Candi: Asu, Pendem, Lumbung
Ketiga candi ini tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan, dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke Barat. Tiga candi ini secara mistis juga memiliki makna melewati celah Merapi-Merbabu. Tempat para dewa, dan kelebihan kemakmuran yang melambangkan kesuburan, kesejahteran, dan terciptanya harmoni daya asali mikro kosmos, makro kosmos, dan alam yang tak memiliki tubuh.
Candi Asu Sengi, sesuai dengan nama dukuh atau kampunga Sengi, Kecamatan Dukuh, Kabupaten Magelang). Namanya Candi Asu, berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat dekat dengan sungai Pabelan. Candi Asu adalah warisan pada Mataram Kuno Wangsa Sanjaya (Mataram Hindu), Â sebelah barat di tepian Sungai Tlingsing Pabelan. Di dekat Candi Asu diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M) dan Sri Manggala II (874 M).
Tidak jauh dari Candi Asu, ada bangunan yang terpisah Candi Pendem terdiri dari satu bangunan tunggal. Candi Pendem berada di tengah sawah, tanpa ada akses jalan raya, dan berada di dalam lembah terpendem. Tidak ada askes jalan membuat peneliti beberapa kali tersesat, dengan menggunakan GPS. Tetapi setelah sampai dan melakukan riset ada 106 langkah kaki bila dikelingi, kadang 98 langkah, kadang 90 langkah, tergantung Susana batin manusia.Â
Selama 2 minggu saya berada di lokasi ini khususnya Candi Pendem tidak menemukan satupun pengunjung, kecuali  juru kunci dan pertani sekitar lahan. Tidak ditemukan papan deskripsi pada lokasi candi tentang riwayat singkat, atau semacam abstraksi sejarah penemuan, tujuan bangunan, dan mitos. Tetapi sama karakteristik candi ini adalah symbol Lingga Yoni. Candi wangsa dinasti Sanjaya pasti memiliki simbol Lingga Yoni.
Setelah melewati jembatan sungai Sungai Tlingsing Pabelan, ditemukan Candi Lumbung, symbol Jawa Kuna idiologi sifat menyimpan kekayan. Candi Lumbung, ada di Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Sawangan, Kecamatan Dukun. Candi Lumbung berada disekitar rumah warga, dan cukup ramai, selama 2 minggu saya berada disini tidak ditemukan kunjungan wisatawan, atau pengunjung. Informasi dari wawancara penduduk sekitar Pada tahun 2011, Candi Lumbung dipindahkan dari lokasi asal yaitu di tepian Sungai Apu, di Desa Sengi, Dukun ke Desa Tlatar, Sawangan akibat dari terjangan lahar dingin hasil dari erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010.
Bagimana trans-substansi makna 3 candi tersebut. Tiga nama candi ini sudah saya lakukan penelitian selama bulan Desember 2017 lalu selama dua minggu melakukan ritul meditasi, etnografi, dan reinterprestasi (semiotika, hermeneutika) ulang pada makna mitos ke logos. Tiga candi ini berdekataan jarak, masih satu wilayah, dan pasti berada didareh Magelang sebagai pusat feodalisme Wangsa Sanjaya pada masa Indonesia Kuna. Tidak mudah memahami sebuah bangunan Candi.Â
Pada umummnya keterbatasan data, dan informasi yang memadai menjadi kendala. Oleh karena itu saya mengambil sudut padang (worldview) yang berbeda. Trandisi tafsir ada dua metode (1) bersifat Alegoris (Philo) atau tradisi Alexandria yakni sebuah upaya menyingkap pesan teks  3 candi  dengan mencari makna di balik kata-kata, gambar, lukisan, bagunan yang ada pada candi tersebut, (2)  pendekatan Antiokhia lebih memakai tafsir harfiah atau literalisme pada bangunan 3 candi tersebut. Dua pendekatan ini adalah solusi seni memahami diantara mitologi-mitologi dan reinterprestasi makna pada bangunan, tulisan, dan lukisan masa lalu. Tiga candi ini selama ini ditafsir sebagai wujud seksuasi (berbeda dengan seks). Berikut ini adalah tafsir makna Yoni dan Lingga pada 3 candi tersebut.
Pertama saya menggunakan pendekatan Khra pada dialog Plato, Timaeus, Critias. Bahwa skema metaphysical Timaeus pada teks 50c7--d4, dan dilanjutkan pada teks 52a1--b5, (1) bentuk yang tak berubah, dan kekal sebagai ide laki-laki, (2) model peniruan atau keturunan dari ayah atau ibu, (3) wadah, atau ibu. Tiga komponen ini dianalisis oleh Platon tidak hanya bahan ontologi yang berbeda. Wadah ini atau (Khora, atau chora) sebagai bentuk apeiron (tidak terdefinisi atau tak dapat diketahui). Konsep ini juga dipakai sebagai pengembangan ilmu, kosmologi, dan social politik. Khora, atau choraadalah produsen atau reproduksi alam semesta sebelum dan sebagai sesuatu yang ada. Platon menggunakankan Khora, atau chorayang tidak bernama, mustahil, dan hibrid karena merupakan ruang asli.
Saya memahami 3 candi Asu, Pendem, Lumbung adalah bentuk representasi memesis dan seni untuk memahami modal relasi manusia, proses manusia, dan dikotomi gender.  Tanah (lobang pada candi Asu, Pendem, Lumbung) adalah symbol seksuasi wanita sebagai direduksi menjadi  fungsi reproduksi, menghasilkan keturunan, merawat, dan memangku (jagat cilik, jagat gede). Sementara seksuasi (laki-laki) pada 3 candi lobang pada candi Asu, Pendem, Lumbung dapat dipahami simbol pertemuan (air) embun malam hari untuk menciptakan kelangsungan hidup dan hakekat alam.
Wadah atau (Khora, atau chora) dipahami sebagai kesatuan motherland (ibu pertiwi, bunda alam semesta), dan fatherland (ayah alam semesta langit) atau saya sebut dialektiva metafora vital laki (Lingga) dan alat vital wanita (Yoni). Sistem metafoara dialektia pada 3 kasus candi lobang pada candi Asu, Pendem, Lumbung sebagai hasil sintesis menjadi maternal father(kesatuan ayah-ibu).Â
Dengan demikian secara ontologism maka seluruh peradaban manusia berdasarkan pada siklus ini. Dari air, dan tanah, dua unsur demiogos (Platon), yang membentuk sejarah, makna sejarah, kesadaran sejarah alam semesta. Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh perjalanan sejarah manusia dipahami sama dengan system filsafat dialektika Hegelian atau Hegel's dialectics.
Hegel's dialectics adalahperempuan makhluk yang berbeda dari laki-laki. Karena keberbedaan itulah perempuan menjadi liyandan ketidak saling bertemu maka akan menghasilkan anak keturunan baru (sintesis) atau persilangan ayah dan ibu. Â Hegel's dialectics memiliki kebebasan yang muncul karena terjaminnya kesetaraan diantara individu sebuah kebebasan resiprokal dan interdependen.
Bila dikaitkan dengan paradigm ekonomi maka metafora vital laki (Lingga) dan alat vital wanita (Yoni), atau bentuk seksuasi  berlangsung lewat mekanisme kekuasaan dalam berbagai bentuknya.Â
Kapitalisme, misalnya, membutuhkan tubuh manusia yang bisa di atur, di situasikan, dan dikontrol untuk produksi barang jasa bernilai ekonomi bisnis. Tubuh manusia dipahami sebagai faktor produksi, dan fungsi mekanik. Di sisi lain kekuasaan yang beroperasi atas tubuh juga membuat tubuh menjadi politis, misalnya dalam statistik angka pemilu pilkada. Seksualitas berubah bentuk memesis (trans-substansi) menjadi tema bidang ekonomi produksi, dan ideologi moralisasi relasi manusia secara universal.***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H