Indonesia, sejak kemerdekaan, memiliki prioritas utama dalam pengelolaan dan pengalokasian utang dalam perekonomian. Kesulitan keuangan yang dihadapi pasca kemerdekaan membuat Presiden Soekarno untuk memfokuskan utang untuk menopang defisit anggaran negara dalam pembangunan. Utang kemudian melonjak pada era Presiden Soeharto yang sangat gencar melakukan pembangunan fisik secara periodik (Repelita). Kemudian pada masa Presiden Habibie, utang terus meningkat, tidak lain untuk meneruskan progress pembangunan pasca lengsernya Presiden Soehato. Kemudian mulai menurun pada era Presiden Megawati, hingga kini masa Presiden Joko Widodo yang alokasi utang lebih difokuskan pada pembangunan infrastrutkur. Tabel di bawah ini menunjukkan rasio utang Indonesia terhadap PDB dari masa Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo.
Presiden
PDB
Utang
Rasio Utang
Soeharto
955,63
551,4
57,7%
Habibie
1.099,297
938,8
85,4%
Gus Dur
1.491,0
1.271,4
77,2%
Megawati
2.303.0
1.298
56,5%
SBY
10.542
2.608,8
24,7%
Jokowi
14.000
4.253,02
29,74%
Sumber: Bank Indonesia (2018)
Bank Indonesia (2018) mengungkapkan bahwa utang Indonesia baik utang yang dipinjam oleh pemerintah dan Bank Sentral maupun utang yang dipinjam oleh pihak swasta menunjukkan bahwa utang mengalami penurunan itu hanya terjadi selama 2 tahun, yang semulanya utang Indonesia pada tahun 2004 sebesar 141.273 Miliar USD berkurang menjadi 134.505 miliar USD pada tahun 2015. Dan pada tahun 2006 Utang Indonesia Turun menjadi 132.633 Miliar USD. Pada tahun 2007 utang Indonesia meningkat menjadi 141.180 miliar USD. Dan pada tahun seterusnya menunjukkan peningkatan secara konsisten hingga di tahun 2018 Utang Indonesia menjadi 356.945 miliar USD.
Sejak periode 2012 hingga penghujung tahun 2018, rasio utang terhadap PDB Indonesia cenderung mengalami peningkatan, dengan rata-rata rasio sebesar 26,8% sepanjang perioe 2012 hingga akhir 2018. Gambar di bawah ini menyajikan rasio utang Indonesia terhadap PDB sepanjang periode 2008 hingga penghujung periode 2018. Â Â
Jika merujuk negara yang sangat besar kontribusinya dalam memberikan  pinjaman ke Indonesia adalah Jepang. Namun kini khayalak sangat mencemaskan utang yang berasal dari China, namun berdasarkan data bukan China yang sangat besar memberikan pinjaman, China hanya di urutan ke lima. Namun jika merujuk kepada pertumbuhan dari utang yang berasal dari China maka sangat wajar jika publikt khawatir terhadap dikarenakan pertumbuhannya sangat cepat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hanafi (2018), secara empiris terbukti bahwa utang yang berasal dari China secara empiris justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur sebesar 0,22%. Sedangkan secara keseluruhan, perekonomian nasional sendiri akan mengalami perlambatan sebesar 0,18% (Hanafi, 2018). Dugaan kuat dari dampak negatif yang ditimbulkan dari utang yang berasal dari China adalah isu tenaga kerja, imbal hasil, dan kualitas produk. Gambar di bawah ini menunjukkan hasil oalahn data secara empiris mengenai dampak utang China terhadap Indonesia.
Temuan di atas merupakan salah satu implikasi penting tentang perlunya perencanaan penjang dan prinsip kehati-hatian yang tinggi untuk membiayai pembangunan negara dari utang. Rasio terhadap PDB yang relatif lebih rendah tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator bahwa Indonesia memiliki tingkat risiko yang lebih rendah. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian yang lebih mandalam berkenaan dengan peran utang luar negeri dalam upaya mencapai target-target pembangunan secara ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H