Belum lama ini pemadaman listrik secara bergilir di Sulawesi Selatan kembali terjadi. Hampir semua daerah yang termasuk dalam jaringan listrik SULSELRABAR mengalaminya, tidak terkecuali Kota Makassar. Tidak tanggung-tanggung, lama pemadaman itu berlangsung hampir satu hari.
Imbasnya, sengkarut persoalan pun mendadak muncul ditengah-tengah masyarakat. Beberapa diantaranya adalah terjadinya kemacetan lalu lintas karena lampu merah yang tidak berfungsi, terganggunya jaringan seluler, mandeknya air PDAM, pelayanan kesehatan yang terhenti serta tidak berfungsinya ATM. Selain itu, kerugian pun dialami oleh para pelaku usaha baik itu skala kecil, menengah ataupun berskala besar.
Pemadaman listrik ini sebetulnya merupakan perkara lumrah yang sering terjadi bukan hanya diwilayah SULSELRABAR, tapi pada hampir semua tempat di Indonesia. Meskipun tidak ada data pasti yang menunjukkan sejak kapan hal ini terjadi, namun sependek pengetahuan yang penulis dapatkan dari berbagai artikel di internet, pemadaman bergilir atau kasus padamnya lampu seperti ini sudah sangat sering terjadi. Apalagi kalau cuaca sedang hujan yang disertai dengan petir dan angin kencang. Tidak jarang, kondisi ini mengakibatkan robohnya pohon serta banjir yang akhirnya merusak jaringan listrik yang ada pada satu titik tertentu atau biasa juga terjadi yang namanya black uot.
Selain itu, persoalan lain yang sering terjadi daya listrik yang disediakan PLN tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, terutama di waktu beban puncak. Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor utama yang melanggenggakan tradisi pemadaman listrik bergilir ini. Pertanyaanya  kemudian, sampai kapan persoalan seperti ini akan terus terjadi?
Memahami Sumber Daya Energi Listrik Kita Saat Ini
Tentu kita semua memahami bahwa hampir semua sumber energi yang digunakan oleh pembangkit listrik kita saat ini berasal dari sumber energy fosil seperi minyak dan batu bara. Yang menjadi persoalan adalah, sumber energy ini terbatas atau akan habis pada waktunya nanti. Di Indonesia sendiri banyak yang menyebutkan bahwa energy fosil diprediksi akan mengalami kelangkaan pada tahun 2030. Artinya, kita tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan energy dalam negeri sendiri dan hanya akan mengandalkan impor energy dari Negara lain.
Namun yang menjadi persoalan adalah permintaan akan energy fosil ini di seluruh dunia juga diprediksi akan semakin meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu tiga puluh tahun ke depan. Sementara itu, ketersediaan sumber energy fosil ini semakin terbatas. Sehingga, bukan hal yang mustahil kalau di masa depan akan terjadi krisis energy dan kebutuhan akan energy fosil yang bisa digunakan untuk sumber daya listrik ini tidak akan pernah bisa terpenuhi secara total.
Sebetulnya bisa saja untuk memenuhi kebutuhan akan energy fosil ini dilakukan dengan melakukan eksplorasi besar-besaran di semua lokasi yang berpotensi masih mengandung sumber daya tersebut. Akan tetapi, hal itu akan memicu kerusakan lingkungan yang membawa bencana bagi ekologi, manusia, ekonomi serta peradaban. Sehingga, apabila kita terus mempertahankan cara seperti ini dalam memperlakukan energy fosil maka bisa dipastikan, bukan saja hanya bumi yang akan hancur lebih cepat namun akan membuat siran harapan masa depan generasi masa depan.
Melihat realitas ini, apalagi mengingat kebutuhan manusia akan listrik ini semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman maka bukan hal yang tidak mungkin di masa-masa yang akan datang kita hanya bisa menikmati listrik pada waktu-waktu tertentu saja. Bahkan, mungkin bisa lebih parah dari itu, jika kita tidak bisa segera menemukan solusi dari persoalan yang ada dengan berani mencoba untuk keluar dari kebiasaan lama kita yang hanya menggantungkan diri pada sumber listrik yang tersentralistik. Untuk itu maka kita mesti berupaya menyediakan kebutuhan energy sendiri secara mandiri dengan memanfaatkan energy terbarukan.
Energi Terbarukan Sebagai Solusi
Ada begitu banyak sumber energy terbarukan yang ada di muka bumi ini, seperti: biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Namun dari semua jenis energy ini, energi surya memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan energy yang dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Apalagi dengan mengingat energy matahari ini hampir tidak mungkin bisa habis karena cahayanya diperkirakan baru akan redup 5 miliar tahun ke depan.
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi alasan utama mengapa pemanfaatan energi surya akan menjadi masa depan peradaban kita, yaitu : perkembangan teknologi nano, skalabilitas, model bisnis, dan komputasi. Ke 4 keunggulan ini tak dimiliki pemanfaatan sumber energi lain baik yang terbarukan maupun tidak.
Perkembangan teknologi nano sendiri memungkinkan terjadinya evolusi berkelanjutan pada 2 elemen penting pada pemanfaatan energi surya, yaitu: photo voltaic (PV) atau panel surya, dan baterai (storage). Dengan teknologi nano, PV tak hanya bisa diubah secara fisik ke bentuk yang lebih efisien. Seperti panel genting atap yang sangat tipis dan kuat yang diciptakan Tesla Solar Roof, hingga PV yang ditanam sebagai jalan raya ala Solar Roadways. Namun nano teknologi juga memungkinkan PV menyerap energi lebih maksimal. Rekor resmi inovasi efisiensi PV atap yang tercatat saat ini adalah 22,8% oleh National Renewable Energy Laboratory.
Yang masih dalam tahap pengembangan, MIT berhasil menaikkan efisiensi ke 35%. Terbaru, Techion Israel Institute of Technology menaikkannya ke efisiensi 70%. Angka ini akan terus naik, dan secara fisik PV akan terus berevolusi ke bentuk yang lebih efisien dan kontekstual. PV ini sangat memungkinkan untuk dibuat sendiri. Dengan menggunakan printer 3D yang mulai popular, kita bisa membuatnya dan mudah untuk diletakkan di mana saja. Namun demikian, untuk mewujudkan listrik tenaga surya masih cukup mahal. Akan tetapi, banyak yang memperkirakan bahwa dalam jangka panjang ia akan mudah untuk dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Berangkat dari kenyataan ini, maka tentunya sebagai Negara tropis, kita patut berbangga. Karena hampir semua bagian wilayah negeri ini mendapatkan pasokan sinar matahari yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energy listrik baik itu dalam skala kecil ataupun besar. Dengan demikian maka pemanfaatan listrik tenaga surya ini, bisa mengeluarkan kita dari persoalan yang selama ini selalu dialami berualng kali. Selain itu, ketergantungan terhadap jaringan listrik sentralistik yang menggunakan bahan bakar fosil pun bisa dikurangi. Dan apabila mayoritas bangunan dan rumah menjadi produsen energi bersih, maka masa depan bumi akan selalu bisa terjaga. Namun, apakah kita bisa melakukan ini?
Paradigma Pemikiran Baru
Pada dasarnya setiap perubahan itu hanya bisa terjadi jika dilakukan upaya yang sungguh-sungguh. Terkait dengan pemanfaatan energy surya sebagai pembangkit listrik, tentu saja sudah banyak orang-orang yang berhasil melakukan ini. Salah satu contoh misalnya seperti yang dilakukan oleh pasangan Gordon dan Susan Fraser di timur Ontario Kanada. Pada Tahun 2006, pasangan yang sudah pensiun bekerja ini memulai eksperimen secara otodidak membangun pembangkit listrik tenaga matahari melalui solar panel atau panel surya1,5 kilowatt (kW) di atap rumah.
Sebagai mantan programmer komputer, Gordon membuat dudukan panel surya yang bisa bergerak mengikuti arah sinar matahari untuk memaksimalkan energi yang masuk. Dudukan itu terintegrasi dengan integrated satellite receiver and descrambler (IRD) untuk mengontrol pergerakannya. IRD biasa digunakan untuk piringan satelit, tapi Gordon memakainya untuk panel surya. Energi yang masuk kemudian ditampung ke dalam baterai besar sebagai storage.
Setahun kemudian, dengan menambah satu baterai lagi pasangan Fraser bisa memenuhi 94% kebutuhan listrik rumah tangga mereka lewat panel surya. Mei 2007, mereka keluar dari jaringan listrik utama dan hanya menggunakan panel surya untuk kebutuhan listrik. Mereka juga menambah turbin angin di belakang rumah sebagai pembangkit yang membuat mereka surplus listrik. Pasutri ini telah membuktikan bahwa penyediaan energi di lingkup mikro bisa dilakukan secara mandiri, inovatif dan bebas emisi. Tak hanya itu, surplus energi bisa mereka kirimkan ke dalam jaringan listrik utama untuk membantu orang lain.
Apa yang dilakukan oleh pasangan suami istri ini tentu bisa saja dijadikan acuan bagi kita untuk melakukan hal yang serupa. Apalagi, dari sisi ketersediaan sumber daya matahari sangat mencukupi. Hanya saja, kenyataan bahwa untuk melakukan itu butuh biaya yang cukup besar maka dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mulai mencanangkanya.
Belajar Dari Negara Denmark
Kalau misalnya pemangku kebijakan bangsa ini merasa bahwa mewujudkan pemerataan pemanfaatan energy surya untuk pembangkit listrik itu adalah hal yang sulit, maka tentunya kita harus malu dengan Negara kecil seperti Denmark.
Sejak 1980 Denmark telah mengelola pertumbuhan ekonominya sama dengan level konsumsi energi. Dalam waktu tiga puluh tahun, Denmark berubah dari negara importir energi menjadi eksportir energi netto, baik ketenagalistrikan dan teknologi energi. Hal ini mulai dilakukan sejak krisis energi tahun 1970-an menghantam Denmark. Sejak saat itu, selama 30 tahun dengan dukungan dari semua sektor akhirnya Denmark maju sebagai pemimpin di dunia energy. Bahkan, 10 persen pendapatan ekspor negara itu berasal dari sektor energi.
Berkaca dari capaian Denmark, Negara kita sebetulnya bisa keluar dari persoalan ketersediaan energy. Hanya saja, kita perlu mengubah paradigmanya, sehingga diperlukan langkah untuk akselerasi. Minimal, banyak infrastruktur yang harus rombak menjadi ramah lingkungan.  Negara  seperti  Denmark  melakukannya lewat insentif, subsidi, dan investasi infrastruktur baru. Selain itu, diperlukan kepemimpinan politik yang kuat agar dapat menciptakan kondisi yang dibutuhkan untuk mengakselerasi adopsi energi hijau.
Intinya, pelajaran yang bisa dipetik dari Denmark adalah pentingnya kepemimpinan untuk mendorong akselerasi ilmu pengetahuan dan kapabilitas di seputar permasalahan. Dengan menciptakan konteks bagi kemandirian dan memanfaatkan gagasan dan kecakapan dari sektor lain, kita akan menempatkan diri di jalur yang tepat untuk mencapai kesuksesan. Sehingga, jika saatnya kita sampai pada titik di mana ketersediaan energy bisa dicapai dengan jalan kemandirian maka pemadaman listrik bergilir hanya akan tinggal kenangan.
Referensi bacaan :
Macro Wikinomic, Solution for Connected Planet; Don Tapscott & Anthony  Williams.
White Paper - The Smart Grid and the Evolution of the Independent System Operator;Â Chris Thomas, Bruce Hamilton, and Jinho Kim.
U.S. Energy Infrastructure Investment: Large-Scale Integrated Smart Grid Solutions with High Penetration of Renewable Resources, Dispersed Generation, and Customer Participation;Power Systems Engineering Research Center.
Towards A Green Economy for Canada;Â Sustainable Prosperity
Jurnal Energi Edisi 2 2016.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral : Program Strategis EBTEKE dan Ketenagalistrikan
https://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/smart-grid-lompatan-kuantum-era-green-economy (diakses tanggal 10 November 2017)
https://makassar.sindonews.com/pemadaman-listrik-sesulselrabar-ini-sebabnya (Diakses tanggal 10 November 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H