Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Harga yang Naik Tak Mudah Turun Meskipun Ramadan Penuh Berkah

29 April 2020   18:21 Diperbarui: 29 April 2020   18:18 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam keseharian, saya paling sering membeli satu papan telur untuk seminggu ke depan. Pergeseran harga telur yang begitu tajam naik membuat napas saya sempat tersenggal. Saya tidak bisa berbuat apa karena 'memang' bukan pengendali pasar; selain konsumen semata.

Alih-alih memberikan pandangan, melihat gelagat penjual saja sudah bisa menebak kenapa harga telur naik, "Pasokan dari Medan menurun," padahal di dalam gudang yang pintunya terbuka sedikit, banyak sekali papan telur penuh dengan isinya.

Telur hanyalah sebagian kecil dari kebutuhan 'sekunder' dan 'primer' bagi orang tertentu. Kandungan protein dalam telur menjadi alasan saya menyimpan banyak, dan juga mudahnya membuat sarapan dengan sebutir telur rebus atau dibuat mata sapi saja.

Tiba-tiba - sebelum Ramadan - harga satu papan telur naik dari Rp 38 ribu menjadi Rp 40 ribu, yang kemudian bertahan di harga Rp 45 ribu. Saya mendengus. Mungkin karena isu lockdown atau wabah Virus Corona Covid-19 yang membuat pasar menjadi waspada. Tetapi jauh sebelum wabah merebak, harga telur sungguh tidak stabil di pasar.

Beras Tak Beli Tapi Lauk Tetap Keluarkan Duit

Orang tua saya petani. Keluarga kami tidak begitu khawatir untuk membeli beras. Gabah yang disimpan sudah disesuaikan sampai batas panen enam bulan ke depan. Namun, apakah mungkin makan cuma nasi saja?

Paling tidak, orang tua kita dulu makan nasi dengan garam, dan garam itu juga harus dibeli. Atau bawang yang dipotong-potong, yang mana harga bawang juga merangkak tajam naiknya. Mau buat nasi goreng butuh minyak, bawang juga, garam juga, cabai juga, itu bumbu standar selain kecap dan lain-lain. Orang-orang tua kita mungkin mau menggoreng nasi dengan bumbu seadanya agar terasa lebih lezat. Bumbu-bumbu itu juga harus dibeli.

Saya merasa harus selalu bersyukur dengan kondisi. Di mana perkara yang paling rumit saat ini adalah nasi - beras. Dengan tidak membeli beras maka akan hemat paling tidak Rp 140 ribu untuk satu sak beras bagus. Beras jadi pangkal utama kehidupan di Indonesia. Beras juga paling mahal di antara pakan lain.

Sumber: fimela.com
Sumber: fimela.com

Beras adalah pokok. Tak ada beras jadi masalah. Ada beras namun lauk tak ada masih bisa makan dengan garam atau ikan asin jika persediaan ada. Orang akan selalu bersyukur jika beras masih tersedia di dalam rumah tangga. Ada saja cara agar bisa makan 'enak' hanya dengan beras saja.

Harga beras masih pada kisaran yang saya sebutkan tadi. Namun, dengan kondisi yang tidak stabil begini, di mana orang-orang seperti kami enggan menjual banyak gabah, bisa jadi harga beras akan naik. Kami tentu khawatir masa sulit ini kapan akan berakhir. Dengan disimpannya gabah dalam jumlah cukup sebelum sampai masa panen, mungkin akan membantu rumah tangga dengan tidak membeli beras.

Tomat Tetap Seribu Satu Buah

Yang saya heran, harga tomat meskipun dalam kiloan naik harga, tetapi jika membeli satu buah harganya tetap seribu. Saya sering membeli sebuah tomat saja karena berbagai alasan. Besar atau kecil harga tomat satu itu adalah seribu.

Tomat tetaplah tomat. Ada boleh, tak ada juga boleh. Temannya tomat adalah cabai merah dan cabai rawit. Meskipun saya bukanlah orang yang bisa makan pedas, tetapi cabai tetaplah dibutuhkan untuk penikmat rasa. Harga cabai merah di Aceh Barat melambung tinggi sesuai keinginan pedasnya. Beberapa waktu lalu, satu kilogram cabai merah bisa dibeli dengan harga Rp 35 ribu atau Rp 40 ribu, tetapi belakangan mencapai Rp 100 ribuan perkilogram.

Cabai rawit yang konsumsinya sedikit juga ikut-ikutan naik dari harga Rp 40 ribu menjadi RP 60 ribu perkilogram. Masakan tak akan terasa nikmat tanpa adanya bawang yang harganya berkisar Rp 40 ribuan untuk satu kilogramnya.

Sumber: sajiansedap.grid.id
Sumber: sajiansedap.grid.id

Dilansir dari anteroaceh.com (06/04/2020) karena minim pasokan harga bumbu dapur di Aceh Barat meroket. Bawang merah yang semula dapat dibeli dengan harga Rp 38 ribu perkilo naik menjadi Rp 48 ribu. Jahe yang sebelumnya Rp 24 ribu menjadi Rp 36 ribu. Yang paling menanjak tajam adalah harga cabai merah kering dari Rp 45 ribu menjadi Rp 120 ribu perkilogram.

Memang, kita bisa membeli satu ons atau dua ons saja. Sehari dua hari sudah habis. Kita sendiri yang pusing apalagi selama masa pandemi, pemasukan tidak stabil bahkan cenderung tidak ada. Kita harus beli karena kebutuhan. Pedagang harus menjual mahal agar balik modal.

Tanpa Gula Hidup Tak Akan Manis

Kebutuhan berbuka dengan yang manis sudah tidak bisa dikesampingkan. Orang Aceh selalu berbuka dengan minuman segar seperi parutan semangka ditambah gula biar manis. Orang yang pecandu kopi, selepas berbuka juga harus minum kopi - belum lagi nanti saat sahur.

Gula jadi kebutuhan pokok untuk masyarakat Aceh. Saya sendiri juga merasakan dampak itu. Buka puasa dengan bukan minuman manis, seperti tidak ada rasanya. Buka puasa haruslah dengan minuman manis seperti air parutan semangka.

Bayangkan jika dalam sebuah keluarga terdapat anggota 5 orang, berapa banyak gula yang dihabiskan untuk satu hari berbuka puasa saja. Belum lagi gula saat ini lebih kecil, berbentuk putih kristal, yang ditambah sedikit rasanya hambar. Kita butuh banyak sekali gula agar semangka yang telah diparut dalam air satu ceret besar bisa terasa manis.

Sumber: babyologist.com
Sumber: babyologist.com

Di awal April, ajnn.net (09/04/2020) menyebut bahwa harga satu kilogram gula di Aceh Barat adalah Rp 22 ribu. Mahalnya harga gula ini bukan terjadi di sini saja tetapi di seluruh Aceh bahkan nasional, disebabkan oleh tidak ada impor gula. Harga gula melonjak di Aceh Barat karena kurangnya pasokan gula dari distributor Medan. Jika membeli dalam kilogram, perkilo gula dapat dibeli dengan harga Rp 280 ribuan.

Gula adalah pemanis hidup orang-orang berpuasa. Naiknya harga gula memang menjadi pukulan telak bagi kita tetapi di sisi lain kita diminta untuk menerima dengan lapang dada. Saya tidak tahu apakah memang benar pengaruh Covid-19 yang belum usai atau permainan pasar yang demikian.

Kentang yang Tak Begitu 'Penting' Ikut Naik

Saya tidak begitu terkejut ketika dua hari lalu membeli kentang satu kilogram dengan harga Rp 12 ribu. Sudah dua minggu saya tidak membeli kentang, kemarin karena ingin membuat perkedel yang membutuhkan banyak kentang.

Padahal, kita melihat situasi, kentang bukanlah bahan pokok yang mesti naik harganya. Tetapi karena harga lain naik, kentang ikut-ikutan naik meskipun tidak signifikan. Dari harga kentang saya mau belajar tentang 'pengelola' harga bahan pokok di Indonesia yang egois dan tidak mementingkan kepentingan rakyat di tengah ekonomi melarat.

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com

Dengan naiknya harga kentang ini, sudah cukup penderitaan saya untuk beli bahan makanan yang biasa dijadikan cemilan malam. Kentang tak lain salah satu bahan yang dengan mudah diolah menjadi cemilan sebelum tidur dalam perut kosong. Tapi, sudahlah, kita hanya penikmat pasar.

Sayur-mayur Kok Ikut Naik?

Sayur pagi yang biasanya lewat menjadi bagian penting saat puasa. Namun tidak demikian dengan puasa kali ini. Dua hari lalu kami memanggil tukang sayur pagi yang melajukan kendaraan roda duanya dengan pelan.

Harga sayur sudah tidak masuk akal. Contohnya, kangkung yang baru saja kami petik di belakang rumah dijual dengan harga Rp 2500 perikat. Nggak jadi beli tentunya, selain sudah ada jadi tercengang dengan harganya. Sawi juga dihargai dengan harga yang sama untuk satu ikut.

Saya termasuk orang yang suka makan jagung. Cukup mengerutkan kening saja saat tahu harga jagung satu Rp 2500 dan tidak dapat 3 buah untuk Rp 5000; yang biasanya dapat. Belum lagi harga tauge, tahu, tempe dan beberapa pakan lain dengan harga yang mencekit.

Sumber: blog.regopantes.com
Sumber: blog.regopantes.com

Sudahlah tidak jadi makan enak puasa kali ini. Tetapi, yang namanya rezeki orang puasa aneh saja datangnya. Meskipun harga di pasaran naik sampai ke langit ke tujuh, orang-orang puasa di Ramadan tetap bisa berbuka dan sahur dengan menu kesukaan.

Sampai di sini, saya percaya hukum pasar, harga yang naik tak mudah turun meskipun persediaan banyak di pasar. Cobalah kamu keliling pasar selama Ramadan ini, percayalah bahwa apa yang saya sebut dalam tulisan ini cukup banyak kita temui namun sayangnya harganya tidak turun ke harga semula - yang murah.

Ramadan adalah berkah. Berapapun harga barang di pasar, kita tetaplah puasa. Dengan begitu hikmah Ramadan tak akan lekang sepanjang hayat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun