Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Harga yang Naik Tak Mudah Turun Meskipun Ramadan Penuh Berkah

29 April 2020   18:21 Diperbarui: 29 April 2020   18:18 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tomat tetaplah tomat. Ada boleh, tak ada juga boleh. Temannya tomat adalah cabai merah dan cabai rawit. Meskipun saya bukanlah orang yang bisa makan pedas, tetapi cabai tetaplah dibutuhkan untuk penikmat rasa. Harga cabai merah di Aceh Barat melambung tinggi sesuai keinginan pedasnya. Beberapa waktu lalu, satu kilogram cabai merah bisa dibeli dengan harga Rp 35 ribu atau Rp 40 ribu, tetapi belakangan mencapai Rp 100 ribuan perkilogram.

Cabai rawit yang konsumsinya sedikit juga ikut-ikutan naik dari harga Rp 40 ribu menjadi RP 60 ribu perkilogram. Masakan tak akan terasa nikmat tanpa adanya bawang yang harganya berkisar Rp 40 ribuan untuk satu kilogramnya.

Sumber: sajiansedap.grid.id
Sumber: sajiansedap.grid.id

Dilansir dari anteroaceh.com (06/04/2020) karena minim pasokan harga bumbu dapur di Aceh Barat meroket. Bawang merah yang semula dapat dibeli dengan harga Rp 38 ribu perkilo naik menjadi Rp 48 ribu. Jahe yang sebelumnya Rp 24 ribu menjadi Rp 36 ribu. Yang paling menanjak tajam adalah harga cabai merah kering dari Rp 45 ribu menjadi Rp 120 ribu perkilogram.

Memang, kita bisa membeli satu ons atau dua ons saja. Sehari dua hari sudah habis. Kita sendiri yang pusing apalagi selama masa pandemi, pemasukan tidak stabil bahkan cenderung tidak ada. Kita harus beli karena kebutuhan. Pedagang harus menjual mahal agar balik modal.

Tanpa Gula Hidup Tak Akan Manis

Kebutuhan berbuka dengan yang manis sudah tidak bisa dikesampingkan. Orang Aceh selalu berbuka dengan minuman segar seperi parutan semangka ditambah gula biar manis. Orang yang pecandu kopi, selepas berbuka juga harus minum kopi - belum lagi nanti saat sahur.

Gula jadi kebutuhan pokok untuk masyarakat Aceh. Saya sendiri juga merasakan dampak itu. Buka puasa dengan bukan minuman manis, seperti tidak ada rasanya. Buka puasa haruslah dengan minuman manis seperti air parutan semangka.

Bayangkan jika dalam sebuah keluarga terdapat anggota 5 orang, berapa banyak gula yang dihabiskan untuk satu hari berbuka puasa saja. Belum lagi gula saat ini lebih kecil, berbentuk putih kristal, yang ditambah sedikit rasanya hambar. Kita butuh banyak sekali gula agar semangka yang telah diparut dalam air satu ceret besar bisa terasa manis.

Sumber: babyologist.com
Sumber: babyologist.com

Di awal April, ajnn.net (09/04/2020) menyebut bahwa harga satu kilogram gula di Aceh Barat adalah Rp 22 ribu. Mahalnya harga gula ini bukan terjadi di sini saja tetapi di seluruh Aceh bahkan nasional, disebabkan oleh tidak ada impor gula. Harga gula melonjak di Aceh Barat karena kurangnya pasokan gula dari distributor Medan. Jika membeli dalam kilogram, perkilo gula dapat dibeli dengan harga Rp 280 ribuan.

Gula adalah pemanis hidup orang-orang berpuasa. Naiknya harga gula memang menjadi pukulan telak bagi kita tetapi di sisi lain kita diminta untuk menerima dengan lapang dada. Saya tidak tahu apakah memang benar pengaruh Covid-19 yang belum usai atau permainan pasar yang demikian.

Kentang yang Tak Begitu 'Penting' Ikut Naik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun