Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Presiden dan Gunungan Wayang

19 Mei 2018   17:24 Diperbarui: 27 Mei 2018   02:44 3172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Gunungan Wayang

Pada dimensi "Tuntunan" diekspresikan dan mengartikulasikan diri manusia adalah segala macam isinya atau disebut "marcapada" atau "Manunggaling Kawula Gusti" atau dunia nyata (tempat makhluk hidup) saling menghormati menghargai dan saling membahagiakan. Dimensi ketiga adalah menempatkan antara tontonan dan tuntunan, seharusnya tuntunan tetap menjadi tuntunan, atau konsistensi alur babak kehidupan, dan tahu diri, tahu waktu, dan dapat mengindrai dengan cara benar dan bertanggungjawab bagi diri sendiri.

Apapun yang dilihat dirasakan di pertontonkan dalam hidup adalah pantulan diri sendiri dalam tafsir dan maknanya. Konsep "marcapada" atau "Manunggaling kemudian diterjemah mengandung makna sosiologis dan politis, pada era Presiden Indonesia ke 2, istilah TNI atau ABRI pada masa itu sebagai TNI masuk desa, dan ada kelekatan lahiriah batiniah bahwa TNI lekat dengan rakyat dan selalu berada di tengah-tengah rakyat.

Ketiga, leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, adalah Gunungan adalah struktur/karya berbentuk segitiga (bagian atas meruncing) yang terinspirasi dari bentuk gunung (merapi). Atau simbol merapi, keraton, dan laut selatan atau Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo ("Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari"), dan Yogyakarta.

Penyatuannya ada dalam fakta empirik "Tari Bedaya Ketawang" atau Jawi Kuna mengenal istilah "telu-teluning atunggal" ("atau tritunggal tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu metafora pada dimensi batiniah Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Diadopsi Presiden ke 3 Indonesia menjadi "Trilogi Pembangunan" adalah diskursus pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan.

Trilogi pembangunan terdiri dari 3 : Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Tentu saja ini bersesuaian dengan ide pada leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) dalam upacara Gunungan grebeg (kebutuhan pokok masyarakat). Tugas negara adalah menjaga stabilitas dan kemakmuaran kebutuhan pokok masyarakat sesuai dokrin Pancasila, dan amat UUD 1945.

Lalu bagimana hal ini dapat dimaknai dengan metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership). Pertama tipe idial ini ada wujud tindakan nyata pada pemikiran manunggal atau kesatuan menjaga keutuhan Indonesia, kedua adalah segala sesuatu yang ada merupakan satu kesatuan actual baik organis maupun non organis baik yang memiliki tubuh dan tak memiliki tubuh baik yang berubah ataupun yang tetap (matematika logika).

Ketiga adalah proses novelty keterbaharuan sebagai daya dinamis alam sehingga memungkinkan proses perubahan terus menerus atau kreativitas sebagai kegiatan penciptaan universal dengan dasar satuan actual lain sebelumnya atau disebut sejarah pengaruh yang dapat dikenali dengan logis, sehingga pada akhirnya terpahami wujud asali (primodial) Tuhan sebagai kreativitas umat manusia.

Dengan demikian gaya kepemimpinan (style leadership) bisa mencapai tujuan hidup untuk "memayu hayuning bawono" pada akhirnya nanti harus dipertanggungjawabkan di depan Gusti Kang Moho Kuwoso.

Keempat, leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, pada makna simbolik pada gunung terdapat pohon kehidupan (Kalpataru) kemampuan menyatukan (lihat ide "Sangkan Paraning Dumadi"). Atau ide Spinoza (1632-1677), pemikiran "Deus sive natur" (Allah atau alam adalah sama). Atau konsep pemikiran antara Allah dan alam tidak mungkin diadakan pemisahan sedetikpun.

Ada istilah ["Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati, yen siro ora ngerti sampurnaning urip"] mungkin memiliki arti kurang lebih (mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna, jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna). Lalu bagiamana model leadership dengan pembatinan ini.

Alam ini adalah wujud Gusti Allah menampakkan diri dalam wujud dapat di indrawi, maka semua yang ada persofikasi pada tugas semua umat manusia untuk menebarkan kesejahteraan, dan kedamaian di alam ini. Maka tugas leadership pada tatanan ini adalah dalam ilmu ["sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu"].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun