Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Eyang Rengganis: Sindiro, Sumbing, Waton Suloyo

28 Agustus 2018   17:49 Diperbarui: 28 Agustus 2018   18:52 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembatasan umum (world view) ditulisan ini kata "Jawa" tidak dimaksudkan dengan etnis tertentu tetapi cara hidup, pandangan, dan kesadaran. Jadi manusia Flores, Dayak, Bugis, Manado,  Amerika, Inggris, Jepang, Jerman  bisa menjadi manusia Jawa demikian sebaliknya.

Maka kata "Jawa" disini adalah proses internalisasi batin, kehendak dalam hidup, pilihan-pilihan dan keyakinan idea hidup. Jadi kata "Jawa", tidak dimaknai dengan makna sempit, picik, rasis, otak tidak bertanggungjawab.  Kata  "Jawa (Gesit)", adalah tidak berkaitan dengan dimensi omongan-omongan tidak aktul tidak bertanggungjawab.

Supaya otak benar mungkin lebih tepat kata "Jawa" disini dipersepsikan sebaagai bentuk ("Geist" atau mental) dan perjalanan sejarah, atau ada buku referensi pada Georg Wilhelm Friedrich Hegel's 1807 judulnya "The Phenomenology of Spirit" (Phnomenologie des Geistes), dan buku ke dua adalah Johann Gottfried von Herder dengan judul "Materials for the Philosophy of the History of Mankind".

Pada tanggal 26, 27, 28 Desember 2017 yang lalu ketika saya melakukan penelitian etnografi tentang Mataram Kuna atau Mataram (Hindu) untuk dua dinasti, yaitu Wangsa Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Untuk mengumpulkan data penelitian saya mengunjungi hampir semua situs candi di Jawa Tengah. Salah satu situs candi purba (masa Indonesia Kuna) atau Candi Liyangan pada situs Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, di kaki Gunung Sindoro, Gunung Sumbing Jawa Tengah.

Pada saat kelelahan mencari tempat penelitian di Parakan Temangung Desember 2017 lalu saya bertemu dengan juru  kunci disekitar Candi Liyangan, bernama Eyang Rengganis (nama samaran).

Ungkapan dan dialog berlangsung bersama, dan saya menginap ditempat "Eyang Rengganis",  selama 3 malam dirumah beliau. Salah satu topik yang masih ada dalam rekamanan saya adalah tetang bagimana menjadi manusia "Jawani" atau manusia Jawa, atau manusia memiliki jiwa yang tegak (virtue) dengan pemikiran jawi Kuna (Kejawen). Dengan segala keterbatasan Bahasa yang saya miliki khususnya pada tema-tema Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi); huruf Jawa Kawi (kuno) atau "hanacaraka, data sawala", saya berusaha memahami bentuk filologi aksara Jawa dengan harapan memperoleh keberakaran  (phusis) dalam batin terdalam manusia Jawa Kuno.

Pada semua pengamatan penelitian saya bisanya menggunakan gaya bebas (out of box), tanpa tatanan jelas dan rigor, mengikuti arah responden, arah angin pembicaraan, kemudian melakukan interprestasi kembali makna kebatinan Dilthey (1833-1911), mengkonsentrasikan pemikiran pada ilmu social sebagai [Geisteswissenschaften], sebagai suatu kategori kehidupan untuk diberikan makna.

Eyang Rengganis, menerangkan system dialektika (saya interprestasi kembali) pada model karakter manusia sebagai (bibit, bebet, bobot) dikaitkan dengan materi halus (suksma) atau model Jumbuhing Kawulo Gusti adalah model membangun hubungan harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan, proses menuju Ingsun Sejati.  Dalam mengembangkan keutamaan manusia dengan supreme being pada idiologi  'Manunggaling Kawulo Gusti' berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig).

Salah satu kendala (halangan) dalam pencapaian tersebut "Jumbuhing Kawulo Gusti"  apa  yang disebut tidak tahu malu ("Ora Duwe Isin"). Maka kata tidak tahu malu ("Ora Duwe Isin"), sebagai bagian integral pada  pendasaran atau tindakan moral, dan rasio intrumental Weber untuk membentuk perjalanan Kebudayaan Jawa Kuno sampai saat ini.

Eyang Rengganis, menjelaskan ada sifat yang sebenarnya tidak dikehendaki dalam tidak tahu malu ("Ora Duwe Isin") adalah disebut "Waton Suloyo" adalah mewjudkan  dokrin Papan, Empan, Adepan dalam etika Jawa. 

Eyang Rengganis,  menjelaskan dalam metafora 10 makna (dasanama) hipersemiotika pada  makna "Waton Suloyo" berasal dari kata "Waton" dan kata "Suloyo". Dua kata ini bermakna setidaknya dalam dua makna lahiriah, dan makna batiniah atau saya pinjam pada episteme Wilhelm Dilthey (1833-1911) antara hasil perjumpaan (encounter) batiniah atau ("Geisteswissenschaften"),  dan perjumpaan lahiriah(Naturwissenschaft). "Waton" berangkali makna adalah ugal-ugalan, konyol, tanpa tatanan, suka-suka, sekenanya, asal-asalan, watak, kira-kira, serampangan, dan berindikasi pada mental budak atau cocok untuk hewan. Mirip anjing seks bebas, buang air  dimana saja, berhubungan intim, dan berhubungan dengan kegiatan (tindakan) tidak senonoh. Makna berhubungan dengan sikap hewan (bebek),  Sedangkan kata "Suloyo" artinya berperang, bertempur, konflik, dan menang sendiri. Atau kata "Suloyo", mbeling, beragumentasi  tampak masuk akal logis tetapi keliru, minteri (mengelabui) dengan sikap keras kepala.

Maka makna "Waton Suloyo"  atau jiwa rasional logika bengkok atau minteri (menipu), atau upaya penurunan tatanan Jawa dan membolak balik fakta atau tatanan, sampai pada kekosongan nilai, ketidakadaan makna) atau semacam dekonstruksi dalam pemikiran posmodernisme. Maka pada titik ini makna "Waton Suloyo" memiliki nilai postitif, dan tidak seluruhnya salah toh masih ada juga benarnya, apalagi bila disangga dengan mencari-cari bukti diluar teks konteks yang dibahas. Bermakna positif  "Waton Suloyo" sebatas asal membantah, tidak mau kalah, atau disalahkan. "Waton Suloyo" adalah wujud ketrampilan untuk menang atau sebatas wacana dialektika "eristic" [Eristic Dialectic] tanpa memperdulikan tatanan objektivitas. Maka tafsir "Waton Suloyo" ada dalam pemikiran Arthur Schopenhauer dengan judul "The Art of Being Right: 38 Ways to Win an Argument" (also Eristic Dialectic: "The Art of Winning an Argument" terbit tahun 1831. Dalam teks  Parerga and Paralipomena ("Appendices" and "Omissions") repleksi pemikiran Arthur Schopenhauer,  published in  1851,  menyatakan "Kodrat species manusia adalah meyimpang".

 Maka pemikiran Arthur Schopenhauer sama dengan makna "Waton Suloyo" hasil dialog saya dengan Eyang Rengganis, di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, di kaki Timur Gunung Sindoro Sumbing Jawa Tengah.

Sambal terbata-bata eyang Rengganis menunjuk dua fenomena alam dalam mitos Gunung Sindoro Sumbing, mistik Jawa. Kata  ("ndoro" artinya "anak") atau anak  bontot (bungsu) baik berbudi luhur diubah menjadi "Sindoro"), dan satu tertua (kakanya) anak Sumbing (sumbang, perilaku menyimpang) menjadi makna Kejawen pada jiwa manusia, diubah dalam metafora menjadi nama  Gunung Sindoro, Gunung Sumbing saudara kembar (kakak beradik). Dua anak laki-laki, keduanya mempunyai watak yang saling bertolak belakang. Anak bernama Sumbing pertama (tertua) mewakili "Waton Suloyo" bersikap kasar, sombong, angkuh, dengan sobekan di bibir, suka bacot atau tong kosong nyaring bunyinya. Sedangkan anak kedua, mempunyai sikap yang halus, berbudi luhur, patuh, bijaksana memiliki jiwa rasional berkeutamaan.

Maka seluruh pemahaman "Waton Suloyo" dengan diskursus ini dapat dipahami sebagai hasil riset  etnografi saya di kaki Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dengan responden  Eyang Rengganis. Mak saran Eyang Rengganis, karena kita berada dalam dua sisi kehidupan yang bersifat paradox antara sifat-sifat Sindoro, Sumbing, maka kutiban kata-kata Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) dikenal dengan nama pitutur,pituduh,pitulungan, narasi Jawa Kuna, Hamemayu Hayuning Bawono atau Ajaran Hidup "Tuntunan Luhur Piwulang Agung" bahwa manusia harus memegang "Ojo Dumeh, Eling lan Waspodo".

Kondisi yang baik dimaknai pada kata "Ojo Dumeh" atau jangan bersikap atau ambil posisi "Waton Suloyo". Tetapi selalu ingat (eling, dan hari-hati atau memberi hati). Ingat (eling) pada apa saja. Ingat mati, ingat orang tua, ingat doa, ingat puasa, ingat agama, ingat usia, ingat tugas, ingat waktu, ingat sejarah, ingat pasangan, ingat susah, ingat senang, ingat sakit, ingat sehat, ingat ilmu, ingat harta, ingat uang, ingat omongan,  dan seterusnya. Dengan modal ingat (eling)  maka tidak mungkin manusia bersikap "dumeh" (sombong, atau angkuh, menyalahgunakan laku kehidupan baik, indah, dan bertanggungjawab).

Daftar Pustaka: Apollo Daito (2018), Laporan Hasil Penelitian.,  Studi Etnografi Pada Gunung Sindoro, Gunung Sumbing,  Eyang Rengganis, dan "Waton Suloyo".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun