Pertemuan dengan Nenek Julan
Namun, perjalanan ini tidak berhenti sampai di situ. Di tengah perjalanan, penulis melihat seorang nenek yang mempertahankan tradisi telinga panjang, menciptakan keinginan untuk mendokumentasikan dan menggali lebih dalam ceritanya.Â
Di teras rumah, penulis melihat Nenek Julan bersantai dengan dua pria, satu di antaranya berusia muda dengan tubuh penuh tato, sedangkan yang lain berusia sekitar 40 tahun. Mereka menyambut penulis dengan ramah, memberikan izin untuk berfoto bersama Nenek Julan.
Dalam keheningan desa, suara lembut Nenek Julan mengalun, meskipun tidak selalu jelas dalam setiap kata yang diucapkannya. Penulis, terdorong oleh rasa ingin tahu, memutuskan untuk mencari pemahaman lebih lanjut melalui salah satu anak Nenek Julan, yang akrab disapa Apuy.
Menyingkap Cerita Nenek Moyang
Apuy menceritakan bahwa tato bergaris tiga merupakan simbol keturunan bangsawan. Beberapa tato mungkin polos, sementara yang lain memiliki satu garis. Nenek Julan mengenang masa ketika orang asing sering datang ke desa mereka, namun kini, tradisi ini mulai pudar.
Melalui cerita-cerita seperti yang disampaikan oleh Apuy, kita dapat memahami bagaimana tradisi telinga panjang dan tato ini merupakan bagian integral dari identitas dan sejarah masyarakat Dayak. Tradisi ini tidak hanya tentang fisik, tetapi juga tentang narasi dan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.
Jejak Terakhir Telinga Panjang di Desa Long Beliu ini mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan budaya dan menghormati tradisi yang telah menjadi bagian dari identitas masyarakat.Â
Di tengah arus modernisasi, kisah-kisah seperti ini memberikan kita pandangan yang lebih dalam tentang kekayaan budaya dan sejarah yang kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H