak presiden Jokowi dengan menginap 1 malam di Kalteng dalam rangka mencari restu [umpui Dayak] atau mirip pagelaran wayang dengan tema "Bangun Candi Sapto Argo"; demikianlah kira-kira metafora rencana pemindahan ibu kota NKRI.

Hal ini dilakukan karena kota Jakarta tidak layak lagi sebagai symbol kehormatan para punggawa  seperti dalam teks "Bangun Candi Sapto Argo", ketika dibangun siang hari, malam harinya roboh; atau dibangun malam hari siang harinya sudah roboh. Kota Jakarta  dikuasi dan sudah diambil pusaka sakti oleh para kaum korawa.

Dengan menggunakan Buku Kalimantara [sekarang di sebut Kalimantan]  atau pemindahan ibu kota NKRI ke Kalimantan sama dengan symbol dalam pusaka "Jamus Kalimasada". Maka bila ditelusuri lebih dalam teks Kaharingan Dayak tentang "Nansarunai Usak Jawa" adalah wujud pada pencarian sumpit dayak pada Harda Dadali  [Paning] dan Harda Sangkali [Idung atau Tidung] berubah menjadi dua buah sumpit dayak atau panah sakti.

Sumpit dayak itu kelak menjadi senjata milik Arjuna atau [teks Dayak menyebutnya sebagai Panitik Paning. Prabu Kalimantara {Pengusa di Kalimatan] akhirnya tewas dikalahkan  Bambang Sekutrem, putra Begawan Manumayasa. Begitu tewas raja sakti itu berubah ujud menjadi pusaka Jamus Kalimasada, yang di kemudian hari menjadi pusaka Prabu Puntadewa {Yudistria] raja Amarta. Teks Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayudda yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12 ketika kerajaan Nansarunai Usak Jawa diwakili 5 pandawa Dayak: Idung, Jarang, Tangkai, Talengo, Panin pada Narasi "Dara Amas Tukal Banang, Suaibu Miirah Rawai Wali.

Jadi perjalanan Bapak Presiden ke Kalteng hari ini mirip dengan metafora pada Bangun Candi Sapto Argo", dan "pusaka Jamus Kalimasadab atau Pusaka Kalimantara". Maka ada rekonsiliasi antara Prabu Kalimantara (Kalimantan] menjadi pusat  Kerajaan Nusahantara atau ibu Kota NKRI atau Kalimantara berubah reposisi dan reinkarnasi  bernama "Jamus Kalimasada" sebagai pertanda yang ada dalam kebatian.

Artinya {Jamus Kalimasada" atau Kalimantan} menempati peringkat utama dalam membangun istana. Tentu saja membangun istana di Kalimantan Tengah khususnya tidak mudah dan memiliki risiko tinggi, dan saya memiliki pemahaman  [mohon maaf] bahwa prasyarat itu belum lengkap dimiliki oleh para punggawa Negara ini.

Apakah mungkin keputusan akhir {Jamus Kalimasada" atau Kalimantan] menjadi ibu Kota NKRI maka suka atau tidak suka harus ada kepastian pada kesadaran Heart of Borneo (HoB) Puncak Kesadaran Roh Mental [Geist] di Kalimantan Alam Purwo dan Alam Wasono di Gunung Muller, dan Schwaner [Gunung Lumut] sebagai lima [Kalima dari kata Kalimasada] tempuran wangsa air  [Geist] di Kalimantan.

Kelima wangsa air itu dapat dilakukan tafsir Hermeneutika adalah yaitu  pada sungai Kapuas [1.178 Km] Kalbar Kalteng, dan sungai  Mahakam [920Km] Kaltim, Sungai Barito [890km] Kalteng, dan Sungai Martapura [600 km] Kalsel, dan Sungai Kayan [576 km] Kalimantan Utara.  

Maka pada leluhur manusia  Dayak dan Hiyang Kaharingan di antar sebagai [lewu tatau] atau kampung adiau [Liau]  diantar kepada Gunung Muller, dan Schwaner  [Gunung Lumut] dikuasai dalam metafora burung Enggang atau Panglima Burung Tertinggi penguasa wangsa Tanah Air Kalimantara.

Dan saya bertanya apakah restu Kalimantara sudah atau belum dimemiliki dan dikuasi secara tepat pada hari ini.  Atau pertanyaannya metafisika adalah apakah   "Bangun Candi Sapto Argo", dan "pusaka Jamus Kalimasada  atau Pusaka Kalimantara" sampai hari ini sudah dipenuhi prasyaratnya untuk menjadikan  pendasaran bagi keputusan Ibu Kota NKRI .

Atau pertanyaan paling minimal adalah apakah secara metafisika sudah ada rekonsiliasi [geist] antara perjanjian Tombang Anoi, Kristian Simbar, dan Tjilik Riwut.

Saya berharap bau hidung (wangsa Idung] ada yang bisa mengubah bau tidak baik ini segara berubah menjadi wangi pohon gaharu Kalimantara symbol restu di bukit Nyuling hari ini bisa terwujud. #bersambung#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun