Sejak kecil, saya bukanlah 'pemaksa' Ibu untuk memasak menu berbuka yang 'wow' atau 'wah' dengan aneka kelezatan. Asalkan nasi dengan lauk mencukupi sesuai selera, saya 'ayo' saja untuk berbuka puasa.Â
Menu yang lezat lainnya, biasa terlewat begitu saja karena selera makan saya yang 'aduhai' indahnya. Pulang tarawih pun nanti, jika lapar saya hanya memakan nasi segenggam dengan lauk sepotong lalu berangkat tidur. Meskipun kolak masih tersisa di atas meja semangkuk penuh, saya tidak juga menyentuhnya.
Budaya berburu takjil memang luar biasa sekali. Tak hanya di Aceh tetapi di mana-mana -- berdasarkan liputan Ramadan khas televisi masa kini dan bacaan di internet.Â
Di hampir persimpangan adalah mereka yang menjual menu berbuka dengan harga murah, beragam pilihan dan tentu saja sangat menggiurkan. Namun sekali lagi, saya bukanlah orang yang kepincut dengan aneka takjil itu. Mata saya tidak ngiler dengan menu berbuka aneka warna dan aroma. Saya tetap tidak mampir ke pinggir jalan untuk membeli sepotong saja dengan harga seribu rupiah itu.
Takjil saya, jika pun ingin memakannya nanti adalah kolang-kaling dengan sedikit kacang ijo serta nangka. Kolak mungkin sebutan lain namun bagi kami itu bukanlah kolak, hanya semacam bubur kacang ijo. Jika kolak biasanya terdiri dari pisang, ubi, nangka dan lain-lain yang berjumlah banyak. Kolang-kaling yang dicampur santan untuk dimasak rasanya lebih lezat daripada kolak pada konotasi sebenarnya.
Ibu tak pernah meminta saya membeli takjil pinggir jalan karena memang tidak termakan lepas berbuka. Namun, Ibu akan buru-buru merendam kacang ijo yang saya bawa pulang siang hari untuk dibuatkan takjil kesukaan saya itu. Tambahan nangka adalah untuk menambah aroma agar lebih segar, sedap dikecap dan menambah perpaduan warna sehingga lebih menggoda. Tambahan gula aren juga akan menambah manis yang khas dibandingkan hanya gula biasa saja.
Mungkin ada anggota keluarga lain yang suka tetapi saya tidak tahu mereka suka apa. Saya sengaja mampir ke penjual lalu memilih sepotong dan sepotong kue berbeda, tentu saja belum tentu disukai. Apalagi di keluarga kami, semangka adalah wajib diburu. Tahukah kamu jika berbuka di Aceh ini semangka adalah minuman pelepas dahaga nomor satu?
Semangka diburu. Semangka diparut lalu dicampur dengan gula dan sirup berwarna merah. Kamu bisa membayangkan bagaimana rasanya itu. Sekali teguk, perut bisa saja langsung terisi penuh tetapi saya hanya mencicipi sedikit saja karena lepas itu adalah nasi terlebih dahulu. Ada alasan kenapa saya tidak begitu mudah tergoda dengan takjil yang aneka rupa, pertama sekali karena alasan saya pernah sakit lambung begitu parah.
Seteguk semangka parut, lalu langsung makan nasi setidaknya bisa membuat perut saya tidak mual. Meskipun nanti hanya segumpal saja saya makan, perut tidak lagi berangin dan bisa segera salat tarawih. Nah, biasanya lepas tarawih baru saya makan lebih banyak lagi untuk mengisi kekosongan tersebut dan sekali lagi, nasi adalah pilihannya karena saya takut salah makan bisa berdampak parah kepada perut.