Matahari sore selalu tidak menarik di sisi hidupnya. Ia terbujur kaku tanpa bisa menarik daun jendela. Padahal, senja telah menari-nari dengan indahnya dalam untaian kata-kata paling romantis tiap hari. Dalam hari yang lewat, ia ingin mengulang sebuah kisah tetapi selalu kelu untuk diungkapkan.
Dua bulan puasa yang lewat, tak bisa ia kemudikan kembali langkah ke arena sebenarnya di jalan setapak rumahnya. Ia terlanjur kelu dalam berujar dan melangkah sekalipun. Dalam hati, ia telah malu. Dalam fisik yang lemah, ia tidak bisa berkata apa-apa tentang situasi yang memungkinkannya untuk berubah -- seperti dulu.
"Ambilkan minum berbuka," ujarnya. Entah kali ke berapa. Entah mungkin suaranya yang sangau hanya batasan batin yang meradang. Namun, suara langkah itu mendekat, tiap kali suaranya yang entah jelas terdengar entah tidak, datang dengan segelas es manis dan sepiring pisang goreng. Ia lahap sejenak. Ia hanya mengedipkan mata telah usai dan dibopong ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu dibaringkan kembali ke tempat tidur. Ia mengedipkan mata tanda sujud dan rukuk dan menoleh ke kanan dan ke kiri tanda salam.
Esok sore, kembali terulang kisah yang sama. Esoknya lagi. Terus demikian. Sudah dua kali puasa dengan kini adalah tiga.
"Ambilkan minum berbuka, Istriku!" ujarnya dengan suara cukup keras. Ia berpikir, bahwa suara itu yang membawa langkah istrinya ke kamar dengan segelas es manis sepiring menu berbuka. Ia sadar sekali, suaranya didengar dengan jelas oleh istrinya. Ia tahu, istrinya memberi senyum tiap masuk ke kamar remang milik mereka berdua itu.
Kepalanya dibelai. Pernah istrinya berujar, "Kamu jangan puasa dulu," ia mengeleng dengan air mata terburai. Ia katupkan mulut di pagi, siang dan sore. Hatinya telah mantap untuk berpuasa. Laranya tak ingin kembali ke sedih rupa. Fisiknya, oh, entahlah, bagaimana dijabarkan karena ia telah demikian -- adanya.
5 kali pula dalam sehari tubuhnya yang kini ringkih dibopong ke kamar mandi dengan perlahan. Di selang 5 itu, ia juga berhasrat ke kamar mandi dan istrinya tidak mengeluh. Binar wajar lelah itu, dengan bibir pecah kurang air, dengan tenaga terkuras ke sawah dan berkebun di belakang rumah, masih terlihat segar tiap ia memanggil dalam ketukan.
Ia tahu, ia tak lupa, istrinya selalu datang saat ia memanggil. Sore hari, saat asap tidak lagi mengepul di dapur, istrinya menjarah seluruh pakaian di tubuhnya, lalu digosok-gosok raga yang dulu kekar dengan sabun mandi. Sesaat ia telah wangi, sejenak ia menatap langit dan berharap bisa duduk di teras rumah. Tetapi tidak, istrinya tidak memberi izin. Ia kembali dibaringkan, matanya tak berkedip saat pakaian yang telah longgar dipasangnya pada tubuhnya.
"Ambilkan minum berbuka, Istriku!" sepuluh pertama lewat, suaranya selalu didengar oleh istrinya. Dua puluh yang lewat, juga masih didengar, lima hampir akhir, juga tak ada batasan untuk melanggar aturan itu.
Istrinya, membangun waktu dalam dinamika yang ia sendiri tidak tahu. Sudah dua tahun berlalu, kini menjadi tiga, ia terbaring di kamar sempit itu setelah jatuh di kamar mandi senja hari. Lalu, lidahnya kelu, kakinya kaku, dan telah mati semua rasa. Namun, ia percaya, istrinya masih mendengar kalimat paling romantis selama bulan puasa itu, "Ambilkan minum berbuka, Istriku!"
Meski hari itu, beberapa waktu akan takbir berkumandang, ia sangat sadar bahwa suaranya tak pernah keluar dengan jelas. Istrinya, telah memasang alarm kapan waktu berbuka, kapan waktu berwudhu, kapan waktu ke kamar mandi, kapan waktu ia mandi, kapan waktu berganti pakaian dan kapan waktu bercakap-cakap dengan mengusap kepalanya yang sebagian anak rambut telah luruh.
"Ambilkan minum berbuka, Istriku!" ujarnya kala azan magrib berkumandang, dalam hati, dalam jerit yang tak pasti, dalam air mata yang mungkin telah berlinang!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H