Dengan populasi sekitar 56 jiwa, Desa Long Tungu mencerminkan karakteristik wilayah pedalaman yang terpinggirkan dan terasing, terutama karena tidak adanya fasilitas jaringan listrik.Â
Akibatnya, keterbatasan ini membuat kehidupan sehari-hari masyarakat semakin sulit, dan menghambat akses mereka terhadap berbagai layanan dasar yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Mata Pencaharian: Ketergantungan pada Hasil Alam dan Tantangan Ekonomi
Perekonomian dan kehidupan komunitas Punan sangat bergantung pada hasil alam, seperti pertanian, perburuan, tanaman obat-obatan, dan pengumpulan bahan baku. Namun, ketergantungan ini juga menghadapi berbagai tantangan. Ekspansi kayu dan sawit mengancam sumber pangan mereka.Â
Selain itu, keterbukaan terhadap desa-desa di sekitar mengantarkan Punan pada perubahan dalam pola interaksi sosial. Secara perlahan, gaya hidup nomaden mulai ditinggalkan, dan keputusan tersebut mempengaruhi perkembangan sosial serta budaya komunitas.
Guna menjawab ancaman ketersediaan pangan, Punan secara perlahan berladang layaknya suku Dayak. Tidak hanya itu, mereka juga telah memahami alur pemasaran hasil panen.Â
Kelompok ini memiliki metode penjualan yang unik, yaitu menawarkan hasil panen dari pintu ke pintu. Namun, Punan Long Tungu sering mengalami kesulitan dalam menjual hasil panen mereka dengan harga yang adil. Misalnya, cabai yang seharusnya dijual seharga Rp60.000 per kilogram, sering kali dibeli oleh pengepul hanya seharga Rp20.000.Â
Selain itu, diduga masyarakat sekitar juga berperan dalam mempermainkan harga, yang menyebabkan Punan terpaksa menurunkan harga jual mereka. Kondisi ini diperparah oleh minimnya informasi dan wawasan yang mempengaruhi masyarakat Punan dalam mengambil keputusan.
Long Tungu, sebagai pusat kegiatan ekonomi bagi suku Punan RT 08, memiliki tantangan tersendiri. Untuk mencapai tempat tersebut, mereka harus mengeluarkan biaya sekitar Rp50.000 hanya untuk bahan bakar mesin ketinting. Ini merupakan pengeluaran yang signifikan, mengingat keterbatasan pendapatan mereka.Â
Bagi yang tidak mampu membayar biaya tersebut, satu-satunya pilihan adalah menumpang pada sesama anggota komunitas, yang mencerminkan solidaritas yang kuat di antara mereka.Â