Mohon tunggu...
Baladewa Arjuna
Baladewa Arjuna Mohon Tunggu... -

Think....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

‘Atheists for Jesus’ (2)

31 Desember 2015   09:14 Diperbarui: 2 Januari 2016   20:45 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk bisa mengatakan sesuatu itu ‘dikehendaki’ dan yang lain ‘tidak dikehendaki,’ maka dia sebetulnya sedang mengasumsikan bahwa alam semesta ini memiliki tujuan dan keinginan. Sehingga dengannya dia bisa membandingkan sebagai standard terhadap apa yang terjadi. Tanpa asumsi ini, dia tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa ini ‘dikehendaki dan direncanakan’ melainkan semuanya adalah ‘kecelakaan.’

Bila semuanya adalah kecelakaan – maka tidak akan ada beda antara ‘beragama’ (yang tidak dikehendaki) ataupun yang ‘tidak beragama’ (yang dikehendaki). Oleh karena itu, Dawkins tidak bisa mengatakan bahwa agama adalah anak haram (stupid ideas) dari proses evoulusi atau percaya pada Tuhan adalah sesuatu yang tidak diinginkan dari proses evolusi. Sebab bila tidak ada dasar untuk membedakannya – karena semuanya adalah kecelakaan dan tujuan sama sekali tidak ada – lalu apa gunanya dia menyebarkan yang ‘dikehendaki’ (atheism) itu untuk menggantikan yang ‘tidak dikehendaki (agama)?’


.
Dunia Moral Super Niceness – Tetapi Tanpa Tuhan di Dalamnya?

Sampai disini. Walau bagaimanapun, kampanye Richard Dawkins telah memberikan sudut pandang yang baru dan menarik terhadap sosok Yesus, dengan menggunakanNya sebagai sosok yang diyakininya bisa meng-endorse kebajikan moral dengan kualitas super di dalam dunia TANPA Tuhan.

Namun, walaupun masih ada banyak hal remeh-temeh yang bisa dikritisi dari tulisan Dawkins itu – seperti: Yesus adalah theist karena Dia tidak punya pilihan lain; ataupun pendapatnya bahwa Yesus pasti akan menjadi atheist bila Dia hidup pada masa sekarang; ataupun soal theology Yesus yang dianggapnya beroposisi terhadap YHWH Tuhan agama Yahudi nenek-moyangNya; ataupun bahwa nama-nama lain selain Yesus-pun bisa digunakan sebagai icon bagi kampanyenya, seperti Mahatma Gandhi misalnya (padahal nama lain selain Yesus, tidaklah memiliki alasan transenden Ilahiah). Tetapi tulisan saya ini tidaklah terutama bermaksud membahas remeh-temeh lucu seperti itu secara khusus, namun akan membahas hal yang lebih konseptual dan mendasar dari seluruh argument Mr. Dawkins ini.

Pertanyaannya:

“Bisakah dibangun sebuah dunia dimana masyarakatnya memiliki moral super niceness tetapi tanpa Tuhan di dalamnya?”

Saya akan mencoba memaparkan mengapa argumentasi Mr. Dawkins, walaupun bertujuan luhur, namun ternyata tidak memiliki landasan yang kuat sebagai dasar argumentasinya. Dan apabila tidak ada landasan kokoh dari argumentasinya, maka dapat dipastikan pemikiran dan gerakan-gerakan yang dikampanyekannya ini tidak akan pernah bisa jalan. Apalagi sampai dapat menghasilkan timbulnya orang-orang super niceness seperti yang diimpi-impikan Dawkins. Jauh panggang dari api.


.
Big Brains: Solusi Paling Ultimat?

Mengapa Dawkins menginginkan dunia yang bukan cuma bermoral baik (niceness), yaitu dunia yang tidak cukup diatur oleh hukum-hukum positif – sebab hukum speti itu tidak memadai – tetapi dunia yang bermoral SANGAT baik (super niceness)? Sehingga hukum positive dan perangkatnya akan menjadi pengangguran? Yaitu seperti karakter moral yang dimiliki Yesus ataupun seperti orang Samaria yang baik hati?

Sebab di lubuk hatinya yang paling dalam, Dawkins-pun merindukan ‘sorga’ – sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan dalam dunia ‘yang kuat memakan yang lemah’ seperti dijelaskan oleh teori evolusi. Di dalam seluruh kehidupan yang telah dihasilkan oleh mesin proses evolusi ini, dia benar-benar tidak bisa mendapatkannya. Kebaikan dan moral yang ada dalam dunia teori-nya Darwin hanyalah sebuah pertukaran kepentingan dari masing-masing individu serakah (selfish gene) dan bukan sebuah ketulusan – sehingga tidak akan pernah bisa menghasilkan moral super niceness seperti yang dia impi-impikan:

“Darwinians can come up with explanations for human niceness: generalisations of the well-established models of kin selection and reciprocal altruism, the stocks-in-trade of the 'selfish gene' theory, which sets out to explain how altruism and cooperation among individual animals can stem from self-interest at the genetic level. BUT the sort of SUPER NICENESS I am talking about in humans GOES TOO FAR……!” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)

Namun walaupun Dawkins tidak mendapatkannya di dalam dunia seperti itu. Dia tidak putus asa untuk terus mencarinya dalam dunia materi ini. Menurutnya otak manusia yang besar itu akan bisa dipakai sebagai alat untuk menghasilkan moral super niceness yang dia mau:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun