Analisis Literatur: Manusia Terakhir dan Akhir Sejarah [2]
Tulisan ke [2] pada gagasan buku teks karya Francis Fukuyama tahun 1992 "The End of History and the Last Man" [Akhir Sejarah dan Manusia Terakhir]. Dengan meminjam pemikiran Nietzsche; ada kesan  Francis Fukuyama melihat dan menyesali pergantian sejarah pada masa Marx, dan Heidegger dan banyak lainnya mengikuti jejak Nietzsche pada abad ke-20. Yang lain, seperti filsuf Rusia-Prancis yang brilian, Alexandre Kojve, melihat dengan jelas dan penuh kemenangan bahwa Marx melanjutkan pemikiran Hegel, dan dalam jangka panjang akhir sejarah akan berujung pada pembebasan umat manusia sebagai akhir sejarah.
Fukuyama adalah mahasiswa dan pengagum Kojve, maka runtuhnya Uni Soviet menjadi baginya kesempatan untuk menulis pembelaan penuh semangat dan apokaliptik kapitalisme demokratis liberal modern ini, serta beberapa peringatan mengenai implikasi 'akhir sejarah' ["The End of History].
 Runtuhnya kekaisaran Soviet, transformasi Komunisme Cina menjadi sistem kapitalis dengan negara otoriter, melenyapnya pasukan sosialis dan serikat pekerja di Eropa dan Amerika, dan keberhasilan memperkuat kapitalisme demokrasi liberal  bentuk sosial penghasil kekayaan yang emansipatoris.Â
Francis Fukuyama  membawa rangkaian pemikiran ini jauh ke masa depan dengan mengklaim bahwa teknologi modern secara unik cocok untuk demokrasi liberal, meniadakan segala kemungkinan sistem alternatif yang muncul di masa mendatang.Â
Francis Fukuyama mengakui bahwa akan ada segala macam tindakan, seperti kediktatoran yang tidak stabil yang didukung oleh kekuatan militer dan ideologi agama, tetapi ini pada akhirnya harus kalah [teralienasi] kemudian memberi jalan kepada demokrasi liberal.
Dimensi peringatan dalam argumen Francis Fukuyama bersimpati pada argumen Nietzsche-Heidegger bahwa individualitas dan kreativitas sejati tidak sesuai dengan demokrasi massa. Di sini Fukuyama mengungkapkan kekhawatiran utama para intelektual Amerika abad pertengahan ke-20, seperti Daniel Bell (The End of Ideology, 1960), Sloan Wilson (The Man in the Gray Flannel Suit  atau Pria Berpakaian Flanel Abu-abu), dan Herbert Marcuse (One-Dimensional Man atau Pria  Satu Dimensi), yang dicerca oleh kedangkalan dan ketidakjujuran budaya populer, dan merindukan kembalinya budaya.
Saya sering menemukan Fukuyama sebagai penulis pejalan kaki, tetapi buku ini terinspirasi, pada energi Fukuyama mengalir ke halaman-halaman itu ke dalam hati pembaca. Saya akan senang jika argumennya tentang demokrasi liberal benar, walaupun saya tidak percaya argumen satu dimensi sama sekali. Namun, ada satu masalah besar dan satu kecil dengan analisisnya.Â
Masalah kecilnya adalah  perubahan teknologi di masa depan dapat menghancurkan peradaban sama sekali atau membuat kapitalisme anakronistis karena satu dan lain hal (misalnya, robot cerdas mengambil alih peran inovasi dan kewirausahaan, atau orang-orang bosan dengan semakin banyak barang material).
Kemungkinan ini bisa benar bisa juga paradox atau dipertanyakan. Â Jika dianggap benarnya bisa saja seperti kupu-kupu begitulah manusia sekarang ini mencari bunga, dimana bunga mekar disana ada kupu-kupu datang dan berkumpul. Hampir semua isi Mall kota besar Jakarta dan Surabaya, dan Mall di Bandung isinya sama saja bendanya tempat saja, jenis barang sama saja atau mirip.Â
Ada Mall baru Hartono di Solo  awal ramai lama-lama sepi, dibuka lagi mall baru, rame lagi, lama lama sepi. Manusia bosan produknya itu-itu saja atau ada kelebihan penawaran barang. Akibatnya manusia rindu kepada hal-hal purba seperti era romantisme, atau hal-hal mengejutkan bahkan aneh, atau membuat sesuatu yang baru.