Tak ada lagi harapan untuk puasa sampai ke idulfitri. Obat-obatan begitu banyak di dalam kamar, tetapi tidak satupun yang membawa hasil. Wajah kian pucat. Bibir pecah-pecah. Puasa tidak ada tetapi mirip orang sedang berpuasa.
Anjuran dari tetangga untuk pergi ke seorang tabib tetangga kampung. Saya ke sana untuk berobat tradisional. Ikhtiar namanya. Usaha tak ada salah. Pertama ketemu tabib wanita itu, beberapa hari sebelum lebaran,”Lambung kamu sudah parah sekali, Nak!” ujarnya.
“Tenangkan pikiran, baca doa-doa yang panjang, dan makanlah pisang awak ini,” selama berobat, saya rutin makan pisang awak. Pagi dimakan dengan cara dihaluskan kemudian dicampur dengan nasi, malam sebelum tidur juga demikian. Di siang hari, sekitar pukul 10 dan pukul 2 siang, saya juga makan pisang awak sebagai cemilan.
Lebaran tiba. Sakit saya belum sembuh total. Saya sama seperti orang lain, bebas bergerak ke mana-mana tetapi tidak untuk makan sesuatu. Salah makan seperti asam dan pedas, perut langsung sakit. Lebaran yang sangat tidak bersahabat dengan saya, di mana silaturahmi ke mana-mana selalu tahan untuk makan apapun.
Kehidupan saya berjalan normal kemudian. Tetapi tidak dengan Ramadan di tahun 2016. Saya kira, telah tertinggal sakit lambung setelah berobat lama. Hari-hari pertama puasa, saya masih sanggup. Saya tidak mengonsumsi obat-obat pereda nyeri di perut, maupun makan pisang awak. Saya telah aman untuk puasa sebelum penuh.
Tidak demikian setelah 10 hari pertama. Mual mulai terasa, tetapi saya abaikan. Mau muntah, juga saya abaikan. Lemas badan habis berbuka saya anggap tak ada. Tepatnya, usai berbuka di 15 Ramadan, saya muntah sejadi-jadinya. Semua yang dimakan keluar habis, angin di perut meluncur deras, seisi perut kosonglah sudah. Air mata menari-nari entah karena apa.
Yang pasti, dalam sadar dan tidak, saya dipapah Ayah ke kamar. Entah waktu itu saya dikasih obat atau tidak, saya telah tertidur dengan sendirinya. Dan, setengah Ramadan tahun 2016 tidak saya tunaikan.
Ingat itu tentu sedih. Lebaran saya tidak sama dengan orang lain. Sepanjang tahun 2016 sampai ke Ramadan di tahun 2017, saya berobat ‘segila-gila’nya orang sakit. Makan pisang awak sudah tidak terkontrol. Ke dokter juga demikian. Sampai badan saya naik beberapa kilogram. Efek dari semua itu, puasa tahun 2017 - kemudian 2018 dan 2019 - begitu aman untuk saya lakoni.
Sungguh berbeda dengan Ramadan tahun 2020. Baru 4 hari puasa, saya mulai mencium bau-bau tak sedap dari tahun 2015 dan 2016. Mual mulai terasa begitu berbuka dan sahur. Badan mulai lemas sepanjang hari.
Antisipasi yang penting, saya minum obat pereda nyeri dan kemudian makan pisang awak. Yakin pada apa yang telah saya lakukan beberapa tahun lalu, Tuhan akan mengamini di tahun ini.