Mohon tunggu...
Oktavian Balang
Oktavian Balang Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalimantan Utara

Mendengar, memikir, dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyelusuri Telinga Panjang di Desa Long Beluah, Kalimantan Utara

19 Maret 2024   20:38 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:57 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gereja di Long Beluah (Dokpri)

Desa Long Beluah

Desa Long Beluah terletak di Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Awalnya disebut sebagai Loang Ngui Lemlai oleh suku Ga'ai yang mendiami wilayah tersebut.

Nama ini diambil dari bahasa suku Ga'ai dan memiliki arti "tempat persinggahan di tengah perjalanan". Desa ini terkenal karena keberadaannya di sekitar muara sungai yang tidak pernah kering, menjadikannya sebagai tempat mencari kebutuhan hidup sehari-hari dan persinggahan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan dari hulu sungai.

Penamaan Desa Long Beluah berasal dari nama sungai di tengah desa, yaitu sungai Beluak, yang kemudian disingkat menjadi Beluah.

Sungai ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat desa, tidak hanya sebagai sumber kebutuhan air tetapi juga sebagai tempat mencari ikan dan sarana transportasi. Desa Long Beluah menjadi tempat persinggahan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan dari hilir ke hulu atau sebaliknya.

Ukiran adat yang berada di Balai Adat Desa Long Beluah (Dokpri)
Ukiran adat yang berada di Balai Adat Desa Long Beluah (Dokpri)

Masyarakat Desa Long Beluah sebelumnya menganut kepercayaan animisme, namun seiring dengan masuknya agama, kepercayaan ini mulai ditinggalkan.

Meskipun demikian, beberapa tradisi dan kepercayaan masih dilestarikan, seperti penghormatan terhadap roh leluhur dan beberapa praktik kepercayaan seperti penghitungan hari baik-buruk dan ritual tertentu.

Dengan keberadaan alam yang subur dan sungai yang melimpah, Desa Long Beluah menjadi sebuah komunitas yang hidup dan berbudaya, menjaga tradisi-tradisi mereka sambil terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Suasana Desa Long Beluah

Pelatihan Pemetaan dari Yayasan Pionir Bulungan (Dokpri)
Pelatihan Pemetaan dari Yayasan Pionir Bulungan (Dokpri)

Penulis bertandang ke Desa Long Beluah guna mendokumentasikan pelatihan . Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah desa yang telah bekerjasama dengan Yayasan Pionir Bulungan.

Di tengah teriknya matahari, pihak penyelenggara mengisyaratkan untuk beristirahat. Waktu tersebut dimanfaatkan penulis untuk menelusuri Desa Long Beluah untuk mengitari desa tersebut.

Lumbung Padi Desa Long Beluah (Dokpri)
Lumbung Padi Desa Long Beluah (Dokpri)

Desa Long Beluah menyimpan bangunan antik dan menarik. Pemandangan tersebut membawa penulis kepada sebuah pemandangan zaman lampau. Terlihat sebuah lumbung padi milik warga desa yang warnanya kini memudar. Atap sirap kayu, ukiran motif Dayak merupakan satu kesatuan pada bangunan tersebut.

Pondasi unik pada lumbung padi (Dokpri)
Pondasi unik pada lumbung padi (Dokpri)

Saat mendekati, bangunan tersebut tidak terawat. Sebagai orang awam akan seni, penulis merasa bangunan tersebut memiliki nilai seni yang tinggi. Pada pondasinya terbuat dari kayu dengan ukiran sebuah wajah.

Salah satu tiang di Balai Desa (Dokpri)
Salah satu tiang di Balai Desa (Dokpri)

Selain itu terdapat balai adat yang sering digunakan sebagai pusat kegiatan sosial maupun acara adat. Di sekeliling balai adat memiliki bangunan tradisional yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran dayak dan lukisan bergambar singa dan naga.

Tiang unik (Dokpri)
Tiang unik (Dokpri)

Pandangan mata tertuju pada sebuah dermaga perahu. Sungai Kayan tampak deras kala itu. Dari kejauhan, hanya terdengar gemuruh kendaraan muatan besar.

Telinga Panjang Dayak Kayan Mapan

Penulis bersama Idung Usau (Dokpri)
Penulis bersama Idung Usau (Dokpri)

Di dermaga, penulis melontarkan pertanyaan terkait keberadaan "Telinga Panjang" di Desa Long Beluah. Bagi penulis, bertemu dengan "Tertelinga Panjang" merupakan sebuah keberuntungan.

Keberadaan mereka semakin berkurang akibat tergerus oleh waktu dan perkembangan zaman. Sejauh ini penulis sudah berhasil mengabadikan dua orang telinga panjang yang letaknya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Idung Usau (Dokpri)
Idung Usau (Dokpri)

"Kalau mau melihat telinga panjang, itu orangnya," ucap pria tanpa baju sambil mengantarkan penulis pada sebuah rumah.

Tiba di sebuah rumah panggung, pria yang hanya bertelanjang dada memanggil nenek itu menggunakan bahasa daerah.

Tak lama berselang, perempuan paruh baya itu keluar dari dalam rumah. daun telinganya hampir sepanjang leher. Dengan santai ia duduk di depan pintu rumah dan menerima tanda perkenalan penulis.

Perempuan tersebut bernama Idung Kusow. Ia merupakan suku Dayak Kayan Mapan kelahiran Desa Antutan yang kini telah berumur 76 tahun. Tampak pada mulutnya terselip sebuah dedaunan.

Guna mencairkan suasana, penulis menayakan rahasia awet muda, Sambil tersenyum dan mengeluarkan isi sirih dari dalam mulutnya

"Makan sirih," Kelakar Idung Usaw.

Bagi Idung, daun sirih dapat membuat fisik dan giginya menjadi kuat.

Idung mengungkapkan, mamaknya telah memasang anting yang terbuat dari logam sedari ia kecil. Jika anting semakin banyak, semakin cantik pula terlihat. Terakhir. ia memiliki 20 pemberat pada bagian kanan dan kiri di daun telinganya. Kini, Idung Usau tidak menggunakan pemberat lagi lantaran kerap tercecer.

Saat ini, kondisi fisik Idung Usau mulai melemah. Ia jarang keluar rumah untuk bersosialisasi lagi. Dahulu, ia kerap membuat sejumlah kerajinan tangan seperti topi tradisional. Kini, aktivitas tersebut pun terhambat karena kondisi matanya tidak seperti dahulu.

Simbol Kecantikan

Idung Usau (Dokpri)
Idung Usau (Dokpri)

Seorang ibu muda yang baru keluar dari dapur tersenyum ramah kepada penulis dan bergabung di tengah keingintahuan penulis terkait kehidupan Idung.

"Nenek tidak pernah memaksakan kepada anak cucunya untuk memanjangkan telinga," Ungkap Sujau.

Sujau (Bukan nama sebenarnya) merupakan cucu Idung Usau. Ia menerangkan, pada zaman dahulu, setiap wanita telinganya diberi pemberat. Telinga Panjang merupakan symbol kecantikan dan kebanggaan suku Dayak Kayan Mapan.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, tradisi itu mulai ditinggalkan. Sujau mengaku tidak tertarik untuk memanjangkan telinganya. Ia lebih suka mengikuti gaya hidup modern.

Penutup

Salah satu gereja di Long Beluah (Dokpri)
Salah satu gereja di Long Beluah (Dokpri)

Cerita Desa Long Beluah menggambarkan bagaimana warisan budaya dan tradisi suku Dayak Kayan Mapan tetap hidup meskipun terjadi perubahan zaman dan masuknya agama-agama baru. Meskipun beberapa praktik animisme telah ditinggalkan, beberapa tradisi masih dipegang teguh oleh masyarakat desa, seperti penghormatan terhadap roh leluhur. Bangunan-bangunan tradisional dan keberadaan balai adat menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat lokal berusaha mempertahankan warisan budaya mereka. 

Kisah tentang Telinga Panjang menyoroti bagaimana perkembangan zaman telah mengubah persepsi dan praktik masyarakat. Meskipun Telinga Panjang dulunya dianggap sebagai simbol kecantikan dan kebanggaan suku Dayak Kayan Mapan, banyak generasi muda, seperti Sujau, lebih memilih gaya hidup modern dan tidak tertarik untuk meneruskan tradisi tersebut.

Namun, tokoh seperti Idung Kusow tetap teguh dalam mempertahankan identitas budaya mereka, meskipun kondisi fisiknya mulai melemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun