Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Riset Filologi Nyai Bunga Kantil

31 Agustus 2018   19:08 Diperbarui: 31 Agustus 2018   19:24 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Riset Filologi : Nyai Bunga Kantil

Pada tulisan ini saya memaparkahn hasil tranliterasi pada makna "Bunga Kantil", dikenal dengan nama Cempaka atau orang Jawa biasa menyebutnya Kembang Kantil. Penelitian ini dalam rangka pencarian rekonstruksi Candi Prambanan, dan Ratu Baka atau Candi Boko (bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka) di Jawa Tengah dan Jogjakarta.

Tafsir dilakukan dengan pendekatan filologi, dan hermeneutika meminjam pemikiran Origenes Adamantius (185-254) , dan teori (General Hermeneutics)  pemikiran Schleiermacher (1768-1834),  untuk hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology) pada tradisi 3 pendekatan tafsir (1) metode Alegoris, (2) metode Literal, (3) metode Mistikal. 

Maka secara hermenutika ada tiga makna, yaitu literal (dipadankan dengan tubuh), moral (jiwa), alegoris (roh atau gesit atau mental). Maka pada riset ini meminjam pendasaran interprestasi meminjam mahzab Alexandria yang mempergunakan penafsiran alegori. Walupun mungkin beberapa sekalipun kecil masih menggunakan mahzab aliran Antiokhia yang mempergunakan tafsiran literal. Dan untuk pengembangan pemahaman tentu saya juga meminjam tatanan tafsiran Magisterium Kejawen.

Sesuai dengan tema riset etnografi pada metode "filologi" maka artikel ini saya namakan "Nyai Bunga Kantil". Penelitian ini dilakukan selama 4 tahun, tafsir (1) metode Alegoris, (2) metode Literal, (3) metode Mistikal.

"Nyai Bunga Kantil" adalah wujud  bersifat {"abati"}: bunga biji (awal, timur, purwo, atau wiwitan), buah, mati, bunga biji, dan seterusnya adalah symbol siklis Jawa Kuna bahwa {"manuswa, manjalma, menitis, punarbhava), semacam bentuk reinkarnasi yang tepat dalam repleksi batiniah atau "Geisteswissenschaften". Berikut ini adalah hasil riset Filologi : Nyai Bunga Kantil sebagai berikut:

Ke (1) Bunga kantil secara umum pada kebudayaan Jawa Kuna, dan sampai hari ini difungsikan pada dua upacara utama siklus kehidupan yakni (a) acara menikah, dan (b) acara kematian. Maka wajar "Nyai Bunga Kantil"dimetaforakan sebagai metafora " kemantil-kantil" atau artinya (eling) atau "selalu ingat". Maka "Nyai Bunga Kantil"memiliki hakekat pada kata "Eling" Filologi Jawa Kuna. 

Ingat pada tanggungjwab karena peristiwa menikah adalah awal manusia bertanggungjawab penuh, dan terpisah dari orang tua atau wali, dan peristiwa meninggal dunia, berhubungan berakhirnya tanggungjawab jasmani, dan dimulainya pertanggungjawaban rohani. Kata "Kantil" menjadi memiliki makna morfologi sebagai "tidak bebas atau terikat, atau disebut tergantung".  

Maka  kata "Kantil" berhubungan dengan kewajiban manusia dalam hidup yang wajib dan niscaya. Maka pitutur, Jawa Kuno menyebutkan "mikul dhuwur mendhem jero" sebuah hasrat manusia ideal adalah menonjolkan kelebihan nilain keluarga, dan menutupi kekurangan atau keburukan keluarga. 

Atau "Nyai Bunga Kantil" simbol cinta kasih pada kehidupan manusia untuk menjaga keselarasan (harmoni). Atau ada dalam metafora Jawa disebutkan "kesrimpet bebed, kesandung gelung" atau "hakekat kesetian atau kekudusan manusia" relasi untuk membangun mutu manusia dan generasi berikutnya (dokrin bibit).

Ke (2) hakekat "Kantil"disepadankan dengan nama lain pada istilah"Kandil" berarti lilin, pelita, lampu, dian, nur, lentera, damar, obor, cublik.  Artinya "Nyai Bunga Kantil"(atau "Manoreh") wujud simbol pada cahaya, tenang, dan sumber segala sesuatu berupa Matahari (cahaya) atau "Idea Yang Baik"  dijadikan "ide fixed" sebagai bentuk rujukkan kepastian hidup dan dunia dalam memahami semua realitas. 

Maka matahari (terang, atau cahaya) adalah "causa sui" (sebab terakhir yang menyebabkan dirinya sendiri). Maka cahaya atau matahari sebagai awal terbit (wiwitan, permulaan, purwa) keutamaan kebenaran baik, dan indah. Maka ada gending pembuka dalam pentas wayang dengan cahaya, dan gunungan wayang dimainkan. 

Maka "Nyai Bunga Kantil" bisa sebagai tanda pada "Lintang Kamukus" simbol tanda makna  simbol cahaya, semacam ide Prometheus Titan Yunani Kuna dikenal karena kecerdasan dan keahliannya pada api emansipasi pencerahan umat manusia.

Ke (3) dalam dokrin utama Jawa Kuna, "Nyai Bunga Kantil" suka ditafsir tanpa penjelasan memadai, misalnya "Bunga Kantil" dimaknai pada wanita ("kuntilanak"atau dedemit atau roh wanita jahat). 

Menurut saya tafsir seperti ini terlalu buru-buru, kurang memberikan argumentasi memadai, dan tanpa pembatinan yang dapat digeneralisasikan.  Kunti lanak, sebenarnya dari kata ("Ponti, dan Anak") dari kata ("Kanti, dan Anak"), berasal pada fenomena ("Dewi Kunti") ibu para punggawa tiga di antaranya (Yudistira, Bima, Arjuna) dari kandung Kunti, dan dua anak tiri Nakula dan Sadewa. Bahkan sebelum menikah ("Kanti, dan Anak"), melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya".

Maka pada fenomena "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti") ibu para punggawa (lima) dimaknai menjadi ("papat keblat, kelimo pancer"). Menjadi arah wilayah, dan arah angin. Misalnya empat  alegoris, literal, mistikal adalah  arah angin kekuasaan: timur, barat, utara, selatan, (dan di tengah di Jakarta Pusat) atau Jawa Tengah atau Joglo Semar (Jogja Solo Semarang).

Makna "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti") ibu para punggawa pandawa menjadi relevan dalam takdir manusia pada ruang dan waktu "dokrin Neptu Jawa Kuna" pada logika matematika hari Legi jumlah 5, Pahing jumlah 9, Pon jumlah 7, Wage jumlah 4, Kliwon jumlah 8. 

Kemudian di jadikan tindakan pada bkegiatan pasar rakyat di Jawa tengah, Jogja atau paling terkenal Pasar Beringharjo. Bringharjo adalah simnol pohon beringin atau penyatuan waktu dalam sejarah masa lampu, masa kini, dan masa mendatang seabagai satu entitas (satu kesatuan) menuju ("harjo") tujuan pada selamat, sejahtera, makmur.

Makna "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti") ibu para punggawa Pandawa lima (5) adalah wujud dokrin pata "Wulang" bersinonim dengan kata "pitutur" memiliki arti "ajaran didikan". 

Kata "Reh" berasal dari Kata Jawa Kuna artinya "jalan", aturan dan laku cara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu atau Konsep Tuhan Maha Esa atau {"Tan Keno Kinoyo Opo"} . "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti")  simbol keutamaan Jawa pada tetap iklas "sabar nrimo" tanpa protes, tanpa membrontak dan menunjukkan kestabilan jiwa rasional yang patut diteladani.

Makna "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti"), berhubungan dengan Narasi pada  Sang Hyang Dewa Ruci atau dewa ruci, proses Bima mencari air purwita sari atau "Tirta Pawitra Mahening Suci". 

Pada umumnya wayang atau narasi lebih menekankan pada fungsi dan tugas Bima (mencari jati diri manusia pada suara hati, dan moksa), tetapi menurut saya itu bisa saja, namun secara ontologis bahwa justru Bima ada karena ada sejarah dalam rahim, bunga buah hasil Bunda Alam semesta di wakilkan pada sosok bernama  ("Dewi Kunti") atau dokrin Mataram Kuna Pantheon Lingga Yoni.

Lebih dai itu semua saya menemukan catatan kronologis dan tematis bahwa "Nyai Bunga Kantil" ditansformasikan menjadi  perjalanan batin ("Dewi Kunti"),  sampai menghasilkan konsep kata "Mataram" secara umum dimaknai sebagai "ibu", atau kemudian digeser menjadi "Demeter" sebutan ibu pertiwi (Indonesia), untuk (mother land), atau (mater), atau Bunda Alam Semesta,  atau diubah menjadi wangsa Sanjaya, atau diubah menjadi Wangsa Tanah, dan Wangsa Air dalam kebudayaan kemudian dikenal dengan "Tanah Air". 

Ada dua wangsa yang memerintah (wangsa) dan memelihara yakni Wangsa Air, dan Wangsa Tanah. Dua wangsa ini dalam wujud nyata menjadi dibekukan oleh manusia dalam kebudayaan sebagai tatanan (order) atau disebut "Demeter" adalah pada Mataram Kuna (Jawa) disebut wangsa tanah, dan wangsa air kemudian di sebut dalam metafora simbol ide cita-cita untuk dimensi makna kesuburan, kekayaan mineral, kemakmuran, pertanian (pengolahan tanah). 

Maka kata kebudayaan berasal dari kata pengolahan tanah atau mengelola tanah, dan air ("Colere", dari bahasa Latin, di menjadi bahasa Inggris "Culture"). Maka Transubstansi "Mataram" sebenarnya berarti "kebudayaan"

Dengan demikian secara Riset Filologi Kejawen: Nyai Bunga Kantil adalah pembentuk "kebudayaan Indonesia" atau saya sebut "mother of all the living".  Dan sekarang disebut NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), di konsepkan oleh Adam Heinrich Muller di pakai Prof Dr Soepomo, berasal dari kata kata "manunggal" (kesatuan) atau  integrasi bangsa, berasal dari tradisi  "Manunggaling Kawula Gusti" atau menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti) atau Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau pada Kota Jogja ada Tugu "Golong-Gilig" atau persatuan antara rakyat dan penguasa menjadi sila ke (4) lerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan".

 

Daftar Pustaka:Apollo Daito, 2016., Pembuatan Filsafat Ilmu Akuntansi, Dan Auditing (Studi Etnografi Reinterprestasi Hermenutika Pada Candi Prambanan Jogjakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun