"Segala sesuatu adalah sia-sia"
Apa gunanya manusia berusaha dengan jeruh payah di bawah matahari;Keturunan satu pergi, dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada, Semua sungai mengalir ke laut tapi laut tidak menjadi penuh
Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari... Pseudo adalah samaran, bukan sebenarnya. Pseudo Ilmu = bukan ilmu sebenarnya, misal: telepati, hipnotis, sihir, magic. Paradigma ilmu bertolak belakang dengan pseudo ilmu. Â
Adapun paradigma ilmu jelas nampak pada ciri pokoknya yang bersifat sebagai pengetahuan yang serba terbuka, bisa di uji oleh siapapun juga, kapanpun juga, serta milik semua orang. Sedangkan pseudo ilmu penuh dengan sifat ketertutupan, cara memperolehnyapun  dengan semedi, bertapa, atau memperoleh wangsit, bukan menelaah, mengkaji, dan merenungkan kenyataan pada gejala yang kita hadapi sebagaimana pada ilmu, di samping itu pseudo ilmu tidak disebarluaskan secara bebas.
Kajian ilmu (kebenaran ilmiah) harus sesuai dengan logika pikiran manusia, dan sesuai dengan hasil penginderaan manusia (dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba). Sedangkan ciri-ciri ilmu (kebenaran ilmiah) adalah objektif (sesuai dengan objeknya), sistematis (ada keteraturannya), metodologis (punya cara), relatif (tidak mutlak/bisa berubah), tentatif (tetap dipertahankan selama belum ada teori yang membantahnya), dan skeptis (ragu dengan harapan akan membuktikan secara empirik dengan penelitian). Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan.
 Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
"Tidak Ada" cita-cita paling puncak, dan paling akhir
    Ketika saya mengajarkan matakuliah di suatu perguruan tinggi pada hari Jumaat 17 April 20XX, saya memulai memanggil nama-nama mahasiswa satu persatu. Ketika saya memanggil nama mahasiswa bernama "Yayu" tiba-tiba  serentah mahasiswa dalam satu kelas berteriak menjawab "tidak ada" Prof. Kebetulan Yayu adalah mahasiswa pintar dan rajian sekaligus sebagai ketua kelas. Kemudian saya bertanya, "Yayu"  ada atau tidak ada, sekali lagi mahasiswa yang hadir menjawab tidak ada Prof.Â
Pada dialog tersebut dapat dicari esensi pertanyan apakah kita mengetahui sesuatu "tidak ada" itu karena disebabkan hal yang "ada" terlebih dahulu dan mengenal sebelumnya, sehingga ada lebih dahulu baru kita dapat mengetahui yang "tidak ada". Atau kita tahu "ada" setelah Yayu "tidak ada" dalam kelas.
    Pertanyaan ini tidak ubahnya kita menjawab kalau kita membahas sesuatu yang "ada" juga sama pentingnya dengan membahas "tidak ada". Saya pernah bertanya mana yang lebih penting "isi celana dalam atau celana dalam", serentak mahasiswa menjawab "isi celana dalam" artinya mereka lebih penting sesuatu Ada. Tapi ketika saya jelaskan dua-duanya tidak penting, tanpa dua-duanya (tidak ada), yang lebih penting adalah bisa membuat saya terangsang atau apalah arti kalau celana dalam tersebut adalah milik kedua orang tua kita.Â