Mohon tunggu...
Bung Baladil
Bung Baladil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pejalan Kaki

'Hidup adalah susunan Kenangan, Oleh karena Itu buatlah Hari-harimu dengan Kenangan Yang Indah, yang akan membuatmu tersenyum ketika mengingatnya di kemudian hari'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hanifa, Janda Pemulung Hidupi Enam Anak dengan Gerobak Warisan Suami

6 Februari 2016   10:33 Diperbarui: 6 Februari 2016   18:01 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Orang tua siapa yang tega melihat anaknya menderita, semua ibu punya naluri kasih sayang, karena dalamnya rasa sayang pada anak, jadi pemulung pun rela saya lakukan," keluh perempuan paruh baya itu, ketika ditemui di sudut kota ini.

Setahun lebih sudah ia harus bekerja sebagai pemulung. Setiap hari ditemani dua orang anaknya Hasan dan Hadija. Hasan yang belum sekolah serta Hadija yang saat ini mengenyam pendidikan di SDN 7 Bure Kota Baubau.

Wanita paruh baya itu terus bekerja dengan menggunakan gerobak peninggalan sang suami. Dengan sabar ia mengayunkan langkah menyusuri jalan kota. Bila harus menanjak, ia kerahkan seluruh kekuatan untuk mendorong gerobaknya yang penuh beban. Tatapan matanya selalu dibuang ke kanan dan kekiri, juga terkadang harus berhenti sejenak untuk mengais-ngais rezki pada kumpulan sampah yang tertumpuk di sudut-sudut toko.

D isisi lain, sepasang anaknya yang masih kecil, selalu mengganggu dan mengusik perhatiannya dalam memilah-milah sampah. Namun ia tidak pernah marah sama sekali pada kedua anak itu, karena demi merekalah ia tegar menjalani kehidupan, juga karena merekalah ia kubur rasa malu, dan demi mereka jugalah, ia gantungkan harapan setinggi langit.

[caption caption="FOTO Bung Baladil: Ibu Hanifa, bersama kedua orang anaknya, Hasan dan Hadija di sudut Kota Baubau"]
[/caption]Perempuan tegar berdarah Buton, sudah lama tinggal bersama enam orang buah hatinya di sebuah rumah peninggalan mendiang suami di Kelurahan Wangkanapi Kecamatan Wolio Kota Baubau. Perempuan itu harus rela melewati hari-harinya sebagai seorang pemulung setelah ditinggal pergi sang suami tercinta 2014 lalu. Dalam sehari Bukan sedikit rute yang harus ia lewati, keliling Kota Baubau sudah sering dilakukannya demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Malam itu di sudut kota ini, di tengah pekatnya malam yang telah menutupi Kota Baubau, saya bertemu dengannya. Saat menyambanginya, ia tengah duduk beristrahat di atas trotoar jalan, tepatnya sekitar 20 meter dari megahnya rumah jabatan Pemimpin Daerah ini. Dengan senyuman tulusnya, wanita yang ditemani dua orang buah hatinya yang polos itu, menerima kehadiranku dengan akrab untuk berbagi kisah hidupya sebagai seorang pemulung.

"Mari, boleh, tidak apa-apa," jawabnya menerima kehadiranku sambil menenangkan Hasan yang baru berusia 7 tahun yang terus meminta makan di atas gerobak.

"Saya memulung setelah suami saya meninggal kena serangan jantung 2014 lalu, jadi saya harus buang rasa malu, asal saya tidak meminta-minta, terlebih lagi saya tidak mencuri," ucapnya mengawali kisah hidupnya sebagai pengumpul barang bekas.

Memang baru setahun lebih ia menjalani hidup sebagai seorang pemulung, tepatnya setelah sang suami tercinta yang bernama Supardi meninggalkannya seorang diri menghadap sang Ilahi pada pertengahan 2014 lalu akibat terkena serangan jantung.

Wanita yang dulunya sangat tegar ini, shock dan merasa kaget, serta tak dapat menahan rasa sedihnya ketika harus menerima kenyataan hidup sendiri dan harus menjalankan dua peran, yakni sebagai seorang ayah juga peran sebagai seorang ibu bagi ke enam buah hatinya.

Sejak suaminya meninggal, ia harus berpikir bagaimana anak-anaknya tetap bersekolah, namun tetap saja tuntutan hidup dengan keinginan hati dirasanya berbanding terbalik. Kini anaknya yang sulung karena sudah tidak lulus pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada salah satu sekolah di kota ini, akhirnya memilih berhenti. Begitu juga dengan adiknya yang lain, masih tetap bersekolah, hanya saja selalu berencana untuk berhenti karena ingin bekerja membantu ekonomi keluarga.

"Anak saya ada enam orang, yang pertama sudah tidak mau sekolah lagi setelah tidak lulus, sekarang dia kerja juga, kadang ikut bangunan, tapi tidak banyak gajinya, ya pernah juga dulu dia ikut kerja, dia dapat uang 300 ribu, dia kasi saya mi untuk kita belikan beras," ucapnya, sambil mengerutkan kening yang mulai keriput dan menghitam karena panasnya sengatan matahari.

Sedangkan anaknya yang masih kecil, Hasan dan Hadija selalu ia boyong bersama mengelilingi Kota Baubau. Untuk menemaninya mengumpulkan barang bekas. Sejak jam 04.00 sore, hingga tengah malam mereka bersama menyusuri sudut-sudut kota dengan gerobak yang sudah nyaris berkarat demi mengais rezki, begitulah rutinitas yang ia jalani setiap harinya.

Memang diakuinya, ketika sang suami masih hidup hanya bekerja sebagai seorang buruh gerobak di Kota Baubau. Namun begitu, mereka tetap bahagia dan merasa semuanya serba cukup saat itu, bahkan hal yang paling sempurna adalah ketika berkumpul bersama keluarga.

Tapi kini, semuanya telah sirna, kebahagiaan itu, telah terkubur dalam di hatinya. Kebahagiaan yang selalu terpancar di keluarganya seakan telah direnggut dari tengah-tengah mereka. Seakan Kehidupan ini tidak lagi berpihak padanya. Hanya doa yang selalu ia panjatkan setiap saat untuk dikirimkan pada sang suami dengan harapan ia tenang dan bahagia di sana.

Sepeninggal sang suami, tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dalam membantunya melanjutkan perjuangan hidup dengan anak-anaknya. Satu-satunya yang menjadi harapan dan peninggalan sang suami hanyalah gerobak yang biasa dipakainya untuk menafkahi keluarga saat itu.

Dengan gerobak itulah, kini ia menggantungkan harapannya, berbekal gerobak peninggalan sang suami jugalah ia kumpulkan kaleng-kaleng, kardus bekas, kertas bekas, gelas-gelas, botol maupun sisa sampah apapun yang masih bisa bernilai rupiah diangkut semuanya di atas gerobak miliknya.

"Yang kita cari, dos bekas, gelas-gelas akua, botol, kertas, pokoknya yang bisa dijual, kadang juga ada besi-besi," jelasnya.

Dulu, ketika ayah dari anak-anaknya masih hidup, Hanifa membantu keuangan keluarga dengan bekerja sebagai penjual makanan di Pelabuhan Murhum Baubau, namun sepeninggal suaminya, kini ia harus mencari cara lain, karena tubuhnya yang telah tua tidak mampu lagi berdesakan menaiki anak tangga Kapal untuk menjajakan makanan di atas kapal yang berlabuh.

"Kalau bapaknya masih hidup kasian, memang kerjanya hanya dorong gerobak, dan saya membantunya dengan jualan makanan di kapal Pelni kalau tiap sandar, tapi sekarang saya sudah tidak mampu lagi harus berlomba naik kapal, apalagi kita tau mi kejamnya petugas di pelabuhan, jadi saya memulung saja pakai gerobaknya bapak ini dulu," ratapnya dengan polos.

Memang tidak banyak uang yang dihasilkan dalam bekerja sebagai pemulung untuk membiayai hidup keenam orang anaknya. Apalagi, setiap hari ia harus berlomba dengan petugas kebersihan yang mendahuluinya mengangkut sampah-sampah yang ada. Namun tidak ada piihan lain, susahnya mencari pekerjaan di Kota Baubau, dan ditambah tuntutan kehiduan yang harus terus diperjuangkan, membuat dirinya tegar dan terus bekerja keras menjadi pemulung.

"Yang penting saya tidak mencuri, dan saya juga tanamkan pada anak-anak bekerja saja yang penting semua halal, tidak usah dengar bicaranya orang, mereka hanya bisa bicara, tapi tidak mungkin akan menanggung biaya hidup kita," protesnya dengan wajah kesal.

Kini hanya satu harapan yang tertanam dalam hatinya, ia ingin anak-anaknya memiliki kehidupan yang baik dan berbeda dengan kehidupan orang tuanya saat ini. Ia tidak tega melihat anak-anaknya hidup susah. Setiap orang tua, apalagi sebagai seorang ibu, nalurinya sangat tinggi untuk kebahagiaan sang anak. Dalam senyumnya yang ia pancarkan pada orang, tidak ada yang tahu kalau dirinya selalu menangis tiap malamnya ketika sang anak asyik terlelap tidur, ia tidak tega melihat wajah-wajah polos sang anak yang belum mengerti apa-apa, sepanjang malam tidurnya tidak pernah lelap memikirkan nasib anak-anaknya nanti, apalagi dengan kondisi tubuhnya yang makin tua, ia khawatir tidak mampu lagi untuk bekerja.

Ketika ia tidak mampu bekerja lagi nantinya, siapa yang akan merawat dirinya dan anak-anaknya. Sungguh hatinya merasa tersudutkan oleh kerasnya kehidupan. Namun demikian, begitulah kehidupan yang harus dijalaninya, ia tidak tau kepada siapa ia harus mengeluh, dan kepada siapa ia harus berbagi rasa ketika hatinya dipenuhi kegundahaan.

"Saya selalu menangis, kalau melihat anak-anak di setiap malamnya, kasian mereka, tidak tega saya, kenapa harus begini, saya ingin anak-anakku berbeda hidupnya dengan kami orang tuanya, saya tidak ingin mereka sengsara sama seperti orang tuanya, saya ingin juga mereka sukses, tapi mau di apa, saya tidak tau harus bagaimana, begini mi yang harus saya jalani, kita sabar saja mi," cetusnya.

Terhanyut saya mendengarkan kisah hidupnya, ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang hidup susah di bawah garis kemiskinan, siapakah yang harus bertanggungjawab atas semua ini. Miris memang, ketika para pemimpin daerah mengejar prestasi untuk mencapai persentase masyarakat sejahtera pada atasannya dengan harapan mendapatkan pujian atas keberhasilan kinerjanya, namun kenyataannya masih banyak masyarakat yang harus berjuang keras untuk dapat bertahan hidup di daerahnya sendiri.

Bahkan yang lebih miris lagi, para pemimpin menutup mata dan berpura-pura tidak tahu serta menganggap pemulung hanyalah penambah beban daerah serta sebagai penyumbang terbesar terhadap meningkatnya persentase angka kemiskinan daerah, sungguh ironis daerah ini, visi misi yang dikumandangkan dengan platform menjadikan masyarakat sejahtera ternyata belum memihak pada rakyat akar rumput seperti mereka. Hanya kerja yang nyata, serta aksi yang pasti agar mereka mendapatkan sentuhan pemerintah, selama laporan fiktif di atas kertas masih menghiasi bangsa ini. Istilah yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tertindas masih tetap berlaku buat mereka.

Kali ini, mungkin saya bukan seorang yang dermawan, mungkin terakhir kali menjadi seorang dermawan ketika saya masih kecil dulu ketika orang tua mengajarkan mengisi uang koin dalam celengan setiap jumat, namun karena kisah hiudpnya yang membuatku tersentuh kembali membangkitkan sikap dermawanku, kuberikan sedikit rupiah kepadanya untuk membantunya membeli beras malam ini.

"Terima kasih nak, sekali lagi terima kasih," ucap perempuan itu, menutup percakapan kami.

Kami berjabat tangan sambil saya berlalu pergi, meninggalkan mereka melanjutkan aktifitasnya sebagai pemulung.(***) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun