Sekitar semester 2 perkuliahan, saya ingin ke Bandung. Entah apa yang ada di benak saya waktu itu. Mungkin stigma yang mengalir begitu saja atau memang ada keinginan yang membuat saya 'harus' menginjakkan kaki di Bandung suatu saat nanti.
Tahun 2005 yang semerbak harum tsunami yang belum usai. Saya mengungsi ke rumah mertua ibu kos di kawasan Lamreng, Aceh Besar. Cukup dekat dengan kawasan Banda Aceh; padahal daerah ini bisa masuk ke Banda Aceh mengingat letaknya yang berhimpitan dengan ibu kota provinsi Aceh itu.
Ipar dari ibu kos saya sedang kuliah di Bandung dan pulang kampung untuk menjenguk orang tuanya. Dalam diam sembari menonton berita di televisi, kami mendengar omongan ipar yang tinggi menjulang dan tampan itu. Ceritanya tentang Bandung cukup menggiurkan untuk disimak. Mulai dari dinginnya, perekonomian yang kuat, sejarah yang tak kenal waktu, maupun pendidikan yang merata.
Dari cerita ipar ibu kos itu berlanjut dengan cerita seorang teman yang mengambil kuliah magister di Universitas Pendidikan Indonesia. Lebih tepatnya kakak leting saya di jurusan yang sama, sempat menjadi teman diskusi saat menyelesaikan skripsi, yang juga bercerita tentang Bandung dengan indahnya.
Tentu, dari sana saya mulai membayangkan Bandung.
Obsesi dan angan-angan kemudian menjadi kenyataan. Walaupun cukup lama waktu beranjak baru kemudia terwujud, tetapi saya percaya ucapan itu adalah doa. Terkabul sudah saya ke Bandung pada Juli 2019. Kebetulan saya diundang oleh salah satu perusahaan komputer terbesar dari Taiwan, untuk ikut launching laptop terbaru di Jakarta. Saya memutuskan untuk 'jalan-jalan' yang jadi kesempatan langka itu ke Bandung.
Cerita itu langsung dimulai dari grup chat kami. Katerina, traver blogger terkenal, mengambil inisiatif untuk ke mana saja saat kami di Bandung. Termasuk, menghubungi kenalannya di hotel, penginapan murah, dan juga kuliner khas yang menjadi kesempatan lain nikmatnya menjadi penulis blog.
Sesuai rencana, kami mengitari kota Bandung dari Jalan Asia Afrika yang sejuk dengan bangunan bersejarah, Braga yang penuh dengan lalu lintas, maupun keluar masuk museum yang menjadi kewajaran.
Bagi saya secara pribadi, memang bukan hajat tetapi langsung terketuk pintu hati saat memasuki kawasan Alun-alun Kota Bandung. Di dalam, dengan balutan 'karpet' hijau buatan terdapat masji terkenal dan bersejarah di Jawa Barat.
Masjid Raya Bandung dan Impian Tercapai
Saat mimpi saya bersemedi ingin ke Bandung, memang belum ada hamparan rumput buatan di Alun-alun Bandung yang langsung bersambung dengan serambi masjid. Saya pun tidak tahu ada masjid dengan sejarah panjang di Kota Bandung. Baru beberapa saat terakhir, barangkali ketika nama Ridwan Kamil menjadi harum di belantika negeri, barulah saya sedikit membaca tentang rumput buatan di halaman masjid.