Kritik Moral Pasar Bebas: Smith, Locke Â
Secara esensial aktivitas ekonomi  masyarakat dunia sangat beragam. Keberagaman itu dengan sendirinya akan menimbulkan persoalan jikalau tidak ditata dengan baik. Dan kondisi itulah yang kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ambil contoh lebih kurang 16 tahun lalu uang kuliah tidak lebih dari 2,7 juta rupiah persemester, dan sekarang hal yang terjadi menjadi 20juta per semester.
Begitu juga makan siang sayur asem dan pete di samping kampus, dengan tekun si Mbok selalu menaikkan harga disesuaikan dengan harga barang. Cukup 1 piring, mendoan, dan sambal secukupnya tahun 2000 harganya masih 4 rb tetapi dengan barang yang sama harganya 16rb jika ditambah es teh tentu harga nya 20rb. Â Katanya dari sananya mahal, tidak mampu dia jelaskan lebih lanjut.Begitu juga listrik dulu cukup bayar 60 rb, tetapi sekarang harganya dengan barang yang sama harus bayar 600 rb. Demikian juga gaji pertama teman saya lulusan sarjana sekitar 16 tahun lau, hanya 750 ribu perbulan, tanpa ada bpjs masih bisa merawat alm mama teman saya di rumah sakit di kampong, mengirim uang jajan, namun dengan kondisi sekarang ada bpjs dll, tetap gaji cuma bisa bertahan 1 minggu. Lalu dia menyatakan sekarang saya punya gaji, tetapi dipotong utang, untung saja masih ada warisan Tanah dikampung buat pulang nanti kalau sudah putus asa.
Nasib yang sama selama 12 tahun ini saya temui tiap hari ada 3 pegawai di kawasan elit ibu kota dengan senyum tanpa henti, atau 3 orang pelayan OB dengan riang gembira makan gado-gado dengan 2 mendon dipotong buat makan siang tiap hari selalu bahagia dengan kepasrahan, dan nasibnya tidak pernah berubah.
Semua kalau ditanya kenapa barang-barang pokok selalu mahal dan naik, mereka semua menjawab hal yang sama "tidak tahu dari sananya". Tetapi semua mereka mengatakan punya utang dan cicilan.
Begitu juga ketika pulang kampong sekitar Parakan Temanggung Jawa Tengah, betapa susahnya si Mbok Poniarti mengatur keuangan akibat harga beras terus meningkat, dan pendapatan sebagai kuli serabutan suaminya tidak memadai untuk membeli beras dan laukpun cuma kalau ada hajatan saja bisa makan ayam atau makan enak. Selebihnya cukup air putih, dan teh jawa hangat.
Kalau saya Tanya bagimana keadaan sekarang. Dia jawab (urip) zaman sekarang susah. Begitu juga pak Ruyung tinggal di sebuah desa terpencil Kalimantan Tengah merasa heran tanah leluhurnya abis di jadikan lahan sawit, dan hidupnya tambah susah tetap menjadi kuli, budak, dan 73 tahun Indonesia mereka listrik dan jalan saja tidak ada dikampung ini. Ada satu yang berubah dikampung Parakan, dan Kalimatan ini sekarang mayoritas warganya "punya utang" yang dulu tidak ada dalam kebudayaan mereka.
Semua wajah-wajah mereka yang saya temuin terasa pasrah, dan banyak berdiam diri. Kalau  ditanya kenapa barang-barang pokok selalu mahal dan naik, mereka semua menjawab hal yang sama "tidak tahu dari sananya".  Apa lagi dua kampong tersebut kata kebon-kebon mereka suka di ambil maling malam hari, tidak tahu dari kampong mana. Dulu katanya tidak pernah terjadi kondisi semacam ini.
Lalu bagimana secara ontologis kondisi-kondisi ini memungkinkan terjadi.
Secara sederhana mungkin kondisi-kondisi di atas (mikro), sama dengan negara kita secara makro, bahwa keadan sekarang memang susah. Tetapi bila dikaji lebih dalam lagi ini akibat adanya mekanisme pasar yang terjadi dalam semua kehidupan manusia. Tidak hanya berhenti pada sisi ekonomi, hubungan keluarga, umat manusia pun sudah terjadi hubungan transaksional. Hubungan pertemanan, hubungan relasi selalu menjadikan manusia sebagai sarana belaka untuk egoism material dan kepentingan diri sendiri. Itulah  konsekwensi pasar bebas.
Kajian episteme mekanisme pasar ada dua macam yang umum, yaitu Pasar Sistem Komando, dan Pasar Bebas. Dasar pembagian seperti ini tentu saja adalah maksimalisasi keuntungan (profit maximum). Namun, apa hakekat pasar itu.