Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Semua Hal Sia-sia Belaka dan Nirvana

25 Juni 2023   11:10 Diperbarui: 25 Juni 2023   11:12 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Segala sesuatu adalah sia-sia"

Apa gunanya manusia berusaha dengan jeruh payah di bawah matahari;Keturunan satu pergi, dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada, Semua sungai mengalir ke laut tapi laut tidak menjadi penuh

Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari... Pseudo adalah samaran, bukan sebenarnya. Pseudo Ilmu = bukan ilmu sebenarnya, misal: telepati, hipnotis, sihir, magic. Paradigma ilmu bertolak belakang dengan pseudo ilmu.  

Adapun paradigma ilmu jelas nampak pada ciri pokoknya yang bersifat sebagai pengetahuan yang serba terbuka, bisa di uji oleh siapapun juga, kapanpun juga, serta milik semua orang. Sedangkan pseudo ilmu penuh dengan sifat ketertutupan, cara memperolehnyapun  dengan semedi, bertapa, atau memperoleh wangsit, bukan menelaah, mengkaji, dan merenungkan kenyataan pada gejala yang kita hadapi sebagaimana pada ilmu, di samping itu pseudo ilmu tidak disebarluaskan secara bebas.

Kajian ilmu (kebenaran ilmiah) harus sesuai dengan logika pikiran manusia, dan sesuai dengan hasil penginderaan manusia (dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba). Sedangkan ciri-ciri ilmu (kebenaran ilmiah) adalah objektif (sesuai dengan objeknya), sistematis (ada keteraturannya), metodologis (punya cara), relatif (tidak mutlak/bisa berubah), tentatif (tetap dipertahankan selama belum ada teori yang membantahnya), dan skeptis (ragu dengan harapan akan membuktikan secara empirik dengan penelitian). Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan.

 Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.

"Tidak Ada" cita-cita paling puncak, dan paling akhir

       Ketika saya mengajarkan matakuliah di suatu perguruan tinggi pada hari Jumaat 17 April 20XX, saya memulai memanggil nama-nama mahasiswa satu persatu. Ketika saya memanggil nama mahasiswa bernama "Yayu" tiba-tiba  serentah mahasiswa dalam satu kelas berteriak menjawab "tidak ada" Prof. Kebetulan Yayu adalah mahasiswa pintar dan rajian sekaligus sebagai ketua kelas. Kemudian saya bertanya, "Yayu"  ada atau tidak ada, sekali lagi mahasiswa yang hadir menjawab tidak ada Prof. 

Pada dialog tersebut dapat dicari esensi pertanyan apakah kita mengetahui sesuatu "tidak ada" itu karena disebabkan hal yang "ada" terlebih dahulu dan mengenal sebelumnya, sehingga ada lebih dahulu baru kita dapat mengetahui yang "tidak ada". Atau kita tahu "ada" setelah Yayu "tidak ada" dalam kelas.

       Pertanyaan ini tidak ubahnya kita menjawab kalau kita membahas sesuatu yang "ada" juga sama pentingnya dengan membahas "tidak ada". Saya pernah bertanya mana yang lebih penting "isi celana dalam atau celana dalam", serentak mahasiswa menjawab "isi celana dalam" artinya mereka lebih penting sesuatu Ada. Tapi ketika saya jelaskan dua-duanya tidak penting, tanpa dua-duanya (tidak ada), yang lebih penting adalah bisa membuat saya terangsang atau apalah arti kalau celana dalam tersebut adalah milik kedua orang tua kita. 

Jadi saya lebih suka ketika "tidak ada" dibandingkan "ada".  Demikian juga dikaitkan dengan keberadaan (eksistensi) sesuatu yang "tidak ada" jauh lebih bermakna dibandingkan jika "ada". Misalnya dompet kita ketika "ada "dikantong celana kegunannya tidak begitu terasa penting, atau motor Vespa  kesayangan, atau pacar kita, justru ketika "tidak ada" baru kita merasa hal itu penting, bermakna, dan sangat berguna. Sering kali kita terjebak dalam teks sulit menyamakan, membedakan antara "ada" atau "tidak ada". Buddha menyatakan hal terbaik adalah Melepaskan dan bukan memiliki atau mengumpulkan

Pada konteks ini manusia seringkali lupa apa yang "ada" dimiliki sementara saat ini menjadi kurang disadari, bahkan kurang mensyukurinya, seperti tidak memanfaatkan status sebagai dosen, mahasiswa, pejabat, pengusaha, atau politikus, akibatnya manusia mempunyai kecenderungan menyesali masa lalunya ketika semuanya itu menjadi "tidak ada", Kata kunci yang dapat saya sampaikan adalah ada baiknya tidak berdikhotomi "ada" atau "tidak ada" tapi semuanya menjadi "pernah ada" sebab relatif lebih lulus oleh ruang dan waktu, sebab semuanya adalah ke-sementara-an (impermanence) akan berubah "menjadi". 

Manusia mengalami sengsara tiga kali jatuh, tiga kali di goda, disebabkan ketidaktahuan, kesadaran, keinginan, panca indara, kelahiran, perkawianan, kematian,sebelum akhirnya kembali kepada alam "tidak ada", sebab tidak ada itu adalah cita-cita paling puncak dan paling akhir. Hal ini dapat dijelaskan puncak pencapaian tujuan perusahaan, manusia, negara, jabatan,  adalah kembali menjadi nol (tidak ada) sebab itulah yang paling akhir.

"Tidak ada" Sebagai "Penantian" Summum verum, summa fallaciae (kebenaran yang tertinggi = kebohongan yang paling besar).

Tentu saja disaat saya menceritakan struktur alam semesta kalian semua merasa tertarik,

jangankan kalian, dewa pun akan mendengarkannya dengan seksama, mereka juga tidak tahu;

Sesuatu paling bermakna adalah menanti "tidak ada" menjadi "ada" atau sebaliknya hanya dalam penantian, dengan sumbu X, dan Y, saya dapat menjelaskan empat ketegori (a) tidak ada tinggi, ada tinggi, (b) tidak ada rendah, ada tinggi, (c) tidak ada rendah, ada rendah, (d) tidak ada tinggi, dan ada rendah.  

Disinilah sebenarnya peran ontologis dalam pengkajian ilmu, pada posisi mana dilakukan pemikiran ulang dengan pendekatan deduksi-induksi diperoleh. Posisinya menjadi anomali ketika disejajarkan dengan empat kategori ini; (a) induksi tinggi-deduksi tinggi, (b) induksi tinggi, deduksi rendah, (c) induksi rendah, deduksi rendah, (d) induksi rendah, deduksi tinggi. Dengan menggunakan teori lingkaran, bergerak arah jarum jam, ini saya sebut sebagai fenomena ontologis dalam ilmu.

Dalam kalender Misa unat Katolik dapat dijelaskan genap dan gajil yaitu genap (B, dan D), dan ganjil adalah (A dan C). Inilah yang disebut teori lingkaran, atau nol (bulat). Lingkaran ini tahun kabisat, atau dibagi 4 habis.  Tugas manusia secara ontologis adalah memahami metafisik tersebut dalam penantian akhir segala sesuatu adalah permulaan segala sesuatu. Jadi tujuan organisasi ataupun lembaga adalah menjadi, dan tidak pernah ada, hanya sementara. Karena itu ilmu selalu menghadapi anomali  dan tidak dapat memprediksi menjelaskan semua hal (paham nihil). 

Artinya mengandung kekosongan, belum ada teori yang mampu menjelaskan fenomena, ketelanjangan, dan kesepian, tapi pada saat itulah menghasilkan terang, dan kejujuran total. Terkadang pada posisi ini mengakibatkan pesimisme dan pengingkaran, dengan cara dijungkirbalikan. "tidak ada"  akan dialami oleh manusia secara utuh dan menyeluruh melalui kematian. Dalam teori organisasi tujuan perusahaan adalah menjadi "tidak ada" sebagai perwujudan akhir semuanya. Dengan argumentasi tersebut dapat saya jelaskan semua cakrawala siklus (lingkaran) adalah kematian (kepalitan/tutup) melalui berbagai cara sakit, musibah, atau keelakaan.  Realitas dunia adalah sesungguhnya adalah "tidak ada".  

Akibatnyan manusia itu menjadi takut mati, dan hidup dalam kecemasan, sebab ingin menyangkal "penantian" tersebut. Tidak ada mengakibatkan ada, dan ada mengakibatkan tidak ada, sehingga pengingkaran tidak ada adalah mustahil dan tidak mungkin apabila kita menjelaskan yang "ada". Secara kongkrit unsur 'tidak ada" akan mengubah perilaku manusia dalam masyarakat, individu, kelompok dalam struktur-strukturnya. Saya dapat menginterprestasikan "tidak ada" menjadi penyebab manusia ingin membalikkan struktur tersebut melalui "manusia takut mati" karena pengalaman empirik hanya membuktikan "ada" justru harus dipertahankan bukan sebaliknya. 

Upaya ini dalam posisi ilmu ekonomi akan berdampak pada memaksimalkan kenikmatan pribadi, dan meminimalakan rasa sakit, destruksi agar menghasilkan hal positif bagi dirinya. Dengan cara pikiran ini akan mengakibatkan manusia menjadi berperilaku kapitalis, konsumtif dan melupakan kebutuhan hakiki dan perjalanan hidupnya kembali ke titik awal. Melalui cara demikian hasil akhir dalam kegagalan tersebut manusia menjadi berhasil menyentuh dasar eksistensinya.

Kedudukan "Tidak Ada" Secara relasi peta "tidak ada" berhubungan (berkorelasi) dengan "ada", sehingga bukan menjadi masalah pokok bagi keduanya. Sebab menurut saya "ada" atau "tidak ada" hanya suatu simbol dan ciptan indera manusia saja. Ada indikasi kuat indera manusia itu menipu sebab ditipu dengan proposisi yang lemah dan tidak beralasan.

 Mungkin saja manusia itu terlalu "sok tahu" sombong sehingga menganggap dirinya yang paling tahu tentang segala sesuatu. Bayangkan ketika kita membandingkan hewan dan manusia, belum dapat dijelaskan secara ajaran manapun manusia bisa membunuh anak kandungnya sendiri, sementara binatang singa tidak pernah membunuh anaknya. Adakah singa yang lebih singawi dibandingkan dengan manusia yang lebih manusiawi. Apakah secara esensial manusia lebih baik atau lebih beradab "keber-ada-nya dibandingkan hewan.  Bagimana secara otologis kedudukan tersebut tentang makna, kebenaran, dan hubungan logis diantara ide-ide dasar yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu logika manusia. 

Kondisi ini harus dijawab dengan fokus pada permasalahan dan bukan teori tentang hal itu. Misalnya  bisakan kata "cinta' , pengetahuan, keadilan" hanya monopoli manusia, dan saat ini tidak seorangpun mampu mendefinisikan secara sempurna. Dengan demikian dapat disimpulkan "tidak ada" atau belum mampu diungkapkan tentang gambaran kehidupan pada merespon stimulus, reproduksi, metabolisme, beradaptasi dengan lingkungan, memelihara diri sendiri, dan melindungi diri sendiri.

       Pada kondisi tersebut ingin menjawab tentang "apakah yang kita ketahui, dan apa yang tidak kita ketahui, atau kesalahan yang tidak diketahui untuk (hal) yang diketahui. Hal terpenting dan paling sulit adalah mengetahui apa tang kita tahu dan apa yang tidak ketahui, oleh sebab itu kita jadi berkeinginan mengetahui segala sesuatu yang paling akhir dan paling final.  

Posisi ini ilmu pengetahuan tentang kosmos dan diri kita adalah "menerima keriadaan apapun (nothing)" sebagai anugrah, dan menganggap semua sebagai definisi dan bukti menentukan, kondisinya menjadi akan lebih baik jika kita mengasumsikan kita tidak mengetahui apapun, dan merupakan dasar pijak kita, sehingga kita mendapatkan sesuatu tanpa di cari. 

 Lalu dimana letak "sesuatu yang di cari sebagai yang diberikan" jangan sampai kita menemukan masalah tapi tidak memberikan solusinya. Pada titik ini saya putuskan berhenti menjabarkan argumentasi sebab menurut saya "satu-satunya kenyataan" adalah dunia material, dunia inderawi, yang terbingkai ruang dan waktu, sehingga akan melahirkan pengalaman, persepsi, kesan, ide, dan lain-lain itulah disebut wilayah pembahasan metafisik. Metafisik yang dapat dijelaskan atau dibuktikan disebut metafisik empirik. Metafisk empirik ini kemudian disebut sebagai 'induksi".

Paham Nihilisme. Nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka, sebagaimana  satu mati demikian juga yang lain, keduanya mempunyai mempunyai nafas yang sama dan manusia tidak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Paham Nihilisme dipelopori oleh Friedrich Nietzsche, Jean Paul Sartre,"Nihil" artinya kosong/tiada annihilate meniadakan, membasmi, memusnahkan, menghapuskan, melenyapkan segenap eksistensi. Ajaran nihilisme mengatakan dunia ini terutama keberadaan manusia di dunia tidak memiliki suatu tujuan. 

Tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Realitas yang ada di alam ini hanyalah keburukan, fenomena-fenomena yang ada pada manusia tidak lain adalah penderitaan, kemalangan, kemiskinan, dan kehancuran, yang ada di alam hanyalah suara-suara keburukan dan atmosfir-atmosfir keputus asaan.  

Memutuskan dan mengakhiri semua klaim terhadap kebenaran pemikiran metafisis tradisional, dalam suatu proses yang melompat hanya ketika ia mencapai titik dimana "kebenaran-kebenaran" prasangka tersebut seperti Tuhan dan jiwa diperlihatkan sebagai nilai yang tidak kurang subjektif dan tidak lebih dari "kekeliruan-kekeliruan" ketimbang keyakinan dan pendapat manusia lainnya. 

Tuhan sudah mati" ("Gott ist tot"). "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri. Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita. 

Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita. Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]"Nietzsche.

       Pada masa yang lalu, yang ada hanyalah Pesimisme dan bukan Nihilisme, namun di abad kontemporer Pesimisme mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Nihilisme. Bunuh diri, lari dari tanggung jawab hidup, dan memandang hidup ini sebagai canda-gurau belaka adalah merupakan tanda-tanda bahwa manusia masa kini memandang rendah kehidupan dan terjebak dalam dunia Nihilisme.

 Misalnya terjadinya perang dunia dan revolusi berdarah yang terjadi dan penjajahan, ribuan manusia yang mengalami kemiskinan dan terjebak dalam pesimisme. Pemikiran Nietzsche, Darwin, Freud,  mengalienasi prinsip-prinsip hakiki manusia dan mengarahkan kehidupan manusia pada jalan buntu. Akhirnya maraknya penganut materialisme  sehingga nilai-nilai manusia mengalami perubahan sikap dan tindakan.***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun