Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Di Tanah Tsunami, UKM Kami Berdedikasi untuk Negeri

20 Desember 2022   13:50 Diperbarui: 20 Desember 2022   13:57 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di parit tak terurus, tanaman liar yang disebut eceng gondok oleh masyarakat sekitar begitu merusak pandangan. Jalan berlubang menambah pemandangan indah apalagi saat musim penghujan. Ranjau darat itu membuat kendaraan kami sesekali masuk ke genangan air.

Mungkin, lepas tsunami lalu jalan ini telah pernah diperbaiki namun lalu lintas kendaraan yang padat membuatnya kembali berlubang. Kampung Kubu yang gersang, deru ombak yang berderu-deru dari bibir pantai membuat kami sekonyong-konyong sedang berwirawisata.

Sebut saja kami berwisata ke kampung bekas tsunami ini. Di sana terdapat sebuah usaha kecil menengah yang dikembangkan oleh ibu-ibu. UKM Kreatif Kubu namanya yang kini telah dikenal luas berkat mengenalkan kerajinan eceng gondok.

Tanaman liar yang saya sebutkan rupanya membawa pengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu di Kampung Kubu. Semula dibiarkan berkembang biar di parit, sungai, maupun di tempat yang air mudah tergenang, kemudian dipetik, dikeringkan, dan dianyam menjadi sebuah kerajinan tangan unik, kreatif dan memiliki nilai jual tinggi.

Kami menemui Cut Afni yang tak lain pelopor UKM Kreatif Kubu bersama suaminya, Mursalin. Sebuah perjalanan panjang yang kemudian mengantarkan Cut Afni membawa cerita menarik soal kerajinan eceng gondok tersebut. Pelajaran penting dari hasil kerja keras suami istri itu tak lain kesabaran yang tiada henti di awal perintisan usaha kecil menengah itu.

Kisah itu bermula di 2016. Eceng gondok yang semula disebut-sebut sebagai hama bagi tanaman lain berubah menjadi kerajinan bercita rasa. Cut Afni bersama kelompok kecil ibu-ibu memulai anyaman pertama mereka dengan penuh emosional; akan dibawa ke mana dan mengapa orang berhak membeli kreasi tersebut.

Tak ayal, mulailah datang cemoohan dari berbagai kalangan, terutama dari masyarakat sekita manakala ibu-ibu yang semula cuma menghabiskan waktu di teras rumah, sambil bercerita, punya pekerjaan dalam tanda kutip. Mereka mendapat teguran untuk tidak usah bekerja karena lebih kurang setahun menganyam, mencari ide, dan mencari eceng gondok sampai ke rawa-rawa, cuma bisa membawa pulang Rp15.000 saja untuk keluarga!

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Satu persatu hati ibu-ibu itu luruh. Mereka kembali ke keluarga. Cut Afni tinggal menganggakasa mimpi bersama ibu-ibu yang tertinggal. Eceng gondok kembali menyemai di mana-mana, jalanan kampung kian kotor, sungai sebentar-sebentar meluap karena tanaman itu cepat sekali tumbuh.

Di tengah cobaan yang begitu berat itu, dewa penyelamat datang dengan dedikasi begitu tinggi. Ia tak lain suami Cut Afni sendiri, Mursalin. Ia ke rawa-rawa, ke sungai dan ke mana pun yang ada tanaman liar itu. Pulang ke rumah bukan membawa setangkai ikan emas melainkan bertangkai-tangkai eceng gondok. Cut Afni sempat memarahi suami namun semangat dari pria tersebut tidak pernah surut.

Mursalin menutup mata dan telinga. Eceng gondok yang dibawa pulang ia jemur di halaman rumah. Pagi ke sore bahkan sampai malam ia menghabiskan waktu bersama tanaman liar basah dan kering tersebut. Dalam diam ia seperti sedang meyakinkan istrinya bahwa akan ada jalan di tikungan berikutnya.

Mursalin merajut, menganyam tanpa henti. Satu ide hilang, ide lain bermunculan. Satu karya belum bagus, ia buang. Bahkan, ia mencetak beberapa model tas, sepatu, maupun modelan lain di kertas HVS yang ia ambil gambarnya dari internet. Saat Cut Afni terbangun tengah malam, ia mendapati suaminya masih menganyam sebuah tas yang unik, kreatif dan inovatif.

Hati Cut Afni luluh. Mungkin akan ada harapan untuk mereka ke depan. Hati yang luluh itu tampaknya tidak begitu aman setelah 3 bulan kerja keras Mursalin tidak menghasilkan apa-apa. Mursalin kewalahan, Cut Afni kehabisan kata-kata untuk mengembangkan UKM mereka yang hidup enggan mati tak mau.

Cahaya itu rupanya datang tak terduga saat Dinas Koperasi dan UKM Aceh Barat mengadakan pelatihan kerajinan eceng gondok. Cut Afni dan Murslin mengambil kesempatan itu untuk mendapatkan pelajaran penting dalam pengembangan produk dan usaha mereka ke depan.

Buah manis kembali mereka rasakan manakala Mursalin diterbangkan ke Yogyakarta. Ia belajar dari UKM yang sudah berkembang di Tanah Jawa. Hatinya terbuka lebar, kreativitas yang dibangun selama ini mendasari usaha akan berkembang. Ia seperti bangun dari mimpi buruk yang panjang, kerajinan eceng gondok yang selama ini ia anggap entah akan ke mana rupanya telah dikembangkan sejak 1990-an di Yogyakarta.

Mursalin lantas takjub mendapati kursi, meja, tikar, dan lain sebagaimana dibuat dari eceng gondok dan bahkan dipamerkan oleh lembaga pemerintahan sebagai kreativitas anak bangsa.

Pulang ke rumah bukan saja bekal yang dibawa pulang tetapi tekad yang kuat. Di 2017 itu, Mursalin dengan beraninya mendorong pintu Bank BRI Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat untuk mengambil kredit usaha menengah sebesar Rp.20.000.000 sebagai permulaan yang penuh risiko.

Tentu, Cut Afni harap-harap cemas dengan kenekatan dari suaminya. Dalam dukungan yang teguh, Cut Afni kembali meyakinkan ibu-ibu sekitar untuk terlihat langsung dengan aktivitas mereka seperti semula. Keyakinan yang memuncak itu membawa kecemasan serta-merta.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Modal usaha dari Bank BRI dalam bentuk kredit tanpa bunga itu Mursalin jadikan pertahanan awal untuk UKM Kreatif Kubu. Ia membeli hasil kerajinan yang telah ibu-ibu rajut dengan harga yang pantas, ia membeli bahan H2O2 untuk merendam produk tersebut dalam waktu tertentu, ia membeli impra untuk plitur produk agar mengilap dan tentu harus dicampur dengan tiner, dan menjual kembali melalui lembaga pemerintah saat pameran, lembaga swasta, perorangan maupun media sosial terutama Instagram.

Semangat ibu-ibu kembali menyala. Mereka merajut lebih banyak. Mencari lebih sering. Menjemur lebih yakin eceng gondok dari rawa-rawa yang penuh lintah. Tas kecil jadilah satu. Tas besar kemudian dirajut lebih seru. Sandal pun dibuat penuh tawa. Tempat pensil dan tempat tisu sering hilang dibawa anak ke sekolah untuk menambah nilai pelajaran keterampilan. Dan mungkin tikar yang sulit dijual karena belum banyak orang tertarik kepada hal ini.

Mursalin mengambil tikar dari ibu-ibu dengan harga Rp225.000, lalu dipercantik sebelum dijual kembali dengan harga Rp300.000 padahal biaya percantik saja lebih dari itu. Namun, tekad Murslim adalah ikhlas membantu ibu-ibu sekitar meskipun ia dan keluarga tidak bisa mendapatkan hasil lebih 'layak' dari yang orang lain sebut.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Di 2018, Cut Afni dan Mursalin membukukan hasil jerih payah mereka sebesar Rp18 juta dan mengalami peningkatan signifikan di tahun 2019 menjadi Rp47 juta. Cut Afni mengaku dari kerajinan eceng gondok ini, ia bisa menyekolahkan anak sulungnya ke Jakarta!

Di tahun 2019 pula, UKM Kreatif Kubu mendapatkan penghargaan sebagai UKM Naik Kelas dari Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Aceh. Di tahun 2021 pula UKM Kubu Kreatif berhasil mengumpulkan keuntungan sebesar Rp50 juta. Sebuah pencapaian yang bisa diapresiasi terhadap kerja keras dan usaha tanpa main-main.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Belakangan, Universitas Syiah Kuala membangaun tempat pengering hasil karya. Tempat ini dibuat khusus berdasarkan inovasi mahasiswa sehingga Cut Afni tidak perlu memindahkan produk saat hujan. Pengeringan di dalam gubuk tersebut sudah sesuai takaran berkat pemanasan dari bahan baku pembuatan tempat tersebut.

Di dunia yang makin menarik diri ke digital ini buka, Cut Afni mengandalkan platform online untuk memasarkan produk sampai ke luar Aceh. Calon pembeli bisa request jenis produk kepada pengrajin sebelum dirajut, dan bisa melakukan permintaan khusus sesuai keinginan.

Kini, dengan pemasaran yang baik dan hasil karya yang inovatif pula, penghasilan pengrajin eceng gondok dibawah UKM Kreatif Kubu antara Rp800 ribu sampai Rp1 jutaan perbulan. Tekad Mursalim tampaknya tidak sampai di sini. Ia belum puas sebelum ibu-ibu yang rajin, pantang menyerah itu bisa mendapatkan upah rata-rata perbulan di angka Rp1,5 jutaan.

Tentu tidak mudah. Namun, dunia digital yang terus berkembang bisa membantunya dan UKM Kreatif Kubu. Perjalanan panjang yang rumit, tekad dan tekat yang kuat, risiko dan tantangan yang tak bertepi membawa UKM ini layak masuk ke dalam apresiasi tingkat tinggi.

Dari Mursalin kita belajar, "Dari sebatang eceng gondok ini, saya bisa naik pesawat Garuda Indonesia dan menginap di hotel dengan harga Rp2 jutaan permalam. Kalian ada di mana saat saya pungut eceng gondok ini?"

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Dengan semangat HUT127BRI, BRILianpreneur, dan BRIPahlawanFinansial yang pernah dirasakan oleh Murslin, Cut Afni dan ibu-ibu di UKM Kreatif Kubu, semoga makin banyak pemberdayaan masyarakat di sekitar kita!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun