Jadi saya lebih suka ketika "tidak ada" dibandingkan "ada".  Demikian juga dikaitkan dengan keberadaan (eksistensi) sesuatu yang "tidak ada" jauh lebih bermakna dibandingkan jika "ada". Misalnya dompet kita ketika "ada "dikantong celana kegunannya tidak begitu terasa penting, atau motor Vespa  kesayangan, atau pacar kita, justru ketika "tidak ada" baru kita merasa hal itu penting, bermakna, dan sangat berguna. Sering kali kita terjebak dalam teks sulit menyamakan, membedakan antara "ada" atau "tidak ada". Buddha menyatakan hal terbaik adalah Melepaskan dan bukan memiliki atau mengumpulkan
Pada konteks ini manusia seringkali lupa apa yang "ada" dimiliki sementara saat ini menjadi kurang disadari, bahkan kurang mensyukurinya, seperti tidak memanfaatkan status sebagai dosen, mahasiswa, pejabat, pengusaha, atau politikus, akibatnya manusia mempunyai kecenderungan menyesali masa lalunya ketika semuanya itu menjadi "tidak ada", Kata kunci yang dapat saya sampaikan adalah ada baiknya tidak berdikhotomi "ada" atau "tidak ada" tapi semuanya menjadi "pernah ada" sebab relatif lebih lulus oleh ruang dan waktu, sebab semuanya adalah ke-sementara-an (impermanence) akan berubah "menjadi".Â
Manusia mengalami sengsara tiga kali jatuh, tiga kali di goda, disebabkan ketidaktahuan, kesadaran, keinginan, panca indara, kelahiran, perkawianan, kematian,sebelum akhirnya kembali kepada alam "tidak ada", sebab tidak ada itu adalah cita-cita paling puncak dan paling akhir. Hal ini dapat dijelaskan puncak pencapaian tujuan perusahaan, manusia, negara, jabatan, Â adalah kembali menjadi nol (tidak ada) sebab itulah yang paling akhir.
"Tidak ada" Sebagai "Penantian" Summum verum, summa fallaciae (kebenaran yang tertinggi = kebohongan yang paling besar).
Tentu saja disaat saya menceritakan struktur alam semesta kalian semua merasa tertarik,
jangankan kalian, dewa pun akan mendengarkannya dengan seksama, mereka juga tidak tahu;
Sesuatu paling bermakna adalah menanti "tidak ada" menjadi "ada" atau sebaliknya hanya dalam penantian, dengan sumbu X, dan Y, saya dapat menjelaskan empat ketegori (a) tidak ada tinggi, ada tinggi, (b) tidak ada rendah, ada tinggi, (c) tidak ada rendah, ada rendah, (d) tidak ada tinggi, dan ada rendah. Â
Disinilah sebenarnya peran ontologis dalam pengkajian ilmu, pada posisi mana dilakukan pemikiran ulang dengan pendekatan deduksi-induksi diperoleh. Posisinya menjadi anomali ketika disejajarkan dengan empat kategori ini; (a) induksi tinggi-deduksi tinggi, (b) induksi tinggi, deduksi rendah, (c) induksi rendah, deduksi rendah, (d) induksi rendah, deduksi tinggi. Dengan menggunakan teori lingkaran, bergerak arah jarum jam, ini saya sebut sebagai fenomena ontologis dalam ilmu.
Dalam kalender Misa unat Katolik dapat dijelaskan genap dan gajil yaitu genap (B, dan D), dan ganjil adalah (A dan C). Inilah yang disebut teori lingkaran, atau nol (bulat). Lingkaran ini tahun kabisat, atau dibagi 4 habis.  Tugas manusia secara ontologis adalah memahami metafisik tersebut dalam penantian akhir segala sesuatu adalah permulaan segala sesuatu. Jadi tujuan organisasi ataupun lembaga adalah menjadi, dan tidak pernah ada, hanya sementara. Karena itu ilmu selalu menghadapi anomali  dan tidak dapat memprediksi menjelaskan semua hal (paham nihil).Â
Artinya mengandung kekosongan, belum ada teori yang mampu menjelaskan fenomena, ketelanjangan, dan kesepian, tapi pada saat itulah menghasilkan terang, dan kejujuran total. Terkadang pada posisi ini mengakibatkan pesimisme dan pengingkaran, dengan cara dijungkirbalikan. "tidak ada" Â akan dialami oleh manusia secara utuh dan menyeluruh melalui kematian. Dalam teori organisasi tujuan perusahaan adalah menjadi "tidak ada" sebagai perwujudan akhir semuanya. Dengan argumentasi tersebut dapat saya jelaskan semua cakrawala siklus (lingkaran) adalah kematian (kepalitan/tutup) melalui berbagai cara sakit, musibah, atau keelakaan. Â Realitas dunia adalah sesungguhnya adalah "tidak ada". Â
Akibatnyan manusia itu menjadi takut mati, dan hidup dalam kecemasan, sebab ingin menyangkal "penantian" tersebut. Tidak ada mengakibatkan ada, dan ada mengakibatkan tidak ada, sehingga pengingkaran tidak ada adalah mustahil dan tidak mungkin apabila kita menjelaskan yang "ada". Secara kongkrit unsur 'tidak ada" akan mengubah perilaku manusia dalam masyarakat, individu, kelompok dalam struktur-strukturnya. Saya dapat menginterprestasikan "tidak ada" menjadi penyebab manusia ingin membalikkan struktur tersebut melalui "manusia takut mati" karena pengalaman empirik hanya membuktikan "ada" justru harus dipertahankan bukan sebaliknya.Â