Philosophy of  Kaharingan Dayak [3]
"Bunda Alam Semesta"  Suku Air Menetes Ke Tanah  (Metak Ranu Madu Rahu, Lawu Ma Tane Tipak Sulau).  Domine omnipotentem, factorem caeli et terrae,  visibilium omnium et invisibilium.  Tuhan yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan  segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.
Suku Dayak Ma'anyan sebagai suku tertua diturunkan oleh Allah dari Kayangan melalui muzijatNya. Harus dipahami sejarah yang di tulis seperti buku-buku atau pendapat para peneliti  yang beredar dalam masyarakat perlu dilakukan kajian pembanding kalau tidak disebutkan sebagi sebuah kekeliruan atau kesalahan.Â
Sekali lagi pandangan ini adalah sebuah iman akan Tuhan oleh sang Maha Pencipta kepada manusia, dan iman melebihi akal budi maupun nalar. Karena itu dengan pandangan ini simpulan para pakar ilmuwan dalam buku sejarah perlu diperdebatkan secara batin bukan rasionalitas, dan tidak menghilangkan sejarah asli demi kepentingan pribadi atau kelompok, den gan tetap saling menghargai satu dengan lainnya sebagai kesatuan yang utuh.
 Bahasa ini di gubah dalam syair "Janyawai " bukan bahasa yang di pakai sehari-hari adalah sebagai berikut (teks Kosmogoni Dayak Kaharingan) :  "Allah mula Allah, Allah mudi jari Allah. Allah mula Allah, Allah munta murunsia, munta datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka'ani dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun.Â
Muneng tane tipak sulu, ngumung langit rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu'ut ranu petak watu, ranu gunung madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu purun panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu rahu, lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, metak lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling wulian, janang riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu.
Tumpuk munta mudi matei, marunsia mantuk lumun, luwan patei datu mula munta, lumun maharaja mula ulun, jari datu tunyung panu, maharaja dandrahulu. Heput kulu mudi hiang, surut sasar Janyawai, mulek datu mula munta, maharaja mula ulun, hawi talak batung nyi'ai, jaku intai telang suluh. Batung nyi'ai hawi teka rayu, telang suluh jaku talinguan.Â
Ma'umele hi datu mula munta, ma'umelan maharaja mula ulun, daya sumaden talak batung nyi'ai, sumadi intai telang suluh, sumaden ma anak matu, sumadi bunsu pasunringan.Â
Palus gagiris ngini ma dara mula lapeh, igaginak nginte suaraibu hengkang ulun, palus ipa'muma ume anri dara mula lapeh, ipa turut junjung ma suraibu hengkangulun.Â
Luwan hampe metak ranu puka tamu, ruruh rimis luyu uwut jujuli, luwan metak ma tane pirarahan, ruruh rimis ma gumi tampajakan, jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu, jari wurung sa ngawuwean wurung, janang eha ngawuean eha.
 Luwan sipumpun here kala adu nyawung, isansayuh alang nansaramai, gimutuk here kala haruangan banung, gamudrah here munan gumi rarak ransai, sipumpun munta anri wurung eha, isansayuh ulun ma waraga satua.Â
Daya huan uwung uweng kawan mantir ngurai hukum, ngahu anuh na'an maharaja merang hadat. Daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari".
Terjemahan (konteks bukan hanya teks): Â "Allah mula Allah adalah yang Maha Kuasa, Maha Serba Bisa, Maha tahu, Maha sakti, Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Hal ini identik dengan Allah Maha Esa, Allah Munta Murunsia adalah Dia mencipta manusia.Â
Manusia  pertama menurut ceritera budaya Dayak Ma'anyan ialah Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, manusia yang kedua kisah ini, adalah adiknya  bernama Datu Mula Munta, diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun.Â
Cuma menurut kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua buah gunung kecil di dadanya disebut dalam bahasa Janyawai yaitu Gunung Madu Rahu Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari puncaknya. Â Â Â Â Â
Dari dua buah puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes air ke bumi tempat manusia berdua ini berada atau ke tanah sekeliling kaki mereka berdua. Bumi (tanah) disebut waktu itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua berada, yakni Tane Tipak Sulau.Â
Pada peristiwa waktu itu dalam kisah Janyawai ini terjadi  kabut atau gelap gulita dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur dua buah gunung kecil tadi, terhimpun dari mata air dipuncak kedua gunung itu.Â
Adapun tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai ini berubah menjadi: (1)  tetesan pertama tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunnya biasa dipergunakan untuk membangun (menghidupkan orang yang mati) disebut kayu saramelum, (2) Tetesan yang kedua tumbuh menjadi berbagai jenis padi dan kekayaan padi berlimpah ruah, (3) Tetesan ketiga menjadi minyak dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit yang dipakai oleh Wadian, (4) Tetesan yang ke empat hidup jadi roh dalam diri manusia atau dalam diri mereka berdua, (5)  Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan apa pun, (6) Tetesan yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Wadian, Mantir Adat dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan benar, (7) tetesan yang ketujuh menjadi kampung  tempat Roh orang yang sudah mati (sorga) atau di sebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Jadi setelah manusia pertama ini mati, dialah yang pertama menempati kampung tersebut. Namanya adalah Datu Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat kejadian tetesan air dari puncak gunung kecil tadi.
Adapun riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi seolah-olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa-apa, namun tiba-tiba datang cahaya matahari membelah kegelapan dan kekabutan tersebut yang disebut bahasa Janyawai Batung Nyi'ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh Jaku Talinguan.Â
Maka terbangunlah kedua manusia tadi dan saling berpandangan satu sama lain, maka timbul saling menyayangi di antara mereka, maka berpelukanlah mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka berdua tadi menetes air dari alat kelamin atau kemaluan manusia pertama (laki-laki) tadi ke tanah bumi sehingga menjadi: (1) tumbuh jadi kayu-kayuan, rumput-rumputan, (2) menetes lagi keduakalinya air kemaluan ke bumi, hidup menjadi berbagai burung dan semua makhluk hidup lain memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis burung di udara, maka berkumpulah mereka bersama di alam purba itu satu bumi, satu alam, satu bangsa.Â
Bahasa yang dipakai bersama sebagai satu bahasa yaitu bahasa purba (Bahasa Nahu) yang artinya saling mengerti, namum belum mempunyai adat istiadat belum ada akhli hukum adat Mantir, Â Wadian Welum Wadian Matei, kepala suku yang menjadi pemimpin adat agar terjadi kehidupan yang baik. Karena belum ada pengaturan dari Allah mula Allah (yang mencipta tadi).Â
Maka alam purba tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku Dayak Ma'anyan disebut  "Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai". (dunia masih kacau balau tak ada Mantir hukum adat, Wadian, atau pemimpin sehingga  tak ada keadilan dan lain-lain yang mengatur dalam rangka mewujudkan tata kelola  kehidupan mereka yang baik antara hak dan kewajiban).
Spiritualitas "Gunung Madu Rahu"  Metak Ranu Madu Rahu, Lawu Ma Tene Tipak Sulau. Ontologi  merupakan respons manusia terhadap karya Tuhan dalam berbagai situasi, baik bencana rasional, musim panceklik, perang, kekalahan maupun kelepasan dari bahaya, kelimpahan panen, kemenangan, kesembuhan, kesejahteraan. Berikut ini adalah ontologi Iman Kaharingan.
Kejadian penciptaan alam Semesta: tanah, air, angin, api, Â dan segala isinya oleh Allah mula Allah, berisikan esensi pokoknya pada tujuh tetesan air ke tanah sekitar kaki manusia berdua bernama "munta datu mula manta (manusia laki-laki), dan dara mula lapeh (manusia wanita)".
Berdasarkan keyakinan iman Kaharingan ada tujuh tetesan ini berasal dari wanita, sedangkan kedua tetesan air lagi dari manusia laki-laki. Adapun tetesan-tetesan tersebut semuanya jatuh ke tanah, dari atas ke bawah, dan bukan dari bawah ke atas.
Berikut ini adalah prosesnya  "Uhuk Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Metak Ranu Madu Rahu, Lawu Ma Tane Tipak Sulau":
- Metak isa  welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, diterjemah tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunnya biasa dipergunakan untuk membangun (menghidupkan orang yang mati)
- Metek lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, diterjemah menjadi tumbuh jadi biji berbagai padi, dan pokok gunung padi.
- Metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, diterjemah menjadi minyak sakti dalam supu dan kapas dapat dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit
- Metak lagi mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, diterjemah menjadi roh,  kemudian jiwa, dan tubuh atau "jiwa yang hidup" yang hidup dalam diri mereka berdiam dalam roh, jiwa badan kita manusia.
- Metak lagi mangalima, jari nanyu saniang, janang hiang piumung, diterjemah menjadi roh-roh malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan perjalanan hidup termasuk jenis penyakit apa pun
- Metak kanamangapat, jari suling wulian, janang riak rayu rungan, diterjemah menjadi Dewa Dewi yang masuk dan dipergunakan dalam diri guna membantu para Mantir Adat,  atau Wadian Welum-Wadian Matei
- Metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu diterjemah menjadi menjadi  kampung  tempat roh orang yang sudah mati atau kehidupan sorga.
Luwan metak ma tane pirarahan, ruruh rimis ma gumi tampajakan:
- Jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu, diterjemah menjadi rerumputan yang subur, dan semua jenis pepohinan.
- Wurung sa ngawuwean wurung, janag eha ngawuean eha, diterjemah menjadi semua jenis  burung dan semua hewan yang dapat berkembang biak.
Demikianlah esensi sejarah suku Dayak Ma'anyan dalam persepektif asli dan atas kehendak Tuhan Maha Agung dan Bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H