MALU
Problem umum adalah tentang istilah tahu malu. Misalnya pada berita (1)  Kompas.com. 27/11/2017, dengan judul "SN dan Minimnya Budaya Malu dalam Politik Indonesia", (2) Kompas.com. 14/12/2017, dengan judul "Gxxx: Kalau Saya Korupsi, Saya Malu dan Pasti Mengundurkan Diri, (3) Kompas.com 22/02/2018, dengan judul "Malu Pakai Rompi Tahanan KPK, xxxx  Mengadu ke Hakim", (4) Kompas.com.21/04/2015,  dengan judul "P xxx Berharap Perempuan Tumbuhkan Budaya Malu Korupsi dalam Keluarga ".
Berita yang diturunkan media Kompas.com. ini menggambarkan kondisi manusia dan paradoksnya tentang kata "Tahu", Â dan kata kedua ""Malu". Atau di sebut {"Tahu Malu"}. Atau mengerti dan mempraktikkan sikap Tahu Malu. Dua indikasi yang berbeda antara "Tahu", dan "Melakukan". Dua istilah yang memiliki jarak antara "tahu" dan "melakukan".
Bagaimana episteme ini dimaknai. Manusia Indonesia dalam  narasi nusantara menyebutkan istilah "Malu" misalnya bahasa: ajrih (Sunda),  isin (Jawa), "umangan" (Dayak), malu (Minangkabau), pailahon (Batak), Siri' (Makasar), mea (Ende NTT), malo (Manado), Chr (Tionghoa), atau embarrassed (dalam bahasa Inggris), verecundiam (Latin) dan seterusnya.
Penelitian saya tentang "Paideia" nusantara pada 120 dongeng di daerah Indonesia menyimpulkan secara umum bahwa "seluruh system dan narasi dongeng nusantara adalah mendidik manusia agar {"Tahu Malu"}. Berangkat dari {"Tahu Malu"} maka anak itu memahaminya, kemudian mempraktikkanya dalam kehidupan sehari-hari. {"Tahu Malu"} artinya mawas diri, cara repleksi, dan berjarak dengan masalah yang dihadapi, artinya {"Tahu Malu"} mundur beberapa waktu kemudian mengambil sikap yang positif untuk bertindak dan menciptakan kesadaran guna membentuk pengalaman.
Kesimpulan saya, kedua adalah Narasi  dongeng nusantara mendidik manusia agar {"Tahu Malu"}  semacam Lyceum  (Yunani Kuna) adalah sebuah kategori pendidikan anak yang didefinisikan pada sistem pendidikan di berbagai daerah Indonesia. Hal ini terjadi karena Kerajaan Kerajaan Nusantara sejak Indonesia awal (Kuna) tidak ada mendirikan "sekolah formal". Maka model pendidikan di Indonesia adalah berada pada pendidikan memahami melalui mitos, atau alegori. Â
Tidak mengherankan di era 1980-an di Tanah Dayak Kalimantan, bahwa Narasi  dongeng nusantara mendidik manusia agar {"Tahu Malu"} dilakukan pada jam 16.00 sampai dengan 18.30 setiap harinya dengan berkumpulnya beberapa anak di dusun Kampung untuk mendengar dongeng (ceritra mitos) yang bisanya dilakukan oleh seorang Guru dengan umur di atas 80 tahun.
Dengan segala wibawa, dan karisma Guru ini menceitrakan dengan lembut, lentur, mengambil lokasi di depan pintu rumah, dan beberapa anak duduk di teras rumah, menyimak dan menjadikan system nilai budaya, dan perilaku yang baik. Narasi  dongeng nusantara mendidik manusia agar {"Tahu Malu"}, dan tidak membuat malu di kemudian hari, sehingga dalam bertindak di masyarakat kelak di jadikan pegangan dalam semua sikap  dan tindakan.  Atau seluruh nasarasi dongeng nusantara sebagai wujud pendidikan pada "Kritik atas Akal Budi Praktis".
Lalu bagaimana pemahaman {"Tahu Malu"}, dan bertindak supaya tidak membuat malu. Saya akan meminjam pemikiran Immauel Kant (1724-1804), tentang Deontologi atau etika kewajiban. Kata Deontologis berasal dari kata Yunani "deon" berarti "kewajiban yang mengikat". Deontology memahami perbuatan moral dapat diketahui dengan instuisi atau suara hati. Bersifat tetap dan kekal, seperti bintang dilangit, atau matematika, selalu tetap tak berubah. Dengan meminjam pemikiran Kant pada tema  Kritik atas Akal Budi Praktis agar ada pemahama pada Narasi  dongeng nusantara mendidik manusia agar {"Tahu Malu"} dapat dimaknai.
Pertama, adalah  Good Will (kehendak baik), dan  kewajiban (duty), bahwa akal budi praktis menyatakan diri (tindakan) dalam bentuk kewajiban, dan manusia memiliki berkehandak baik, jika melakukan kewajiban (duty). Atau kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty), karena iklas memenuhi kewajiban itulah disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan, dan tidak mengukur konsekwensinya.
Kedua adalah Kategoris Imperatif atau perintah tanpa syarat, bahwa yang baik adalah baik.  Imperatif (perintah atau tuntutan), dan Perintah tidak bersyarat (imperatif kategoris), perintah atau tuntutan moral menurut Kant seharusnya bersifat tidak bersyarat atau absolut atau mutlak wajib, dan  tidak dapat ditawar-tawar dinegosiasikan. Atau rumusan bahwa Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri.
Jika berbuat baik maka tidak dihubungan dengan nilai-nilai transaksional apapun juga. Artinya hakekat kebaikkan hanyalah karena baik pada dirinya sendiri. Kebaikan bukan karena takut pada hukuman duniawi (raga), dan bukan karena takut pada hukuman (jiwa, roh). Artinya berbuat baik tanpa syarat. Kritera berbuat baik bukan karena syarat-syarat formal atau nilai kepentingan egoism atau tanpa ada pembatasan dan alasan apapun.
Rumusan Kant pada  prinsip hormat terhadap pribadi, berbunyi {"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam pribadimu atau di dalam pribadi orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana"}.
Ketiga adalah Maxim Umum (prinsip subjektif), bahwa perbuatan baik harus bisa dimaknai berlaku umum. Misalnya semua kebudayaan mencuri adalah tidak boleh (titik). Maksim (artinya aturan atau hukum umum). Kant menyebut Prinsip "Hukum Umum" (allgemeines Gesetz), sebagai moral goodness.
Bunyi nya adalah {"bertindaklah demikian rupa sehingga seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjadi hukum umum"} atau ["Act in such a way that the maxim of your will could always hold at the same time as a principle of a universal legislation"].
Simpulan saya: pemahaman {"Tahu Malu"}, dan bertindak supaya tidak membuat malu sebagai wujud Prinsip Otonomi atau sebagai (Maksim untuk diri sendiri)  bahwa yang menghendaki, menjalankan suatu tindakan bukanlah pihak lain, melainkan sendiri sendiri. Maksim untuk diri sendiri  yang membuat hukum, tanpa ditentukan pihak "di luar" kehendak kita. Maksim untuk diri sendiri  sebagai wujud {"otonomi kehendak"}. Hakekat {"Tahu Malu"}, adalah sebagai Maksim untuk diri sendiri, saya terjemah sebagi hasil pemikiran Kant pada bukunya Critique of Practical Reason (1788)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H