Penjuang dalam kebebasan bidang ekonomi  adalah (a) Amartya Kumar Sen peraih nobel bidang ekonomi, dan (b) Martha Nussbaum yang mengkampayekan kebebasan kaum perempuan warga negara dunia, melalui kesamaan hak manusia bebas dari kemeskinan, kelaparan, dan penderitaan umat manusia. Demikian juga tokoh  Milton Friedman,yang telah menyusun indeks kebebaan ekonomi, menjadi tatanan hak umat manusia (HAM).
Lalu bagimana memahami  epsiteme kebebasan. Untuk menjawab hal ini saya meminjam pemikiran Thomas Hobbes, Tibor R. Machan, Isaiah Berlin: Two Concepts  of Liberty, dan Hayek, tentang ide kebebasan  negative. Tokoh-tokoh ini menggunakan pendekatan kebebasan negative, dan kebebasan positif. Tema utama mereka adalah mengusung konsep kebebasan negative yang berbeda dengan kebebasan yang selama ini di pakai.Â
Tokoh-tokoh ini berkeyakinan bahwa dengan kebebasan negative akan mampu menghasilkan kebebasan yang lebih baik dalam peradaban manusia. Kebebasan berhubungan dengan HAM, dan life freedom, dan jangan menghambat kebebasan manusia. Artinya tidak adannya hambatan, dan kebebasan bisa muncul jika tidak ada aturan yang menghambat.
Ini justru kebalikan dari kebebasan positive di pelopori pemikiran Rousseau, Hegel, Marx, and T.H. Green. Kebebasan bisa berhubungan dengan kontrak social masyarakat, kesepakatan politik atau idiologi baru kemudian kepantasan mendefinisikan apa itu bebas yang baik. Asumsi  kebebasan harus mengacu pada kategori menurut definsi negara, agama, kelompok, atau kebudayaan. Atau disebut baik dan bebas dalam beragama di atur cara berpakaian, cara hidup, cara berambut, cara menyembah Tuhan, cara makan minum, hormat pada sesama, dan lain-lain. Semua ada kriterianya. Jika memenuhi semua kategori ini maka di sebut manusia bebas. Atau dalam ekonomi Marxisme kebebasan itu bisa disebut bebas jika ekonomi negara disebut sama rasa, sama rata, dan non dominasi dalam kepemilikan.Â
Para pemikir kebebasan negative percaya bahwa dalam kebebasan positif ada indikasi menindas, dan sewenang-wenang, mendominasi warga negara yang tidak memiliki kemampuan modalitas public, social dan modal ekonomi. Â Ada kecendrungan kebebasan positive adalah kebebasan eliminasi, dan dominasi, atau kebebasan tuan budak, merawat dan memelihara rasio instrumental dalam wilayah private. Karena itu kebebasan positif adalah kebebasan yang memaksa kehendak warga negara dan memungkinkan menghasilkan sewenang-wenang, atau melanggar HAM.Â
Maka cara mendobrak padangan ini disitulah pentingnya memperjuangkan kebebasan negative. Tapi disini jangan disalah artikan kebebasan bukan berarti bebas tanpa aturan lalu lintas dan jalan raya. UU semacam itu jelas diperlukan. Tetapi yang dimaksud kebebasan disini adalah hak asasi manusia misalnya cara berpakaian, dan memilih pakaian, atau di Amerika tentang hak warga negara tentang senjata api. Misalnya contoh pada tahun 1942-an ketika ulama Kristen masuk ke pedalaman Kalimantan, menyembuhkan orang yang sakit Malaria, dengan disuntik obat hasil penemuan ilmu pengetahuan. Jelasa dokrin kebebasan positif  warga Dayak tidak cocok  atau berubah, karena penyakit malaria disangka sebagai bagian kutukan Tuhan pada warganya.Â
Dengan kebebasan negative memungkinkan adanya ide kebaikan baru dalam siklus kehidupan manusia. Atau ketika suku Dayak hewan ternak nya mati disambar petir, dianggap pada leluhur marah karena tidak diberikan makanan, maka ulama Kristen mengajarkan pembuatan penangkal petir. Dua contoh ini sangat jelas menggambarkan bahwa dengan kebebasan negative dan tidak ada finalitas tentang definisi kebaikan atau dokrin atau ajaran memungkinkan manusia untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia cerdas, dan pengetahuan adalah berguna bagi umat manusia. Segala mitos, dokrin, dan ajaran yang menghambat kebebasan berpikir, mencipta, berkarya akan memperoleh tempat jika manusia membrontak dengan mengubah kebebasan positive menjadi paradigm kebebasan negative (freedom).
Lalu bagimana dengan masyarakat Indonesia. Saya tidak mau membahas banyak, nanti ada pihak yang tersinggung, dan marah kurang rasional. Kelihatannya Indonesia lebih nyaman jadi budak (pegawai) asal terjamin. Budak terjamin hidup jadi kuli bangsa lain,  budak pasti ada kepastian akhir bulan dapat gaji, upah, pension, dan seterusnya. Atau kebisaan ketertindasan yang lama dijajah Belanda, Jepang, atau di jajah sesama warga negara. Atau sistem Feodal kerajaan-kerajaan atau budaya  Kraton nusantara masih secara romantisme kita senangin, sekaligus kita benci tetapi gagal keluar dari kondisi semacam ini.Â
Atau jangan-jangan dianggap penindasan adalah way of life bagi negara ini. Atau memang tatanan kosmogoni negara sengaja tercipta dalam struktur sejarah yang membentuk rasio instrumental kita. Saya heran mengapa kerajaan-kerajaan nusantara itu tidak ada mendirikan sekolah pendidikan atau kampus atau Lycaeum seperti di Yunani Kuna. Inilah makanya otak dan cara pikir tidak mewariskan kultur pendidikan rasional jiwa manusia Indonesia. Atau tidak adanya manusia idiolog yang bisa mentrans-subtansikan arti kebebasan yang benar, dan indah.Â
Adalah tokoh pemikir: Quentin, Skinner, Pettit, bisa dipakai untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini bahwa praktik otonomi tanpa paksan, atau tanpa ancaman, atau budak bawahan tidak dipaksa tapi secara tidak langsung masih menyimpan dominansi kekusaan didalamnya. Itulah sistem dialektika memaksa, dan dipaksa baik langsung atau tidak langsung secara sembunyi dan terus terang diterapkan dalam sistem social dan politik dipraktikkan di negara ini. Sepertinya pengertian kebebasan baik positive dan negative tidak jelas ada atau tidak ada di negara ini. Kehilangan dalam artian justru karena tidak pernah memiliki kedua kebebasan tersebut.***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H